Mimpi Buruk

945 Words
Cerita ini mungkin saja sama atau mendekati dengan cerita / film / drama yang ada di media. Saya teringin menuangkannya disini karena hal tersebut menarik dan mengesankan. Tapi bukan berarti saya menjiplaknya untuk saya klaim sebagai milik / ide sendiri. Anggap saja saya terinspirasi. Terima Kasih atas perhatianya . . . "Gee —" Suara itu... "Gerald sayang —" Kakinya menapak perlahan di lantai kayu. Suara deritan dari setiap langkahnya, membuat jantungku berdegup semakin tak karuan. Tidak.. Tidak mungkin wanita itu ada disini! "Gee sayang.., kamu di mana?" Bagai mimpi yang tak berkesudahan. Posisiku selalu kembali di dalam kotak persegi panjang ini. Suhu dinginnya menusuk setiap permukaan kulitku. Aku lupa mematikan mesin pendinginnya. Tapi persetan dengan itu. Aku bahkan tak pernah ingin bersembunyi di sini. Langkahnya masih mencari keberadaanku. Sudah jelas jika si gila itu tengah menggenggam pisaunya. Pisau yang berhasil menoreh perutku. "GERALD KELUAR KAU!" Tubuhku semakin menggigil. Bersamaan dengan rasa takut mendengar teriakannya. Ditambah suhu tempat ini yang semakin membuatku meringkuk, dengan perih yang juga harus ku tahan di bawah tulang rusukku, aku terisak ketakutan mendengar setiap jeritannya. Apa salahku? Aku sudah lakukan semua perintahnya. Pulang lebih awal. Memasak, membuang sampah, membersihkan tempat tidurnya lalu memasak. Tapi kenapa, ibu tetap menusukku? Apa salahku kali ini? "Ibu tau kalau kau sedang terluka. Kemari sayang... Ibu harus mengobatimu —" Aku tak kuat lagi — Ibu. Aku tidak kuat lagi. Menggigit seluruh jariku juga tak membuat tubuhku berhenti kedinginan. Aku ingin keluar. Tapi ibuku masih di luar sana. Suasana tiba-tiba menjadi sangat hening. Aku bergerak mendekatkan diri pada pintu kulkas untuk memastikan keberadaannya. Kumantapkan hati untuk membuka pintu. Saat aku yakin dia tak lagi di dapur, aku mendongakkan kepalaku keluar. Hingga kekehannya mengejutkanku. "Kau disana rupanya —" Dia ibuku. Menyeringai menginginkan kematianku. Aku tahu ini cuma mimpi. Berapa kalipun memimpikannya toh aku sudah melewati masa suram ini. Tapi, tapi kenapa tarikan tangannya pada rambutku terasa amat menyakitkan? Merintih pun tak membuat hati ibuku melunak. Ia mengiris setiap bagian tubuhku seperti ikan. Pahaku sudah cukup banyak mengeluarkan darah. Siku-siku di tanganku juga tak luput dari aksinya. Ia menyeretku ke ruang tengah. Bergegas mengambil wrapping untuk membungkus kakiku. Aku jelas meronta karena ibuku semakin menggila. Matanya merah selagi aku menginginkan kebebasan. Mata yang siapa saja tahu kalau ia menginginkan sebuah pelampiasan untuk membunuh. "DIAM! ATAU MAU KU RENDAM KEPALAMU ITU KE AIR? HAH!" Semuanya sama saja. Semuanya akan kurasakan sebagai jalan menuju kematian. Usapan tanganku padanya untuk memohon ampun tak membuatnya terbesit kasihan. Ia akhirnya menggeram dan menyeretku lagi lebih kejam. Membawaku ke kamar mandi dan menggendongku masuk ke dalam bak berisi air penuh. "Bu... Maafkan aku bu —" Suaraku menghilang karena kepalaku masuk ke dalam bak lagi. Aku tak berhenti mencoba meminta maaf selagi aku bisa. "Bu..maafkan aku bu. Gee janji akan nurut —" Lagi ia merendamku ke dalam air. Airmataku pun sudah mengering meminta ampun padanya. Ibuku semakin marah saat ia melihatku masih bernapas di depannya. "Gee yang salah. Maaf bu , maaf —" Kalau saja bukan karena deringan telpon, aku mungkin masih merasakan sulitnya bernapas di dalam air. Aku mengusap wajahku berulang kali sebelum bernapas dengan sepuasnya di atas tempat tidurku. Segelas air tetap tak membuat perasaanku lega. Justru melihatnya membuatku marah dan melempar gelas itu ke sudut kamar. Masih dengan deringan ponsel menjadi backsound kamarku yang temaram, aku menjernihkan pikiranku lalu menarik benda persegi itu dari nakas. Aku masih mencoba mengatur diagrama saat kudengar suara Dara dengan lembut memanggil namaku. "Gee! Apa aku mengganggu tidurmu? " Aku teringat perkataan Jose bahwa Dara adalah gadis di atas rata-rata. Ia bisa melakukan apa saja dan amat sangat bisa diandalkan. Dan hal itu bukan isapan jempol belaka. Kuakui, Dara yang terbaik. Aku senang, karena dialah aku bisa bangun dari mimpi burukku. "Tidak. Justru aku berterima kasih padamu." Dara diam sejenak lalu melanjutkan ucapannya, "Aku sekarang berada di depan apartmentmu. Karena kau bilang tidak akan masuk hari ini, jadi aku ingin —" Ucapannya terhenti karena aku sudah berdiri di depan pintu selagi ia bicara. Dara menoleh kaget dengan ponselnya yang masih menempel di telinganya. Menyelidikiku dari atas hingga ke bawah, melihat penampilan berantakan khas bangun tidur. "— memberikan berkasnya, Gee —" Kutarik tubuh rampingnya mendekat. Ku bawa masuk ke dalam dengan bibirku yang melumatnya seduktif dan memaksa. Dara jelas kebingungan, tapi tubuhnya menjadi rileks beberapa detik kemudian. Dia yang bahkan menendang pintu apartementku lantas melingkarkan tangannya pada leherku untuk memperdalam aktifitas kami. Aku tersenyum tipis melihat wajahnya semerah tomat saat ku llepas pagutanku. Pikiran kacauku lah yang membuatku tak bisa mengendalikan hasratku untuk mencium gadis ini. Tapi aku yakin Dara tidak akan menolak. Karena aku tahu bagaimana perasaan bertepuk sebelah tangannya padaku. Friend with benefits Dia sahabat sekaligus partner yang bisa kuandalkan. Apapun... Termasuk urusan ranjang. Dan Dara tak pernah mengeluh dengan hubungan ini. "Kau sakit? Keringatmu banyak sekali." Dara masih sibuk mengusap kening dan leherku. "Apa kau bermimpi tentang ibumu lagi?" Tidak saat Dara mengetahui segalanya tentangku. Aku mulai melepaskan diri darinya saat ia mengingatkanku dengan mimpi itu. "Kalau kau diam itu berarti ya —" "Tidak ada hal buruk —" Dara meringis, "Buruk kalau kau seperti ini. Baiknya tidak usah ke Brooklyn hari ini —" Aku menggeleng. Mengusap wajahku lagi sambil bersandar pada sofa beludru perak milikku. Dara pergi ke pantry mengambil segelas air sebelum aku menutup mata lagi untuk menenangkan pikiran. "Aku tetap akan pergi. Aku baik-baik saja." Dara datang dengan airnya dan duduk disampingku sambil bersandar pada bahuku. Wangi samponya yang menguar, menggelitik indra penciumanku. Rasa-rasanya beberapa hari yang lalu aku mencium wewangian ini. Ah iya. Wangi itu datangnya dari rambut nyonya Gladies — "Aku tidak pernah bosan untuk memintamu ke psikiater Gee—" Aku menangkap tangannya yang sejak tadi bergerak di dadaku. Kuremas tangan itu spontan karena mendengar ucapannya tadi. Aku tak suka ia membicarakan hal itu. "Kita sudah membahas hal ini!" ucapku tegas dengan rahang yang mengeras. Dara hanya menghela napas ringan lalu memelukku erat. Seperti tak terpengaruh dengan tatapan tajamku. "Maag. Aku cuma khawatir pada kesehatanmu." Dia tak mengatakan apapun lagi. Aku pun cukup puas dengan duduk berlama-lama sambil merangkul Dara yang masih enggan beranjak dari pelukanku. Itulah mengapa aku masih mempertahankan Dara tetap disisiku. Setidaknya ada seseorang yang bisa ku tempatkan agar aku terlihat normal di mata orang lain. . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD