CHAPTER THREE

1422 Words
“Kadang, sesuatu yang coba kamu sembunyikan tidak akan berlaku dihadapan perasaan. Kamu akan mengatakannya, entah itu berakibat atau tidak.” . . Cia terus mengaduk-aduk baksonya. Ia sama sekali tidak menyentuh ataupun memakannya. Cia terlarut dalam pikirannya. Tentang Alfaro dan pertanyaan parfum itu. Sejujurnya, tidak sulit menjawab Alfaro. Tapi, Cia hanya bingung apa hubungannya dengan cowok itu. Ana dan Katie memerhatikan Cia. Mereka saling pandang dan bertanya satu sama lain. Ana melihat Barga yang sedang mengambil es nya bersama dengan Fabian. Cewek itu melambaikan tangan menyuruh Barga menghampiri mereka. "Ga!" Barga dan Fabian menghampiri meja mereka kemudian menyapa Ana dan Katie. "Hai, An, Kat, dan ...." Barga melirik Cia yang masih melamun. "Siapa?" "Gracia, nama panggilannya Cia," jawab Katie, karena tidak ada jawaban dari Cia. Barga mengetukkan jarinya di dekat Cia, hingga Cia tersadar dari lamunannya dan beralih menatap Barga dengan kebingungan. "Kamu anak pindahan di kelas A, ya?" tanya Barga, ramah. "Iya—" "Kenalin," Barga mengulurkan tangannya, "Aku Barga—" "Cia." "Dia yang lo bilang mau ikut Orja?" Barga duduk di sebelah Cia, sambil menaruh nampan makanannya. Cia sibuk dengan pikirannya sampai tidak menyadari Barga yang duduk begitu saja. "Ho'oh. Dia suka bunga. Masih bisa masukin satu anggota lagi, kan?" Barga memakan siomaynya, kemudian berpikir sejenak. "Sebenernya sih, udah gak nerima. Tapi ... Kalo Cia bener-bener serius mau ikut, gue bisa mohon sama Pak Jun." "Noh, Cia. Kamu beneran mau ikut, kan?" yang ditanya malah asik melamun. Ana sampai harus memukul meja agar Cia sadar. Cewek itu terlihat kikuk saat semuanya menatap dirinya keheranan. "Eh, i-iya, maaf. Tadi, kalian ngomong apa?" Ana menepuk dahinya, kemudian menghela napas kasar. "Kamu diapain Alfaro, sih? Sampai ngelamun aja dari tadi." Barga mengerutkan dahinya saat mendengar nama Alfaro. Ia menoleh ke arah Cia. "Alfaro?" "Iya, tadi Alfaro bikin Cia nangis di lapangan. Padahal, Cia baru aja ketemu sama dia. Cia emang cantik, sih. Tapi Alfaro gak akan ganggu Cia kalo Cia gak cari masalah sama dia. Masalahnya adalah ... Cia itu baru kenal Alfaro. Gak mungkin dia cari masalah sama cowok kejam itu." Barga melirik Cia yang sedari tadi hanya menunduk. Sepertinya, Alfaro sudah melakukan sesuatu yang kelewatan. Kenapa manusia itu selalu cari gara-gara? Apa dia tidak punya kerjaan lain? Barga menghela napas berat. "Jangan bicara sama dia. Kalo kamu bicara, dia akan cari celah buat nyalahin kamu. Jangan jawab pertanyaan dia kalo dia nanya. Kamu tahu, Alfaro gak suka nanya. Jadi, kalo dia nanya, itu artinya dia punya maksud tersembunyi," pesan Barga. Cia berpikir, apakah Alfaro sengaja mengungkit soal parfum agar bisa menjadikan dirinya bahan kekejaman? Tidak mungkin. "Kamu siapanya Alfaro?" tanya Cia yang akhirnya memilih menyudahi lamunannya dan lebih tertarik dengan siapa cowok yang sedang bicara dengannya ini. "Bukan siapa-siapa. Tapi, aku kenal dia udah lama, jadi aku tahu." Barga menyuap lagi makanannya kemudian mengeluarkan ponselnya dan menyodorkan kepada Cia. Ia sudah berpikir, pasti Barga ingin meminta nomornya. Dasar cowok. Apa tidak bisa tidak melakukan hal-hal seperti meminta nomor?. "Aku gak mau kasih nomor telepon. Kamu ambil lagi aja hp-nya," kata Cia langsung pada intinya. Barga mengerutkan dahinya, memiringkan kepalanya sedikit, "Aku minta kamu pegangin sebentar. Aku mau ambil dompet di kantong celana." Cia langsung salah tingkah, wajahnya memerah karena malu. Bisa-bisanya ia se-pede itu. Tentu saja Barga tidak seperti cowok kebanyakan yang dengan modus kalengnya meminta nomor telepon dengan alasan-alasan tidak masuk akal. Cia menggaruk alisnya, kemudian mengambil ponsel itu. "Karena kamu udah pegang, gak sopan kalau gak ninggalin nomor telepon." Ucapan Barga tadi membuat Cia membulatkan matanya. Ternyata Barga sama saja dengan cowok kebanyakan. "Jangan pikir aneh-aneh. Kamu bilang mau ikut Orja? Aku butuh nomor kamu, biar bisa kasih tahu soal Orja. Kamu gak mau tahu info?" Cia ingin sekali memaki dirinya. Tentu saja Barga adalah ketua orja. Sebenarnya apa yang ia pikirkan. Cia mengetikkan nomornya kemudian memberikannya kepada Barga. Cowok itu mengangguk lalu mengambil nampan makanannya dan bangkit. Kemudian izin pamit untuk pergi ke kelas lebih dulu. Setelah Barga pergi, Cia bisa bernapas lega. Ia benar-benar malu tadi. "Kenapa, Ci? Barga ganteng, ya?" goda katie. "Apasih, Kat. Enggak kok," bohong Cia. Ya, jika boleh jujur, Barga itu benar-benar tampan. "Barga itu orangnya emang kaya gitu. Kadang suka modus, kadang suka ngalus, tapi dia baik. Beda sama Alfaro. Barga itu versi baiknya Alfaro. Mereka berdua sama-sama populer di Salazard." "Ah, dan satu lagi ... Kalo di samping Alfaro ada Alika. Di samping Barga ada Maya. Maya dan Alika. Mereka berdua sama-sama gak suka kalo ada yang deketin apa yang mereka incar," jelas Anna "Orang ganteng emang gitu, ya? Ada penjaganya?" tanya Cia sambil meminum jusnya. "Bukan penjaga. Tapi penunggu." Katie, Anna, dan Cia tertawa sambil menghabiskan makan siang mereka. *** "Al, lo ngapain, sih?" tanya Bagas kebingungan saat melihat Alfaro yang sedang duduk di atas pohon yang ada di taman belakang sambil meminum jusnya. "Lagi belajar jadi monyet," jawab Alfaro asal. "Tanpa belajarpun lo emang monyet!" sambung Galih yang sedang duduk di kursi sambil memakan snacknya. "Kalo Alfaro monyet, berarti lu apaan? Kukang?" "Gue?" Galih menunjuk dirinya, "Gue tetep manusia." "Iya, manusia kukang!" "Wah, ngajak ribut, lo! Sini barentem!" Galih sudah bersiap menggulung lengan bajunya, begitupun Bagas, namun aksi keduanya dihentikan oleh kedatangan Alika dan kedua temannya. "Eits, stop berantemnya. Gue mau lewat!" teriak Alika dengan suara melengkingnya yang dapat memecahkan gendang telinga. "Tinggal lewat aja apa susahnya, sih? Ribet banget hidup lo!" Alika mengibaskan rambutnya kemudian melangkahkan kakinya melewati kedua cowok yang sekarang sedang memaki-maki Alika. Alika mendongak ke atas pohon, kemudian mengerucutkan bibirnya. "Bep, kamu kok nangkring di pohon gitu tetep ganteng, sih?" teriak Alika dengan suara alaynya yang sumpah banget, bikin Bagas dan Galih ingin muntah. "Gue emang ganteng. Gak usah diingetin. Gak bakal lupa," sahut Alfaro. "Ih, makin gemes deh. Turun, yuk. Aku bawa makanan, nih. Makan bareng aku mau?" "Enggak. Gue gak suka makanan buatan lo." "Tapi ini aku beli, kok!" "Gue gak suka makanan yang dibeli." "Tapi, belinya bahannya. Masakannya dimasak Bibi." Alfaro menghela napas kasar. "Pokoknya gue gak suka apapun yang lo bawa. Titik. Pergi deh sana! Gerah gue lihat lo." Alika mengerucutkan bibirnya. Ia sudah menduga Alfaro akan menolak makan bersamanya lagi. Tapi, bukan Alika namanya jika mudah menyerah. "Yaudah, turun dulu. Jangan di atas. Bahaya!" Alfaro tidak memperdulikan ucapan Alika dan masih menatap pintu masuk kaca yang tak jauh dari sana. Tidak lama, Cia muncul bersama Katie dan Ana. Alfaro tersenyum singkat, kemudian melompat dari atas pohon. "Mangsa gue udah dateng," serunya. Alfaro berjalan menghampiri Cia dan menghadang jalan ketiga cewek itu. "Ngapain lo, diem disitu kaya pintu palang?" tanya Ana sinis. Alfaro mendekatkan wajahnya ke wajah Cia, kemudian tersenyum dengan wajah mengerikan. "Menagih jawaban." Cia meremas roknya, menggigit bibir bawahnya dan mencoba bersikap tenang. "Mana jawaban lo?" "Kalo aku gak mau jawab gimana?" tanya Cia memberanikan. Alfaro menyilangkan kedua tangannya. "Oke, gapapa. Tapi ...." Alfaro memegang dagu Cia dan mengangkatnya sedikit ke atas, "Jangan salahin gue kalo lo dapat akibatnya." Sebuah tangan menyingkirkan tangan Alfaro. Barga datang menarik Cia agar berdiri di belakangnya dan menatap Alfaro tajam. Yang ditatap menunjukkan wajah tak suka. Ya, Alfaro tidak menyukai Barga. "Wah, Kat. Kayaknya dua pangeran sekolah otw berantem, nih. Wah, parah sih," bisik Ana. Barga menatap Alfaro sinis, "Ternyata, lo cuma berani sama cewek. Banci!" "Gue bukan banci," jawab Alfaro masih dengan nada santai. "Jadi, alasan lo gak suka cewek cantik, mungkin karena lo tahu, cewek cantikpun gak akan ada yang mau sama cowok jahat kaya lo!" Alfaro tertawa sinis. "Lo belain dia?" Alfaro menunjuk ke arah Cia yang masih diam sambil terus meremas roknya. Kali ini cowok itu menatap Cia dengan tatapan yang sangat menakutkan. "Lo kasih apa buat dia? Sampe dia belain lo? Kasih badan? Atau ...." Plakk! Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Alfaro. Entah dari mana Cia dapat keberanian itu. Tapi, Cia hanya tidak suka di anggap murahan. "Jaga mulut kamu! Semua orang takut sama kamu bukan berarti salah satunya aku. Kamu mungkin memang penguasa sekolah. Tapi, gak ada penguasa yang mulutnya cuma bisa merendahkan orang lain! Kamu sama aja kaya sampah." Alfaro mengepalkamn tangannya. Ia maju selangkah demi selangkah, mendekati Cia. Cia makin ketakutan. Alfaro mendekatkan wajahnya ke telinga Cia. "Cuma lo, satu-satunya yang berani nentang gue. Gue lepaskan lo kali ini. Inget! Gue cuma mau jawaban, gue gak tertarik sama lo! Cewek murahan!" Alfaro pergi meninggalkan Cia dan yang lainnya. Barga tidak mengejar Alfaro, namun ia membantu Cia yang lunglai dan hampir terjatuh. Tubuh Cia berkeringat dan bergetar hebat. Mungkin dia ketakutan. Barga mengepalkan tangannya. "Lo lihat! Gak semua cewek bisa lo rendahkan. Suatu hari, lo yang akan bertekuk lulut dihadapan mereka.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD