Dara terus saja meracau. Sepertinya ada yang aneh dengan wanita ini.
Dia seperti orang lain yang membahas tentang apa yang paling tidak aku sukai. Dalam keadaan meraung seperti orang mabuk, aku meninggalkannya setelah benar-benar kulumpuhkan.
"Heroin? Sejak kapan?"
"KATAKAN PADAKU GEE! APA HUBUNGANMU DENGAN --"
Kubekap mulut Dara dengan tanganku. Sedikit kuremat agar ia benar-benar diam lalu kuberi ancaman dengan pisau bedah yang setia berada di saku celanaku. Dara mendelik sambil meremat tanganku kuat-kuat. Mungkin mulai menyadari bahwa aku tak suka permainan manja seperti ini.
"Aku pernah bilang padamu, bahwa hubungan kita tak lebih dari rekan. Apapun yang aku lakukan, itu bukan hakmu untuk ikut campur."
Dara mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tangan yang gemetaran pula. Sepertinya, efek obatnya sudah hilang.
Bagus.
Aku benci obat-obatan seperti ini. Apalagi harus menikmati tubuhnya dengan obat itu.
Maaf Dara. Aku tidak ingin merasakanmu lagi.
"Berhentilah memakai ini! Kau..akan hancur."
Aku mengenakan pakaianku lalu bergegas keluar untuk membuang barang haram tersebut. Namun belum sempat aku menuju pintu, Dara berteriak memanggil namaku.
"AKU BAHKAN SUDAH HANCUR GEE! KAU TAHU BETAPA SAKITNYA AKU MENUNGGU? KAU TAK PUNYA HATI! KAU MEMANG TAK PUNYA HATI GEE!"
Blam!
Kutinggalkan dia. Aku tak mau melanjutkan pertikaian yang kekanakan ini. Terserah dia akan mengatakan semua ini pada siapapun. Karena aku merasa tak ada alasan untuk mempertahankannya apalagi bersamanya.
Kubuang benda itu di salah satu tempat sampah. Menikmati pantai yang berdekatan dengan hutan ini ternyata memiliki daya tarik sendiri. Mungkin menghabiskan waktu sebelum pesta dimulai, tidak ada salahnya. Lagi pula, hari masih terik dan berada di dalam kamarpun akan menyesakkan.
Aku butuh pelampiasan lain agar hidupku kembali segar.
Apa ada yang bisa kujadikan korban di sini?
Baru saja aku keluar dari hotel, aku merasa ganjil dengan sekitarku. Setiap kali berjalan, aku merasa seseorang tengah memantauku.
Kali ini kupercepat langkahku untuk mencari tahu siapa yang menguntitku. Aku menuju ke dalam hutan sesuai petunjuk maps yang hotel berikan.
Dia masih mengikutiku. Sampai di batu besar menuju air terjun, aku bersembunyi untuk melihat siapa yang menguntitku. Kusiapkan pisau bedahku dan kudengar dia mulai melangkah. Namun ketika tinggal semeter lagi, dia pun diam tak bergerak.
Mungkin dia tahu aku tengah ingin menyergapnya. Karena tak ada lagi pergerakan darinya, aku mengintip dengan perlahan. Dan kulihat dia tak lagi di sana.
Tiba-tiba aku merasa asing dengan suasana ini. Apa jangan-jangan...dia ada di atas batu?
Baam!
Batu besar menghantamku. Penglihatanku kabur. Aku tak bisa lihat dengan jelas siapa seseorang yang tengah memakai pakaian serba hitam itu. Lalu dalam hitungan detik berikutnya, penglihatanku gelap dan aku tak sadarkan diri.
===
Bau asap, sesuatu yang dipanggang, serta bau busuk lainnya menyergapku. Aku terbangun dengan tangan terikat ke belakang. Aku tak tahu ini di mana dan sudah jam berapa. Tapi sepertinya, aku sudah terlambat ikut ke pesta.
Api unggun menyala dengan besar. Suara langkah terseret - seret mulai mendekat. Aku penasaran, siapa yang menyerangku lalu menyeretku ke mari. Namun dia sengaja duduk menjauh dari api hingga aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Bagaimana rasanya terikat? Kau suka melihat korbanmu tak berdaya kan?"
"Siapa kau?"
Pria itu tertawa pelan. Lebih tepatnya menertawakan pertanyaanku. Aku mengamati sekitarnya yang sayangnya aku tak bisa lihat apapun. Aku harus memancingnya keluar dari kegelapan itu. Agar aku bisa tahu, apa yang dia rencanakan.
"Apa kau akan bertanya pada korban-korbanmu dengan seperti itu? Aku pastikan kau takkan bertanya."
Aku tahu. Aku harus memancingnya keluar. Tapi bagaimana? Membuatnya marah atau kesal?
"Kau tahu sekali apa yang kulakukan. Apa kau penggemarku?"
Dia menggeram. Aku rasa benar bahwa dia penguntitku. Atau mungkin dia orang yang melakukan pembunuhan pada seorang remaja sekolah?
"Kalau kau diam, itu artinya ya. Bagaimana perasaanmu saat membunuh? Apa kau senang?"
"Belum. Aku belum puas sama sekali. Karena aku ingin jadi terkenal seperti kau. Lalu aku bisa dengan bangga untuk membalas dendam."
Dendam?
Jadi itu...
"Apa istrimu berhasil kubunuh dengan tanganku ini?" pancingku.
Pria itu terdiam lalu seperti tengah mengasah-asah sesuatu di atas batu. Suara besinya mengilukan. Dia sengaja melakukannya agar aku meringis.
Dia..sepertinya tahu banyak tentangku. Aku kecolongan. Bisa gawat jika dia memiliki semua bukti perbuatanku..
"Bukan urusanmu."
"Kalau begitu..anakmu? Atau gadismu?"
"DIAM!" teriaknya.
Dan aku bisa rasakan dia terpancing dengan ucapanku.
"Jangan coba-coba memancingku dasar psikopat gila! Sekarang kau harus rasakan bagaimana caramu melenyapkan mereka semua."
Dia akhirnya datang menunjukkan diri. Walau aku harus puas dengan topeng yang menghalangi wajahnya. Yang tampak jelas adalah dia mengenakan jaket boomber hijau lumut dengan celana berwarna senada. Tidak terlalu besar dan mungkin berat dan tingginya hampir sama denganku. Dan yang menarik perhatianku adalah kalung yang ia kenakan.
Aku seperti tak asing dengan kalung tersebut.
"Kapan? Kapan kau akan lakukan itu?" gertakku.
Dia tertawa lagi dengan nada yang dibuat-buat. Kali ini aku bisa mencium aromanya. Dia baru saja minum bir dan aku tahu apa yang dia minum. Kalung itu semakin membuatku penasaran. Aku coba mengingat dengan seksama, namun tetap tak ingat.
"Kau tunggu saja. Ini takkan berlangsung lama. Tapi sebelum itu, kau harus mengakui semua perbuatanmu. Akan aku siapkan rekaman untukmu."
"Ck. Apa yang ingin kau dapatkan dariku? Mengaku juga takkan menghidupkan kembali wanita itu."
Pria itu tertawa lagi. Kali ini lebih keras.
"Aku ingin kau mengakuinya bukan untuk membuatmu tertangkap. Tapi aku ingin perlihatkan bahwa kau psiko murahan itu. Dan aku akan menggantikan posisimu. Tugasmu sampai di sini saja, dan aku akan lanjutkan dengan caraku sendiri."
"Kau punya tujuan?"
"Tujuan?"
"Aku punya alasan mengapa melakukan hal itu. Jika kau hanya ingin jadi peniru, maka tetaplah menjadi peniru. Kau takkan pernah bisa menjadi...aku!"
Tampaknya ucapanku berhasil membuatnya tersinggung. Tanpa segan-segan sepatu bootsnya itu mendarat di dadaku. Aku terjatuh ke belakang hingga kepalaku terantuk keras ke lantai.
Sial!
Ini cukup sakit. Aku pastikan nanti akan membalasnya.
"Aku tak ingin jadi peniru! Aku ingin jadi sepertimu! Cukup aku seorang."
"Fans maniak rupanya. Bagus tapi sekaligus menjijikkan."
Dia maju lagi dan kini mengangkat tangannya ke atas untuk melayangkan bogem mentah padaku. Sebelum dia benar-benar melakukannya, aku mendengar suara gesekan dan juga langkah kaki dari balik bayangan gelap.
Pria berbau kaki ini mulai marah lagi dan melayangkan tinjunya padaku. Namun di saat yang bersamaan, dia terhantam keras oleh benda tumpul dari seseorang di belakangnya.
BUKKH!
Aku cukup terkejut melihat serangan itu. Pasalnya, itu amat keras dan sukses membuat pria itu ambruk. Aku lantas melihat secara detail siapa yang datang. Apa dia berniat untuk membantuku, atau justru melenyapkanku juga.
"Kau tak apa-apa?"
Dan terkejutnya aku saat yang datang adalah orang yang tak terduga olehku sama sekali.
Irene..tersenyum menang karena berhasil menghantam pria itu dengab besi yang ia pegang sekarang.
.
bersambung