**The sweetest smiles hold the darkest secrets...- Sara Shepard, Flawless (Pretty Little Liars, #2)**
#
#
Mayat Gladies Watsons selesai kukremasi. Tubuhnya sekarang persis seperti daging setengah matang.
Aroma bawang putih juga sudah mendominasi bau tubuhnya. Sudah mirip dengan beef steak yang kusajikan pada Jose.
Dengan begini, aroma nyonya Watsons tidak akan diketahui sebagai bau bangkai kan? Presentasiku pada Jose ternyata sangat bermanfaat!
Aku menangkapnya dengan mudah saat ia keluar dari kantornya tadi.
Ia yang seorang diri, kusergap saat ingin masuk ke dalam mobil. Sangat beruntung karena mobilnya terparkir jauh dari kamera CCTV. Ketika dia terbelalak panik melihat wajahku, aku begitu senang.
Suara tersiksanya saat kucekik menggunakan tali, membuatku tersenyum bangga. Karena aku berhasil membenamkan suara cemprengnya yang beberapa hari lalu terdengar menyakitkan bagi anaknya sendiri.
Tubuhnya melemah namun ia belum mati. Aku menyisakan nyawanya untuk kuajak bermain.
Kuseret tubuhnya masuk ke dalam mobilnya lalu membawanya ke sini, gudang eksekusi milikku. Agar ia tak kabur nanti saat terbangun, kubungkus ia dengan wrapping. Seketat mungkin hingga ke leher. Setelahnya aku menunggunya terbangun.
Seperti pada permainan sebelumnya, mereka akan begerak gelisah. Menggeliat, meronta, menjerit sesuka hati. Setelah puas mendengar mereka memohon, aku langsung mengeksekusi dengan menekan leher dan mendapatkan satu nadi.
Tssaah!
Percikkan darah itu menyebar ke seluruh dinding kamar mandi. Indah..benar-benar indah. Seperti lukisan mozaik merah membakar sukma. Tubuh nyonya Watsons selanjutnya siap untuk kupanggang.
Puas dengan hasil pangganganku, kuangkut tubuhnya ke dalam koper besar. Kuletakkan ia di bagasi mobilnya sendiri yang telah ku ganti plat mobilnya dengan nomor ilegal.
Aku membawanya ke Taman Kudus tempat biasa kuistirahatkan tubuh-tubuh mereka yang kuhukum.
Membacakan doa keselamatan, agar mereka berada di jalan yang benar.
"Kukembalikan ia pada-Mu. Beristirahlah dengan tenang.
Aku sangat lega saat mendengar kicauan gagak sebagai jawaban Tuhan atas jasaku melenyapkan manusia ciptaanNya yang tak berguna.
Setelahnya, aku tergelak dengan ucapanku sendiri.
Tertawa hingga aku tak sanggup menahan rasa sakit di perutku.
Aku teringat...
Sejak kapan aku percaya bahwa Tuhan itu ada?
##
Malam ini, aku merasakan kesenangan luar biasa. Bukan dari minuman ataupun pesta pencapaian PMO mendapatkan sponsor.
Tapi lebih dari itu...
Aku bahkan bisa membuka lebar mataku ,seperti telah menghabiskan seluruh energiku bercinta dengan seorang wanita.
Aliran penciumanku pun dengan nikmatnya menghirup oksigen segar di sekelilingku. Seolah aku berada di pegunungan indah dengan tebing dan pinus yang menjulang.
Yang kulakukan malam ini, membuatku yakin bahwa aku akan mimpi indah.
"Ice americano satu —" pesanku pada seorang pelayan muda di seberang counter.
Aku masih belum bisa menghilangkan senyumku hingga satu tepukan lembut mengagetkanku.
"Gerald? Kau tinggal di apartment ini? "
Senyumku seketika memudar. Melihat dia menemukanku disini.
"Irene?"
Irene lebih terperangah melihatku dan tanpa sungkan tersenyum lebih lebar padaku. Aku terusik dengan senyuman itu. Senyuman yang pernah kulihat sebelumnya.
"Aku baru pindah ke sini. Apartmentku ada di lantai 5, dan kau?"
Aku menunduk untuk mencari suaraku yang tiba-tiba menghilang.
Bukan.
Bukan aku takut ketahuan dengan apa yang baru saja kulakukan.
Aku hanya kurang suka bersinggungan dengan orang-orang yang aku kenal di sekitar tempat tinggalku . Bahkan aku tidak pernah mau tahu dengan tetangga sebelah apartementku.
Sial.
Aku pikir ini malam yang indah.
"Lantai 18 —" jawabku lebih memilih menghindari kontak mata dengannya.
Aku tidak tahu kenapa menjadi seperti ini. Aku berusaha mati-matian menahan gemetar di seluruh tanganku.
Perasaan ini..
Iya..
Perasaan ini sama seperti dulu —
"Uhmm. Aku harap kita bisa saling bertemu seperti ini untuk membahas PMO."
"Kita bisa lakukan itu di kantor!" ujarku tegas membuatnya terkesiap. Aku mengusap wajahku kasar sambil menatap pisau buah yang ada di sebelah pramusaji. Sungguh..ini menyiksaku.
"Maaf," ucapnya dengan nada menyesal. Giliranku yang salah tingkah.
"Maaf. Aku bukan bermaksud membentakmu -"
"Tak apa. Aku mengerti."
Mengerti? Mengerti apa?
"Apa yang membuatmu keluar tengah malam begini?" tanyaku basa-basi. Untuk mengurangi rasa bersalahku padanya.
Perasaanku lebih tenang setelah menyecap Ice Americanoku. Begitu pula dengan Irene yang kembali santai dengan dua roti isi dan kopi yang ia pesan tadi.
"Aku lapar karena menunggu tunanganku pulang."
"Kau tinggal serumah dengan tunanganmu?"
Irene tersipu malu, "Ahh, itu. Sebenarnya dia tinggal di sekitar sini juga, tapi dia bilang akan mampir ehmm malam ini —"
Tingkahnya membuat dirinya sendiri kebingungan. Aku yang tak mau mendengarnya lebih jauh pun mencoba tak berkomentar apapun lagi.
Jeda cukup lama hingga Irene kembali memulai perbincangan kami. Aku mulai tak suka dengan wanita yany banyak bicara.
"Dan kau sendiri? Apa yang kau lakukan tengah malam dengan sarung tangan dan baju serba hitam begini?"
Irene ternyata memperhatikan pakaianku yang serba hitam. Aku melepas sarung tanganku juga hoddie yang sejak tadi ternyata masih setia menutupi kepalaku.
"Membuang sampah —" gumamku. Membuatnya tertarik mendengarkanku lebih dekat, "— aku baru selesai membuang sampah."
Matanya berbinar ,"Hemm.. Hal menarik lainnya darimu Gerald. Kau suka membereskan rumah sendiri yah?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Perbincangan ini, membuat darahku meletup seketika.
Di dadaku...
Rasanya ingin sekali aku berbagi kisah dengannya, bagaimana aku menggores pangkal leher mereka karena terlalu berisik lalu memanggangnya dengan taburan rempah-rempah.
Dan sekarang, aku merasakannya saat melihat binar mata Irene begitu bersemangat membuatku mengatakan banyak hal.
Perasaan tidak tenangku bertambah karenanya.
"Aku tidak suka ada sampah di sekitarku. Karena itu, aku harus cepat-cepat membuangnya agar tidak menyebarkan penyakit."
Irene diam mendengarkanku.
Dering telpon membuatnya tersentak.
"Kau benar. Ah.. Kita harus berpisah disini. Senang berada di kawasan yang sama denganmu Gerald."
"Panggil saja aku Gee."
Irene menjulurkan tangannya tanda perpisahan. Aku menyambutnya dan ia menyunggingkan senyum andalannya lagi padaku.
"Oh, baiklah. Aku merasa lebih aman jika mengenal seseorang di sekitar rumahku —"
Begitu tangannya terlepas, Irene bergegas pergi menerima panggilan itu tanpa mendengarkan jawabanku.
Kulihat punggungnya menjauh dari cafe. Menerobos angin malam yang mulai menusuk persendian.
Aku masih tertegun dengan hangatnya tangan itu membekas di telapak tanganku.
"Tapi sayangnya, aku tidak nyaman jika ada orang sepertimu di sekitarku, Irene-ssi.
.
.
Bersambung
note :
Hei...gimana dengan cerita ini? Apa semakin menarik? Setelah bab ini akan ada banyak keluar fakta dan masa lalu setiap karakternya. So..kalian yang nggak siap dengan darah bisa skip haha btw mayat2 itu bukan di makan yah xD cuma di panggang lalu di kuburkan. Dan apakah Gee selanjutnya akan menargetkan Irene? Tunggu bab berikutnya yah. Luv youu