Pantai Arcandia

1029 Words
Sesuai janji, aku pergi bersama Dara ke pulau untuk merayakan ulang tahun Alice. Sepanjang perjalanan aku terus diam memikirkan hal kemarin. Tak seharusnya aku memikirkan penyesalan. Itu hanya akan membuatku ragu-ragu dengan prinsip yang aku buat. Tidak. Perasaan anak-anak hanyalah semu. Mereka berubah akan membenci saat merasa tersakiti. Tapi kemudian akan merindukan mereka saat sudah tiada. Bahkan orang dewasa juga seperti itu. Semua itu hanyalah perasaan semu. Aku yakin itu. "Gee, daritadi kau diam saja. Apa yang kau pikirkan?" "Hmm? Tak ada. Aku lupa tanya sesuatu. Ke pulau mana kita akan berpesta?" Dara menyunggingkan senyumnya sambil melajukan mobil sportnya berlari dihamparan aspal hitam. Dia bilang kami akan pergi ke Arcandia Beach. Arcandia beach menurut yang aku baca adalah tempat rekreasi keluarga di mana semua pemandangan alam bisa langsung di dapatkan dalam satu tempat. Hutan, air terjun, karang dan bebatuan serta pantai bisa di dapatkan di tempat ini. Kurang lebih lima mil untuk menyisiri pantai canon yang terkenal dengan Haystack Rock itu, atau batu besar yang menjulang tinggi. Perjalanan dua jam dengan mobil,aku tak sangka Dara sangat kuat menyetir tanpa perlu aku menggantikannya. Sepanjang perjalanan dia sangat energik dan ceria apalagi setelah sampai ke resort. Bertemu dengan si pemilik acara membuatnya semakin tak sabaran. Alice menyambut kami dan langsung memberikan kami kunci kamar. Sambil menunjuk tempatnya duduk bersantai, aku mendapati seseorang yang juga aku kenal baik. Aku tak sangka dia akan datang ke acara ini. "Irene! Aku tahu kau akan datang!" Dara menghampiri sambil cipika cipiki dengan gadis itu. Irene tampak terkejut tapi tak bisa lakukan apapun. Apalagi saat aku juga menghampiri mereka yang tengah asik mengomentari resort ini. "Aku akan kenalkan kalian dengan temanku yang lain, tapi sekang istirahatlah. Kalian pasti lelah." "Kami sekamar?" tanya Dara sok polos yang langsung mendapat sindiran dari Alice. "Mau kupisahkan?" "Ah jangan-jangan. Ini lebih baik. Gee..kau ingin istirahat?" Aku menggeleng sambil tetap memperhatikan Irene yang masih terdiam. Syukurlah Dara tak bertanya lebih jauh saat aku duduk di salah satu kursi santai. Sedangkan Alice sibuk mengobrol dengan temannya yang lain. "Sendirian?" "Dengan Alice," jawab Irene irit. Amat irit seperti masih enggan untuk bicara jelas padaku. Apa sebenarnya maksud dari keterdiamannya itu. "Tunanganmu?" Irene terdiam. Dia masih saja menyembunyikan apa yang ia tengah alami itu. Aku berjanji untuk diriku sendiri. Akan kupastikan gadis ini bercerita panjang lebar padaku nanti. "Baiklah kalau tak mau ceritakan. Aku ke kamar dulu. Tak apa bila kutinggal sendiri?" "Humm," ujarnya singkat dan sukses berhasil membuatku tak bisa lakukan apapun padanya. # Dara sudah siap mengenakan bikininya yang akan ia kenakan malam nanti. Bikini merah dengan kain segiempat motif abstrak yang katanya ia beli dari Hawai iti, ia kenakan di pinggang sebagai pemanis. Aku tak tahu kenapa Dara begitu siap dengan pesta ini. Yang jelas sejak ia berangkat sampai setibanya kami di sini, dia tak henti-hentinya tertawa bahkan nyengir di setiap kesempatan. "Kau terlihat sangat berbeda Dara." Dara datang dengan girangnya. Kali ini bergelayut mesra di pundakku sambil menggesek-gesekkan perhiasan gantungnya ke lenganku. "Benarkah? Apa aku terlihat...sexy?" Aku menggeleng. Sambil menyisiri anak rambutnya yang menutupi keningnya yang lebar. Dara amat sempurna. Wajahnya cantik dengan hidung mancung yang sempurna. Pinggangnya sangat ideal apalagi buah dadanya. Bibirnya ranum dan tebal. Aku suka saat dia mengenakan lip balm rasa jeruk. Karena aku pernah berkata demikian, aku tahu dia membeli banyak untuk lip balm tersebut. Aku telah bersamanya sebagai friend with benefit hampir selama lima tahun. Dan Dara hampir tak pernah mengecewakanku. Aku sempat khawatir saat pernah menggertaknya waktu itu. Aku pikir dia akan langsung menghindariku tapi ternyata aku salah. Aku masih membutuhkannya sampai aku benar-benar akan membuangnya. Yah..untuk saat ini biarkan dia menjamahku sesuka hati. Seperti sekarang ini, yang entah kenapa dia sudah menanggalkan satu persatu bikininya tepat di depan mataku. "Kau minum obat perangsang yah?" terkaku. Karena aku tak melihatnya berhenti menggeliyat ataupun bertingkah menggoda di depanku. Meski secara normal aku tergoda, tapi entah kenapa itu tak membuatku langsung ingin menerkamnya. Karena yang berlebihan, aku kurang bernafsu. "Entahlah. Aku pikir udara di pantai ini yang membuatku ingin bercinta." Dara sudah berjongkok sambil mengeluarkan kejantananku. Dia mendambanya sampai harus mengelusnya lalu menciumnya dengan amat sensual. Dara begitu menghayati kenikmatannya sendiri saat mulai mengumul penuh milikku. Dengan erangan serta mata yang haus akan pencapaian. Aku membantunya dengan mengelus rambutnya lembut. Atensiku akhirnya berpindah padanya yang padahal sebelumnya aku mengabaikannya tadi. Bayangan tentang Irene kemudian terlintas dipikiranku. Kini bukan Dara yang berhalusinasi, namun juga aku. Entah minuman apa yang diberikan oleh kami, atau sesuatu mungkin yang Dara berikan padaku, yang jelas aku mulai melihat Dara sebagai Irene. Rambut hitam legamnya menyapu kedua pahaku. Wajahnya yang innocent itu seperti sangat sangar dan imut di saat yang bersamaan. Aku mulai menegang saat Dara yang kulihat sebagai Irene mulai melepas kulumannya. Merangkak naik ke pahaku lalu dengan sengaja menggesek-gesekkan kejantananku yang sudah mengacung tinggi. Aku lantas tak bisa lagi berpikir jernih. Aku langsung menyerang Dara yang aku lihat sebagai Irene. Kuserang dengan ciuman penuh pada bibirnya yang tebal. Kupagut sampai suara decapan tak senonoh mengudara di dalam kamar ini. Tak lupa kuputar anak gunung kembarnya hingga membuatnya mengerang hebat. Tergulung pasrah dalam dekapanku. Irene.. Gadis itu menatapku nyalang namun juga tak berhenti membuatku ingin melangkah ke sesi selanjutnya. Karena tadi dia sudah membuatku mengacung tinggi, maka aku mengambil kesempatan untuk menuju gua surgawinya. Kuisap dan kujilat dengan leluasa karena di sana gersang nan menggoda. Irene ( Dara ) tak sanggup berdiri hingga ia berpegangan pada tiang tempat tidur. Menarik rambutku hingga ia mencapai o*****e pertamanya. King bed yang menantang semakin membutakan akal sehatku. Tak satupun ruang kuberikan pada tubuh gadis yang tengah aku tindih ini. Kulepas benang saliva ini demi untuk mendapatkan udara segar. Irene masih saja menunjukkan purple eyesnya itu hingga membuatku benar-benar tak berdaya. Aku sempat merutuk dalam hati saat mulai melakukan penetrasi. Kenapa dia bisa begitu sempit padahal aku yakin polisi gila itu sudah menidurinya entah yang ke berapa kali. Aku cemburu setiap kali membayangkan itu. Dan kali ini, kupastikan ia akan memohon lebih padaku dan menyebut namaku saat aku berada di dalamnya. "You're mine. Only my mine!" Dara yang kuanggap Irene itu juga mengatakan hal yang sama, hingga aku keliru mengerang menyebut nama keduanya. "c*m Irene! Lets get c*m!" Satu tamparan keras mengakhiri segalanya. Aku tersadar dengan realita dan dengan siapa aku bercinta. Dara lantas bergerak ke samping memaksa untuk mengeluarkan diri dari dalam diriku. Dara menekuk lututnya lantas mulai ingin menangis. Seperti kebanyakan drama wanita yang lain, Dara menangisi kebodohanku. "Irene? Jadi dia wanitamu?" . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD