Setibanya aku disini, bau busuk langsung menyergap indera penciumanku. Beberapa tim kepolisian tampak sibuk menulis, memeriksa dan berdiskusi disamping mayat yang tubuhnya telah hangus terbakar.
Dokter yang mengautopsi korban langsung menjelaskan rinciannya pada kami yang berkumpul —
"Korban berjenis kelamin perempuan. Berumur sekitar empat puluh tahunan—"
Bobby menghampiriku lewat wajah bermaskernya. Ia menyerahkan berkasnya dan aku terlalu shock setelah membacanya singkat.
"— korban terlebih dahulu di bunuh dengan pisau yang mengoyak pangkal lehernya. Organ tubuhnya masih lengkap dan melihat bagaimana mayat ini membusuk, dia meninggal mungkin sekitar dua minggu yang lalu."
Aku menoleh pada Bobby yang juga sama mengeryitnya denganku, "Ini cocok dengan menghilangnya Belle."
"Yah. Dokter juga sudah mencari identitasnya lewat tes DNA. Dan itu cocok" bisiknya.
Aku mengusap rambutku kasar. Menekan tembok yang menjadi satu-satunya tempat untuk melepaskan kekesalanku.
Seseorang menepuk bahuku keras. Dan itu asalnya dari ketua forensik dan autopsi — Dr. Mattew.
"Apa perlu kuoper kasus ini pada tim B ?"
Ia memang tampak santai. Tapi raut wajah khawatir dan lelahnya dapat terbaca olehku.
Aku menggeleng, "Ini kasusku juga. Pada akhirnya korban adalah orang yang kami cari —"
Mattew berdeham ringan, "Aku tahu. Tapi aku punya firasat ini tidak akan berakhir sampai disini."
"Aku juga begitu —"
"Lalu bagaimana dengan cuti pernikahanmu l?" Ia memotong dengan cepat ucapanku.
Mattew sudah kuanggap seperti ayah. Ia yang paling lama bekerja di rumah sakit kepolisian Portland dan banyak melakukan autopsi di lebih dari setengah abad umurnya.
Aku menaruh hormat padanya yang telah menganggapku anak. Begitu juga dengan Irene.
Beliau yang bahkan dengan senang hati menjadi wali bagi Irene dan menyempatkan diri ikut dalam persiapan pernikahanku.
Aku memberinya jawaban tanpa harus berpikir dua kali tentang hal ini. Irene mungkin akan mengerti saat kujelaskan nanti.
"Aku tetap akan mengambil kasus ini hingga selesai."
Mattew menghela napas kasar. Ia juga tak percaya ada kasus seperti ini di kota kecil. Tapi seharusnya itu jadi lebih mudah karena ruang lingkupnya tak banyak.
"Kami akan segera kirimkan filenya. Aku harus kembali ke rumah sakit dulu," ucap Mattew yang tengah memukuli pinggangnya itu. Mungkin encoknya kambuh.
"Kau sudah terlalu tua rupanya," gurauku. Mattew tersenyum tipis sambil berlalu.
.
.
Mayat ditemukan di dekat perbukitan.
Lokasi yang jarang di lewati orang, tentu saja pelaku akan menguburnya di sini.
Aku tengah menyelediki orang yang pertama kali menemukan mayat Belle. Dia seorang pelajar yang kebetulan berada di lokasi kejadian.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Pemuda itu sedikit gugup untuk memberikan keterangan. Ia bahkan tak berani melihat sekitarnya seolah ia tengah diawasi seseorang.
Aku mengamati dan melihat lima pemuda berseragam sama sepertinya tepat tengah melihat kami berbincang di dekat mobil patroli.
"Aa....ku se...dang buang a...ir kecil."
Aku mengajukan satu pertanyaan lagi, "Di mana rumahmu?"
"Aku tinggal di sana —" Ia menunjuk arah perumahan yang memang tampak dari atas bukit.
"Kau akan kami ajak lagi untuk memberikan keterangan. Berikan nomor ponselmu kalau kami membutuhkan keteranganmu lagi."
Bobby menjelaskan panjang lebar dan remaja itu memberi apa yang Bobby mau.
Aku mengamati lokasi penemuan mayat lalu mengingat kembali ucapan Mattew.
"Selama tiga puluh tahun bekerja disini, baru kali ini aku melihat pembunuhan yang begitu keji."
"Karena ia dibunuh lalu dibakar? "
Mattew menegaskan lagi, "Bukan hanya itu. Korban diikat lalu dibalut dengan sesuatu bahan seperti plastik. Aku menemukan polyethylene disekitar kulitnya. Itu ada di sekujur badannya. Meski plastik itu hangus karena pembakaran, tapi aku menemukan sisanya yang menempel di tubuh korban."
Bobby selesai menginterogasi saksi lalu ikut mengamati lokasi. Lubang ini bahkan hanya cukup meletakkan anak berumur 9 atau 10 tahun saja.
Kedalamannya pun tak mencapai dua meter.
"Pelaku membuat korbannya dikubur meringkukkan badan. Lubang sekecil ini tidak akan bisa dimasuki tubuh orang dewasa."
Bobby mencoba menahan emosinya. Tapi tetap terdengar kemarahan dari ucapannya tadi.
"Aku membayangkan, apa korban terlebih dahulu di bungkus lalu ditekuk, atau justru sebaliknya." pikirku.
"Dan lihat bunga mawar biru ini. Unik kan?"
"Apa ini sejenis code id?"
"Mungkin benar. Pelaku orang yang narsistik."
Dan aku menemukan jawabannya langsung ketika melihat remaja tadi memberi salam undur diri pada kami sambil menyeret tas teman-temannya yang berkumpul menunggunya.
"Atau mengapa ia membuat lubang kecil seperti ini karena pelaku terlebih dahulu merencanakan meletakkan mayatnya dalam wadah yang hanya bisa dimasuki orang dewasa dengan menekuk tubuhnya?"
Bobby menggaruk keningnya bingung dan aku langsung memberinya satu pukulan ringan di rambut ikalnya itu.
"Peti atau koper. Benda seperti itu yang bisa dimasuki manusia."
"Aku tidak mengerti—"
Bobby masih mengusap kepalanya yang kupukul, "Apa yang tak kau mengerti ?"
"Apa motif pelaku?"
Aku diam mendengarkan.
"Kita sudah menyelidiki semua masalah pribadi dari hutang, rekan, masa lalu dan bisnis keluarganya. Mereka hanya keluarga normal. Tapi kenapa hal seperti ini bisa terjadi?"
Kutepuk punggung Bobby untuk memberinya ketenangan. Sepertinya, ia masih tidak terima dengan perbuatan keji manusia-manusia yang tak memiliki hati seperti ini.
Bobby memang memiliki tingkah ringan yang terkadang juga msih terlihat kekanakan .
Tapi untuk menegakkan keadilan, ia jadi orang pertama yang berteriak lantang dan maju ke depan untuk mendapatkannya.
Ayahnya yang seorang pensiunan polisi terhormat, membuatnya termotivasi. Dia selalu bilang akan bekerja dan belajar menjadi polisi terhormat seperti ayahnya.
"Kita akan mendapatkan jawabannya nanti saat kita menangkap si gila itu. Bersabarlah."
Gonggongan anjing terdengar panjang di ujung hutan. Beberapa tim forensik langsung berteriak memberikan informasi tentang penemuannya.
Aku dan Bobby ikut melihat jalannya pemeriksaan dan kami mendapatkan informasi yang sangat mengejutkan.
"ADA SATU LAGI MAYAT DISINI!"
Semua orang tercengang. Termasuk aku dan Bobby.
Kami berlarian menuju lokasi. Yang justru harus mendengar teriakan lainnya dari tim lain yang tengah membawa anjing pelacak.
Suara mereka bersahutan dan itu seolah seperti gema yang berulang.
"DISINI JUGA DITEMUKAN!"
Bobby ikut gelisah di sampingku, "Apa-apaan ini!"
Aku menggeleng lemah dan teriakan selanjutnya menambah kemarahanku.
"TOTAL LIMA MAYAT YANG TELAH DITEMUKAN! KAMI MASIH MENCARI TEMPAT LAINNYA YANG BERDEKATAN. CEPAT KIRIMKAN BANTUAN KE LOKASI!"
Gerimis kecil seolah mengajak kami berunding hari ini.
Di dunia ini...
Manusia berperilaku binatang seperti tak akan pernah habis dilekang oleh waktu.
.
.
Bersambung