Tangan Kotor

987 Words
Masalah mulai muncul. Aku tak tahu jika jalan ke bukit sedang dilakukan pengamanan ketat. Polisi menemukan tempat yang biasanya kupakai untuk mengubur semua mangsaku. Charlotte pun tak bisa kukubur di sana. Aku harus mencari tempat yang baru. Sial! Siapa polisi yang menemukan tempat ini? Aku harus cari tahu. Aku putar arah menjauhi bukit. Saat dipertigaan aku melihat seseorang yang tampak tak asing. Pria yang mondar-mandir di dekat apartemenku. Bukankah itu.. # Aku baru saja menginjakkan kaki masuk ke lobi apartmen ketika pandanganku terarah pada nona muda bercardigan merah muda yang berjalan sambil tertunduk lesu. Membawa dua tas besar yang ia pun cukup kewalahan untuk ia rangkul di kedua sisi tangannya. Tepat saat tanganku menggapai salah satu tas belanjanya yang akan terjatuh,  ia mengangkat wajahnya tepat menatap mataku. Aku terkesiap dengan dua bola mata indah itu — "Gerald?" sapanya dan aku menegakkan punggung sambil meraih tas yang kuintip banyak pakaian didalamnya. "Kau habis belanja?" Irene tersenyum canggung sambil menekan tombol lift naik. "Ah.. Yah. Begitulah." Ia seperti enggan untuk membahasnya. Aku tersenyum tipis sambil menunggu lift terbuka. "Apa kau baru kembali dari suatu tempat?" Irene penasaran dengan koperku yang berada dibalik tubuhku.  Aku mengangguk sambil bergerak masuk ke lift yang telah terbuka. Menekan angka 5 lalu 18 sebelum pintu menutup sempurna. "Aku baru kembali dari Brooklyn. Sesuatu terjadi padamu?" Irene mengerjapkan matanya berulang kali. Membuatku yakin bahwa sesuatu benar-benar terjadi padanya. "Tidak apa kalau kau tak ingin membahasnya. Tapi kau terlihat lebih lelah dariku —" Suasana hening hingga dentingan lift membuyarkan segala pikiran yang berkecamuk di diri kami. Irene baru saja akan beranjak hingga ia menoleh sebelum pintu akan menutup. Saat ia menoleh itulah,  bayangan yang menghantuiku datang kembali. Apalagi lewat liontin mawar biru itu. Aku terhipnotis dengan mata teduh Irene yang mengisyaratkan begitu banyak tertimbun kesedihan. Mulutku spontan mengatakan sesuatu yang kusadari ini bukan perintah otakku. Aku menyadarinya setelah Irene hanya diam mendengarkan. "Kau sudah makan malam?" . . "Apa tidak apa-apa aku masuk ke apartmentmu?" Aku tersenyum ironi mendengar gerutuan Irene yang tengah mengamati seluk beluk ruangan di rumahku. "Seharusnya aku yang mengatakan hal itu —" Irene balas tersenyum dan aku mengamati sisa potongan sawiku di atas nampan. Juga.. Mengamati lurus-lurus pisau dapur yang baru kuasah. "Karena aku pikir kau orang yang introvert,  aku terkejut saat kau mengajakku makan malam." Suara air yang mendidih menandakan berakhirnya sup yang tengah kumasak. Setelah mencicipi rasanya,  aku kembali fokus pada bahan-bahan yang akan kucincang. "Aku lihat kau kekurangan energi. Karena aku juga belum makan, lebih menyenangkan membawa seseorang untuk makan bersama." Irene tiba-tiba muncul di depan pantry. Tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya padaku. "Apa Dara juga sering kau ajak berkunjung?" tanyanya penuh selidik. Aku mengangguk sebagai jawaban dan menyelesaikan potongan akhirku pada tomat dan tahu. "Aku ingin melakukan sesuatu juga. Bagaimana bisa aku yang perempuan diam saja saat laki-laki yang memasak?" Aku menahan cepat tangannya yang mulai mengambil alih pisauku. Pandangan kami kembali bertemu dan ia menampilkan riak terkejut yang sama seperti para korbanku. Terkejut melihatku membekap mulut mereka dengan kain. Atau saat aku mulai mengangkat tinggi-tinggi pisau bedah ke tenggorokan mereka. "Biar aku saja. Tidak apa." Senyumku lagi yang berhasil menurunkan tangannya dari pegangan pisau. Irene menuruti ucapanku dan ia berakhir dengan duduk melipat kaki menungguku selesai memasak di seberang pantry.. . . Makan malam dengan menu sederhana membuat perasaan kami lebih membaik. Apalagi diakhiri dengan sebotol anggur merah yang kami nikmati sebagai penutup makan malam yang terbilang cukup larut ini. Perlahan, Irene mulai berceloteh tentang perasaan yang ia tahan sejak tadi. Segala keluh kesah tentang persiapan pernikahannya. Dan tentang calon suaminya yang berkeinginan untuk menunda pernikahan mereka. "Akan lebih baik jika kalian menikah lebih dulu kan?" Aku mencoba berbicara normal disaat aku sendiri pun berada diambang kebosanan mendengarkan curhatan wanita. Irene menenggak habis isi di gelasnya lalu menuangkannya lagi sedikit demi sedikit. "Aku yang sekarang lebih mengkhawatirkan pekerjaannya. Aku punya firasat buruk tentang kasus yang tengah ia tangani saat ini." Aku mulai tertarik mendengarkan. Karena ini menyangkut kasus yang mungkin tengah menyenggol hobiku itu.. "Aku tidak merasa pernikahan ini menjadi lebih penting. Aku memikirkan keselamatannya,  itu saja." Aku berdecih mendengar kisah klasiknya. "Kau sangat mencintai calon suamimu itu yah?  Aku iri mendengarnya." Kami berdua tertawa pelan dengan saling menyatukan gelas ke udara dari kejauhan. "Dia satu-satunya yang kumiliki saat ini. Kehadirannya saat pertama kali menjemput tanganku dari kegelapan, membuatku memiliki harapan hidup." Tak ada kata yang ingin kulontarkan sekarang. Irene mulai memasuki masa kelam dari ceritanya sendiri. "Memiliki penyakit di saat tubuhmu terlihat tak seperti kesakitan,  membuatmu dilihat berbeda dari orang lain." Irene mengangkat kepalanya menatapku intens. Mata yang mampu menusuk dan memindai semua masa kelamku saat masih berumur tujuh tahun. "Saat orang lain menganggap mental illness ku adalah pengganggu dan kesialan, Mino malah menganggapku sebagai manusia kuat yang dianugerahi Tuhan kepadanya." Irene masih melanjutkan ceritanya tanpa memperdulikan dering ponsel yang menginterupsi. Meski diliriknya sepintas nama di layar,  ia masih sempat-sempatnya menenggak anggurnya yang tersisa. "Mau kuantar ke apartemenmu? Sepertinya kau sudah mabuk Irene—" Dengan cepat kutangkap tubuhnya yang akan terjatuh ke lantai itu. Irene menggenggam erat tanganku lalu mencoba berdiri tegak menghadapku. Menekan telunjuknya ke dadaku lalu kembali berceloteh — "Aku merasa ia mulai takut denganku. Aku merasakan hal itu." "Apa yang ia takutkan darimu?" tanyaku yang mulai tak bisa menahan diri untuk tak bertanya. Irene mencoba berdiri tegak lalu melepas pegangannya padaku. Menggigit bibir bawahnya sendiri lalu mulai terisak pelan. "Ia takut dengan —" Irene mengamati kedua tangannya dengan seksama, "— kedua tanganku yang kotor ini." Kutarik kedua tangan itu lalu meniupkannya.  Seolah di sana terdapat debu yang menumpuk. Kuusapkan beberapa kali lalu kutiup kembali. Tangannya yang hangat menyatukan lagi ingatan masa kecilku di rumah sakit. Rumah sakit yang pernah mengurung seorang penderita gangguan mental traumatis sepertiku. Ingatanku berada pada seorang gadis kecil yang melakukan hal yang sama seperti yang tengah kulakukan ini. Kemudian bayangannya hilang tergantikan dengan mata teduh Irene yang tak berkedip menatapku. Tak lupa dengan rona merah yang membungkus pipinya sejak tadi — "Kotorannya sudah hilang. Tanganmu sudah bersih." Irene masih betah menatapku hingga aku kembali melanjutkan ucapanku.. "Lupakan ke khawatiranmu itu , karena tangan yang lebih kotor darimu, lebih banyak lagi diluaran sana." Dalam hati aku melanjutkan — termasuk kedua tanganku ini. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD