She is Irene ( POV )

1215 Words
Bagaimana bisa aku mabuk dengan orang yang belum genap seminggu kukenali? Dan aku mabuk di rumahnya. Menempati king size miliknya yang berada di kamar bernuansa putih dan abu-abu. Entahlah. Aku rasa kemarin.. aku terlalu mabuk. Kalau Mino tahu... Ah. Aku harus bergegas. Aku langsung beranjak begitu mendengar dua kali ketukan di pintu. Itu pasti Gee. Apa yang harus kukatakan padanya? Maaf? Oh ya ampun. Kenapa aku merasa gugup? "Masuklah. Oh salah! Ini bahkan bukan kamarku —" Aku menutup wajah malu saat pintu kamar dibuka. Gee malah tersenyum geli melihatku. Senyum yang manis sekali. Tapi Mino selalu memperingatkanku. Jika ada seseorang yang terlalu sempurna penampilan maupun sikapnya, pasti ada yang tak beres di dalan dirinya. Apa Gerald juga termasuk dalam orang yang seperti itu? "Tidurmu nyenyak?" Suara Jiyong seperti tertahan untuk tak tertawa. Aku mengusap wajahku lalu menyisir rambutku dengan jari. Ia masuk dengan nampan dengan meja kecil sekali. "Ah iya. Maaf Gee.  Aku amat sangat tidak sopan tidur di rumahmu." Gerald membawa air perasan lemon dengan sedikit madu padaku. Aku menerimanya dengan sungkan karena sikapku menjadi canggung dibuatnya. Dia sudah terlalu banyak membantuku. "Kau mabuk dan aku sama sekali tidak tau password rumahmu. Jadi begitulah." "Yah dan aku merasa malu sekarang." Gerald tampak tak acuh dan malah tersenyum tipis menanggapi kebodohanku. Memang tak terjadi apapun, tapi tetap saja ini hal yang memalukan. "Aku kembali dulu." Tepat saat aku akan melewatinya yang tengah duduk di tepian ranjang, Gerals menahanku dengan tangan yang terjulur membentuk pagar penghalang. "Tidak ikut sarapan bersamaku?" Spontan aku menggeleng untuk mengurangi ketidaksopananku. Nyeri di kepalaku pun menguap entah kemana karena tatapan penuh selidik yang Gerald arahkan padaku. Aku cukup berterima kasih karena ia merawatku saat mabuk. Jadi alangkah baiknya,  jika aku menguranginya dengan tawaran sarapan pagi yang bisa kubayangkan akan seenak makan malam kemarin. "Terima kasih,  tapi kita ada jadwal untuk pembukaan butikmu, kan? Aku akan menyusul ke acara itu. Jadi aku harus bersiap sekarang." Gerald mengangguk mahfum dan ia membukakan pintu agar aku keluar dari rumahnya. Saat dia lagi-lagi diam menatapku itulah,  perasaanku terusik. Terusik dengan pertanyaan yang kusimpan sejak tadi. "Ehm.. Itu. Apa semalam — aku ehm mengatakan sesuatu yang aneh?" Gerald berdeham keras sebelum menjawab, "Tidak ada. Kau hanya mabuk dan langsung tak sadarkan diri." Gerald masih mempertahankan senyumnya hingga aku beranjak menuju lift. Aku beberapa kali membungkuk untuk mengucapkan terima kasih sampai suara dentingan lift yang terbuka menyadarkan keterpakuanku pada pemilik PEACEMINUSONE itu. "Terima kasih banyak, Gee." "Not much. Jangan sungkan. Kita kan bertetangga," ujarnya yang mampu membuatku terperangah. Apa dia berpikir mungkin lain waktu akan menjadi hal biasa seperti ini? "Ah lebih baik jika lain kali kita minum di luar saja." "Kenapa? Apa tunanganmu orang yang amat posesif?" Aku tergelak. Merasa terusik juga dengan ungkapan itu. Seberapa sering aku menolak untuk tak terheran - heran, tetap saja wajahnya mirip dengan Mino, tunanganku. Mungkin karena mengingatnya, aku menjadi salah tingkah. Salah tingkah karena dengan imajinasi bodohku tengah mengkhianati tunanganku itu. Aku tergelak karena pemikiran itu. "Kau tahulah. Kami akan segera menikah. Apa kau akan baik-baik saja jika tunanganmu tidur di rumah orang lain?" Gerald menyeringai. Aku tak mengerti dengan seringaian itu. "Hanya tertidur. Bukan berarti tidur bersama." "Apa?" "Aku bercanda. Oh ayolah. Aku mengerti. Lain kali memang harusnya kita minum di luar saja." Atau lebih baik aku takkan mabuk lagi apalagi bersamamu, monologku. "Aku naik dulu." Gee mempersilahkan dan lift mulai bergerak naik. Beberapa saat tadi, mengapa aku merasa gemetaran dan deg-degan? Apalagi saat Gee menatapku sedemikian rupa. Mengingat tentang priaku,  aku terkejut tak mendapati satu pun panggilan darinya. Apa penemuan mayat di hutan menjadi kasus berat yang ia kerjakan kali ini? . . Acara pembukaan serta kerja sama yang terjalin antara PMO dan RV Coorporation  berjalan sempurna. Gerlad dengan rekannya bersama memotong pita merah yang di buat untuk acara lounching cabang PMO di daerah street park Portland. Confetti dan balon saling berterbangan untuk memeriahkan acara. Beberapa penyanyi solo maupun band juga dipanggil untuk mengisi acara yang dilakukan tepat di dalam gedung PMO yang memiliki tiga lantai ini. Selain kantor,  gedung ini juga digunakan untuk mendesign pakaian yang akan mereka kerjakan. Sebagai sponsor,  perusahaan kami menyiapkan jasa promosi di berbagai bidang. Baik media cetak maupun elektronik. Aku senang bisa bekerja sama dengan mereka berdua yang kompeten menjalankan bisnis fashion seperti ini. Karena bagaimanapun,  mereka profesional dan bisa bertahan di mana fashion di Amerika amat sangat meroket dan saling bersaing satu sama lain. "Selamat yah Gerald." Alice bersemangat sekali pagi ini. Ia bahkan yang membantu segala persiapan sebelum acara ini berlangsung. Rona merah saat Alice tersipu malu oleh Gerald,  sedikit membuatku terusik tanpa alasan. Apa aku merasa iri dengan hubungan itu? Tidak tidak tidak. Kenapa aku harus iri? "Tentu. Harusnya aku lah yang sangat berterima kasih di sini. Atas kepercayaan kalian menjadi sponsor untuk produk kami." Kami saling memuji satu sama lain,  hingga mata kami bertemu lagi. Lagi-lagi aku mengerjap karena perasaan canggung itu masih ada. Aku tak mengerti dengan diriku sendiri hari ini. Kenapa aku begitu bersemangat dan canggung dengan bersamaan? Dara menepuk pundakku saat aku tengah berbincang dengan beberapa rekan yang ikut datang ke acara. Memberiku sebuah kartu lalu berbisik. "Datanglah dengan partnermu. Pesta yang sebenarnya akan berlangsung sore nanti." Black Gate. Tertulis tempatnya adalah sebuah bar yang lumayan terkenal di kawasan ini. Aku tak sempat menolak saat Alice sudah mengerlingkan mata ke arahku. Meminta persetujuanku agar ikut ke pesta tersebut. "Oh ayolah. Pesta bujang untukmu juga Irene. Karena kau sebentar lagi akan menikah!" Dara ikut mengompori ucapan Alice, "Nah! Itu ide yang bagus. Ajak ia sekali." Aku menggeleng, "Aku rasa Mino tidak akan membiarkanku ke tempat seperti ini." Mereka berdua mendengus kecewa. Tapi aku juga tetap tak merubah niatanku sedikitpun. Gerald lagi-lagi mengarahkan pandangannya padaku,  saat dirinya masih sibuk berkumpul dengan beberapa pembisnis. Ketika kudapati ia tengah mengarah ke kami,  dengan cepat ia memalingkan pandangannya. Aku rasa , bukan aku yang tengah ia perhatikan. Namun salah seorang di sekitarku. Seorang nyonya muda dengan anak perempuannya? Ponselku berdering. Menampilkan nama yang sudah aku tunggu sejak tadi. Aku ingin seperti gadis lain yang pura-pura merajuk. Tapi sepertinya aku tak bisa membayangkan diriku yang seperti itu. "Aku ke toilet dulu," ucapku pada Alice. Aku berlari kecil setelah mengatakan halo pada Mino. "Maaf aku tidak mengabarimu semalam." Mino terdengar gusar dicorong telepon. Beberapa kali ia menghela napas untuk menceritakan apa yang telah ia lakukan kemarin. "Tidak apa. Aku yakin kau lelah. Mau kuantarkan bekal untukmu?" Dengan ponsel di sisi kiriku,  aku bisa mendengar omelan seorang wanita di dalam toilet. Nyonya muda yang ternyata tengah memarahi anak perempuannya. Ia tak berhenti meskipun aku dengan sengaja berdiri di depan cermin. Anak perempuan itu tersedu dan melirik ke arahku. Aku ingin bersimpati,  tapi gadis kecil itu sudah ditarik keluar dari toilet. "Irene,  kau masih di sana? " Aku mengerjap beberapa kali sebelum menjawab panggilannya. "Kau pasti sangat lelah. Ada apa sebenarnya dengan korban?" Aku melangkah keluar dan melihat punggung seseorang di ujung lorong. Mino mulai bicara dengan menghela napas lagi, "Kami bukan menemukan satu tetapi lima korban lainnya. Dan seperti dugaanmu, kasus penculikan ada hubungannya dengan ini." Aku mendekati pria itu karena aku tahu siapa pria dengan tatto wings tersebut.. "Kesemuanya adalah daftar orang yang hilang." Aku tak terkejut lagi mendengar itu. Karena sejak awal, aku benar, kan? Belum sempat aku menghampirinya, punggung itu telah pergi. Lewat cermin yang memantulkan dirinya tadi,  aku sempat melirik raut wajahnya yang berbeda. Alis yang menyatu dengan mata penuh ambisi. Ambisi yang sama seperti yang pernah kurasakan dulu. Ia berdiri sambil melonggarkan kerah kemejanya lalu mengepalkan sebelah tangannya. Aku menolak untuk berpikir terlalu jauh sampai Mino menyelesaikan ceritanya. "Yang tengah kuhadapi ini,  benar-benar k*****t gila —" . . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD