1

1128 Words
1 "Ah kebetulan kalian semua ada di sini, ada yang mau mama kenalkan pada kalian, sini Yana." Pandu dan Abimanyu saat itu kebetulan baru saja sampai di rumah. Pandu yang hendak ke kamarnya mengurungkan niatnya saat melihat wajah Dayana, ia kaget bukan main, sedangkan Abimanyu sudah duduk dengan tenang di ruang makan dan meneguk air minum, ia hanya mengangguk dan tersenyum ke arah Dayana yang juga tersenyum padanya tapi tatapan gadis itu berubah tegang saat menatap Pandu. "Dayana?" Renata kaget saat Pandu terlihat sudah mengenal dan menyapa Dayana. "Kalian sudah saling kenal?" Dayana hanya diam lalu perlahan-lahan mengangguk, sedang Pandu menatap wajah Dayana tanpa berkedip. "Kenal di mana, Pandu?" "Sekitar setahun lalu, di cafe dekat kantorku, Dayana pelayan paruh waktu tapi setelah itu dia tak kerja di sana lagi setelah dua bulan kami saling kenal." "Yah saat tahu jika kamu orang kaya yang mencoba memanfaatkan keluguanku, kini kenapa aku harus bertemu kamu lagi?" Dayana bergumam dalam hati. "Ah iya, ayo duduk di sini dulu Pandu, Dayana." Dayana duduk tak jauh dari Renata. Renata menggenggam tangan Dayana yang terasa dingin dan basah. Wanita belia yang kini duduk di dekatnya terlihat ketakutan. "Hei biasa saja Yana, kamu nggak usah gugup, dua anak laki-lakiku ini anak baik, ini namanya Pandu Satria Yuda dan yang ini adiknya Abimanyu Satria Perkasa, mereka kembar, kembar identik, hampir nggak bisa dibedakan tapi aku mamanya tetap tahu mana Pandu dan mana Abi, Pandu ini sudah bekerja di salah satu perusahaan properti ternama, dia salah satu manajer di sana dan Abi juga sudah bekerja di perusahaan advertising, Pandu sudah punya tunangan sementara Abi tetap santai sendiri hanya karena pernah patah hati, sudah ya Yana, lengkap aku ngenalkan mereka, ayo sekarang kamu ikut aku ke kamar kamu." Dayana mengangguk, dan bangkit dari duduknya. Meraih travel bag besar dan satu tas berukuran sedang. "Biar aku yang bawa Yana." Suara Pandu terdengar dekat di telinga Yana yang hanya mampu mengangguk dengan tangan bergetar karena takut hal salah di waktu lalu berulang kembali. Ia tak ingin dirinya hanya jadi wanita yang sekilas hadir hanya untuk jadi pemuas nafsu sesaat, meski hatinya berkata lain, ia selalu merindukan wajah, dekapan dan kelembutan Pandu. . "Nah kamu di lantai dua, dan di sana, agak jauh dari kamar ini ada kamar Pandu dan Abi, nggak usah khawatir Yana, sekali lagi mereka anak baik-baik, nggak akan gangguin kamu." "Iya Ibu terima kasih." "Pandu, sudah letakkan travel bag itu di sana dan kamu ke luar, bentar lagi paling tunangan kamu ke sini." "Nggak kok Ma, dia sibuk, lembur lagi katanya." "Yaaah namanya pemilik perusahaan, dan dia pekerja keras hanya nanti saat jadi istri kamu dia harus mengurangi ritme kerjanya." Pandu terlihat malas saat mamanya berbicara tentang tunangannya dan memilih ke luar dari kamar Dayana. "Ok silakan istirahat dulu lalu turun makan malam ya Yana." "Ibuuu." Dayana tiba-tiba memegang lengan Renata. "Apa saya tidak berlebihan tinggal di sini? Saya hanya asisten Ibu, apa tidak lebih baik saya kembali ke tempat kos saya?" Renata menggeleng sambil tersenyum, ia mengusap bahu Dayana. "Nggak Yana, banyak hal yang ingin aku diskusikan sama kamu, kalo kita tinggal di tempat terpisah, ini akan sulit, mandilah dan segera turun untuk makan malam." Dayana menatap punggung wanita baik pemilik butik tempat ia bekerja. Ia mendesah pelan, seandainya tahu ini rumah laki-laki yang terus saja memburunya hanya gara-gara tanpa sengaja Pandu menumpahkan minuman ke roknya dan selalu datang dan datang lagi ke cafe tempat ia bekerja, dan memburunya hingga ke tempat kosnya, ia tak akan pernah mau tinggal di rumah besar ini. Dayana akui pesona Pandu tak bisa ia tepis, beberapa kali ia mau menemani saat akhirnya bersedia diajak jalan oleh Pandu reaksi tubuhnya selalu tak baik-baik saja, seolah magnet yang ada dalam diri laki-laki tampan itu menariknya sangat kuat hingga ia sadar jika apa yang ia lakukan adalah hal yang tak benar. Beruntung ia masih bisa menahan gejolak yang lebih besar lagi hingga dirinya masih utuh dan suci, hanya ia merasa terpukul saat tahu Pandu telah memiliki tunangan artinya ia hanya dianggap selingan saja. Dan satu hal lagi ia beruntung masih terselamatkan saat ia segera pindah kos dan tak bekerja di sana lagi. "Dayana, benar kan kataku? Bahwa kita akan bertemu lagi." Dayana kaget, saat tiba-tiba saja Pandu berdiri di depan kamarnya dan segera saja Dayana menutup pintu rapat-rapat. Ia putar kunci dan memegang dadanya yang bertalu-talu karena degup dadanya yang kembali tak karuan. "Pergilah Pandu, jangan temui aku lagi, aku tak ingin kita melakukan hal terlalu jauh, kau bawa aku pada alam bawah sadar tak terjangkau, kau orang kaya apa yang kau lakukan akan selalu benar, sedang aku? Hanya wanita miskin yang akan terbuang saat kau tak perlu lagi." . "Ayo Dayana, sarapan yang bener dong, ini ada s**u segar atau juice melon bisa kamu pilih atau teh madu?" Pagi yang cerah, Pandu terlihat gagah dengan stelan jasnya sedang Abi terlihat casual dengan setelan jaket dan celana bahan denim dipadukan dengan kaos warna putih. Retana yang juga sudah rapi dengan blouse warna maroon tampak asik sedang menikmati sarapan telur setengah matang. "Iya Ibu saya minum teh madu saja." "Loh ayooo mau sarapan apa lagi?" "Terima kasih Ibu, biar nanti siang saja, saya tidak terbiasa sarapan." Mata Pandu menangkap netra Dayana yang ketakutan dan tak berani menatapnya. "Apa aku sudah menyakitimu hingga kau tak mau melihatku lagi? Yang aku tahu sebelum kau menjauh kau masih mau aku temui bahkan kita sempat bertukar saliva dengan nikmat? Apa ada yang salah Dayana?" "Pandu!" "Ya Ma." Dan Pandu tersentak dari lamunannya. "Nanti kita diundang makan malam oleh keluarga tunangan kamu, maaf mama tak bisa hadir, sampaikan permohonan maaf mama, nanti mama ada undangan penting, dan Yana kamu pulang sendiri aja ya nggak papa, biar diantar sopir kantor." "Iya Ibu." Dayana mengangguk sambil menyesap teh madunya. "Ma, maaf, kayaknya nanti malam aku juga nggak bisa, ada kerjaan yang kayaknya nggak bisa aku tunda." "Ck kamu ini kok sama kayak tunanganmu, sama-sama sibuk, gimana nanti kalo kalian nikah, bisa ketemu apa nggak kira-kira di rumah kalian?" "Kan Mama yang mau kami tunangan?" "Ya nggak gitu juga, kamu kan nggak nolak waktu almarhum papa kamu menjodohkan kalian." "Kondisi papa yang sakit yang nggak mungkin bikin aku nolak, sama saja aku bunuh papa kalo aku nolak." "Nggak usah sok drama Pandu, nyatanya kalian kan sering jalan berdua, iya kan?" "Yah dan dia lebih banyak diam atau menatap laptopnya saat berdua, atau kadang mulai merayu aku tapi aku yang nggak doyan, sudah ah Ma aku berangkat." Pandu bangkit setelah menghabiskan secangkir kopi. "Anak itu cari penyakit aja, sudah tahu punya penyakit lambung malah nggak makan, dan hanya minum kopi." "Dia kayaknya nggak akan pernah cocok sama tunangannya Ma." Abi menatap punggung saudara kembarnya yang semakin menjauh. "Nggak Abi, mereka hanya butuh penyesuaian." "Sudah sejak lama kan Ma, dan mereka nggak pernah bisa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD