Ben menepati janjinya. Dia hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk membersihkan dirinya dan berganti pakaian. "Silahkan masuk, Om." Angelica membukakan pintu mobil untuk Ben.
"Saya yang akan menyetir, sebaiknya kamu yang duduk di sana," kata Ben. Ben tidak pernah mengijinkan dirinya duduk manis sementara wanita menyetir terlebih wanita itu masih muda.
Angelica menggelengkan kepalanya. "Aku hanya minta Om untuk menemaniku. Tidak untuk yang lainnya. Sebaiknya Om masuk dan duduk manis, jangan sampai membuang banyak waktu." Ben hendak membantah namun tubuhnya sudah terdorong masuk.
"Maaf, Om. Aku bukan orang yang sabaran." Angelica duduk di balik kemudi lalu menyalakan mesin kemudian dia memacu mobilnya meninggalkan kediaman Ben. Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka pembicaraan. Ben sendiri sebenarnya gatal ingin bertanya tentang tujuan mereka. Namun melihat Angelica yang fokus menyetir Ben akhirnya mengurungkan niatnya.
"Saya sudah sarapan," kata Ben saat mobil berhenti di depan sebuah resotaran. Angelica melirik jam tangannya.
"Sekarang sudah jam sebelas, Om. Sekalian makan siang ajahlah, biar kuat." Perkataan terakhir Angelica terdengar ambigu. Dan harus membuat Ben berpikir sangat keras.
Restoran yang mereka datangi adalah restoran seafood. Restoran ini sduah menjadi langganan keluar Angelica sejak dulu. Restoran seafood terenak yang pernah Angelica tahu. Menurut informasi yang dia dapatkan dari Lea. Ben merupakan pecinta makanan laut. Karena itu dia memilih tempat ini untuk makan siang mereka. Ben mau tidak mau turun dari mobil dan mengikuti langkah kaki Angelica memasuki restoran tersebut.
"Om mau pesan yang mana?" Angelica memberikan menu ke pada Ben.
"Saya kenyang," tolak Ben langsung. Anglica sebenarnya ingin memaksa pria itu memilih menu tapi dia biarkan saja. Menurut buku 'cara memikat pria dengan benar' yang dia baca, Angelica di sarankan untuk bermain halus. Tidak boleh menggebu-gebu dan juga memaksa. Karena langkah awalnya adalah membuat si pria nyaman.
Angelica menyebutkan pesanannya pada pegawai restoran lalu memesankan jus alpukat untuk Ben. Dan sekali lagi, informasi dari Lea, laki-laki itu menyukai jusa alpukat. Angelica berpikir dia akan membeli banyak alpukat nanti saat dia sudah menikah dengan Ben.
"Selamat makan," guman Angelica pelan sesaat setelah dia selesai berdoa.
"Apa alasan kamu, melakukan semua ini?" tanya Ben seraya memandangi udang saus asam manis di piring Angelica. Sialan, perutnya sepertinya meminta di sisi juga.
"Melakukan apa?" Angelica balik bertanya. Dia melahap makananya dengan sedikit terburu-buru. Dia takut Ben bosan dan meninggalkannya.
"Saya yakin ada hal lain di balik ini semua. Pertama kamu membelikan saya kemeja, kedua kamu mengajak saya jalan. Katakan, apa alasan kamu?" Ben bertanya untuk yang kedua kalinya. Angelica tidak langsung menjawab, dengan santai dia menyuap nasi ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya dengan pelan. Angelica meraih gelas berisi air lalu meneguknya hingga tersisia setengah.
"Saya yakin ini bukan karena uang. Di lihat dari segi manapun kamu tidak kekurangan uang." Ben menatap Angelica dengan pandangan curiga.
Angelica tersenyum tipis. "Karena aku pikir aku menyukai kamu, Om." Ben melipat tangannya di atas perutnya.
"Kamu apa?"
"Ingat pertemuan pertama kita, Om? Saat itu aku kalah taruhan dan aku harus meminta cium sama orang yang melewati meja kami saat itu. Dan kebetulan sekali Om adalah orang pertama yang melewati Aku dan juga teman-teman ku." Ben mengangguk acuh.
"Aku berpikir saat itu Om sangat sopan. Jadi aku tertarik," kata Angelica lagi.
"Perlu kamu ketahui kalau saya tidak akan tertarik dengan gadis kecil seperti kamu. Kamu bukan tipe idaman saya." Belum apa-apa Ben sudah menolaknya. Angelica sebenarnya sakit hati, tapi dia pantang menyerah.
"Om, tidak perlu ge-er. Aku bilang aku tertarik bukan berarti jatuh cinta. Dari satu sampai sepuluh rasa suka yang aku punya untuk Om itu berada di angka satu." Angelica jelas berbohong. Jika benar si hitung dari satu, mungkin angka yang Angelica rasakan berada di angka sepuluh. Angka dimana dia sangat ingin memiliki pria di hadapannya itu.
Ben mendengus, ada bagian dari dirinya yang tidak menyukai angka yang Angelica sebut. Sebagai laki-laki tampan dan mapan, dia sering menjadi rebutan para wanita. Seharusnya dia mendapatkan angka paling tidak delapan. Namub Ben merasa hal itu tidak begitu berpengaruh. "Setelah ini kemana? Saya tidak ingin berlama-lama dengan kamu." Angelica mengepalkan tangannya kuat di bawah meja, dia berusaha untuk tidak terpengaruh pada kata-kata yang dilontarkan Ben.
"Kita lihat saja, Om," kata Angelica sok misterius.
"Aku yang bayar," kata Angelica langsung bergegas ke kasir. Angelica menyebut nomor meja yang dia tempati lalu membayar sesuai dengan jumlah tagihan.
Untuk kedua kalinya ego Ben sebagai pria sejati di senggol. Disetirin dan dibayarin dengan gadis yang bahkan masih duduk di bangku sekolah. Ben akan membalas Angelica lain kali. Dia akan menyetir sendiri dan membawa gadis itu ke restoran paling mahal yang pernah ada di Indonesia. Ben berjaji akan hal itu.
"Om, ayo!" Angelica berseru cukup keras sehingga menyebabkan mereka jadi tontonan pengunjung restoran itu. Kebanyaka dari mereka memandang Ben dengan pandangan sinis.
Setelah makan, Angelica mengajak Ben ke mall. Mereka memasuki bioskop, satu hal lagi di luar dugaan Ben. Dia pikir Angelica akan meminta di temani berbelanja. Mengingat gadis itu juga berasal dari keluarga yang lumayan terpandang.
Angelica sebenarnya sudah bosan berada di dalam bioskop. Film yang di putar sama sekali buka film yang dia sukai. Dia menoleh ke arah Ben, pria itu terlihat fokus dan juga serius menonton. Film tentang detektif dan menyajikan banyak teka-teki membuat Angelica mengantuk. Tapi dia masih harus menahannya, film baru setengeh jalan.
Angelica mendesah lega ketika film berakhir. "Katakan tujuan kamu setelah ini. Saya tidak ingin berlama-lama lagi," kata Ben seraya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Angelica tersenyum lalu mengajak Ben ke bagian lain dari mall itu. Pilihannya adalah game center. Ben mungkin tidak menyadarinya, tapi dia terlihat begitu lepas saat bermain dengan Angelica. Setelah menghabiskan waktu selama dua jam, mereka berakhir di salah satu restoran cepat saji. Makan begitu lahap mungkin karena dia tidak makan siang tadi.
Angelica diam-diam tersenyum melihat Ben. Dia bahagia dengan kebersamaan mereka hari ini. Angelica berharap akan ada hari lain yang mereka habiskan seperti ini.
"Om seperti orang yang tidak makan tiga hari," kata Angelica saat Ben menghabiskan porsi keduanya. Ben mengangkat bahunya acuh. Dia tidak peduli dengan komentar gadis muda di hadapannya itu.
"Saya sudah membayar hutang saya. Kedepannya saya harap kamu tidak mengganggu saya lagi."
"Aku tidak bisa janji. Karena seperti yang Om ketahui kalau aku memiliki rasa suka sama Om. Meski hanya sedikit," kata Angelica.
"Sebaiknya kamu melupakan perasaan mu yang sedikit itu. Karena saya tidak akan pernah menerimanya," balas Ben pedas. Ben begitu yakin kalau dia tidak akan jatuh cinta pada perempuan seperti Angelica. Menjalin hubungan dengan wanita yang jarak umurnya jauh, tidak pernah adala dalam hidup Ben. Perempuan seperti mereka belum dewasa. Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan ego sendiri. Itu menurut Ben.
"Pernah nonton atau dengar berita nggak, Om, yang judulnya 'seorang pria di temukan tewas terbunuh karena menolak cinta dari perempuan yang tulus'?" Ben tersedak ludahnya sendiri.
"Kamu mengancam saya?" tanyanya melotot. Angelica mengangkat bahunya dengan santai.
"Aku, kan hanya bertanya, Om. Tapi kalau Om merasa terancam, itu bukan masalahku."
"Ngomong-ngomong, aku tidak akan mengantar kamu pulang, Om. Hati-hati di jalan." Angelica meninggalkan Ben di depan lobby mall.
Bersambung...