She is Irene ( POV )

1093 Words
Aku terkesiap dengan lengan yang melingkar di pinggangku. Aku yakin semalam tidur sendirian, lalu tangan ini? Dengkurannya membuatku langsung mengetahui tangan siapa ini — "Honey sebentar lagi —" Suara seraknya menggelitik punggungku. Pria ini semakin mengeratkan pelukannya saat aku mencoba melepaskan diri. "Jam berapa kau pulang?" tanyaku sambil meliriknya lewat bahuku. Mino mendengkur pelan namun ia tetap sadar untuk menjawab pertanyaanku. "Jam empat pagi." Mino sendiri yang membalikkan tubuhku yang membelakanginya.  Sesegera mungkin merapatkan diri lalu menciumku selingan bulu. "Kau mabuk?" tegurku. Tak ada jawaban darinya. Aku mengusap keningnya lalu ia tersenyum tipis padaku. "Aku minum dengan Bobby semalam," ucapnya masih dengan mata tertutup. "Aku buatkan hangover sup dulu —" Mino mengerang, "Nanti saja. Aku kedinginan,  butuh kehangatan... " Mino dengan manjanya. Tidak pernah berkurang sedikitpun. Aku berikan satu kali centilan pada sesuatu yang kurasakan mulai tegak berdiri itu , membuat Mino meracau memilih mengurungkan niat untuk menyerangku. "Lakukan sendiri. Aku sedang kesal denganmu —" ujarku yang tanpa babibu beranjak dan mendapatkan umpatan kekesalan Mino di atas ranjangku. Kulihat dia akhirnya ikut bangun lalu berlari mengejarku. Tapi aku cukup ligat untuk tak dengan mudah ditangkapnya. Mino bagai zombie yang mengejarku sambil menutup mata. Hingga tangannya menyentuh pundakku, aku segera menariknya ke depan lalu sekuat tenaga membanting tubuhnya ke depan. Mino lengah tapi ia sempat menundak seranganku lalu balas menangkap tanganku dengan menekuknta tepat seperti butterfly hug. Apalagi Mini dengan seenaknya malah menekanku dari belakang hingga aku tersudut di depan pantry. "Sial!" "Kalau begini, apa yang akan kau lakukan?" Aku mengingat lagi pelajaran dari seni beladiri bagi wanita. Aku harus menendang lututnta lalu mencoba lepas dari kungkungannya. Kutarik lagi tangannya lalu kupatahkan. Saat ia meringis itulah kesempatanku untuk menendang alat vitalnya dan kabur. Mino bersumpah serapah karena seranganku itu. "Maaf..maaf. Aku kan latihan." Mino tak mendengarkanku dan dia memilih masuk ke kamar mandi untuk lebih puas lagi berteriak. . . "Bagaimana dengan yang ini?" Ini sudah gaun ketiga yang kucoba hari ini. Mino dengan seleranya, membuatku harus bersabar dengan sikap perfeksionisnya itu. Entah apa yang kurang. Mino dua kali lebih cerewet daripada aku. Apa dia masih kesal dengan pelampiasan yang tak kesampaian itu? Atau tendangan burung gagak tadi? Matanya berbinar saat melihatku mengenakan gaun ketiga pilihannya . Ia juga tengah mencoba suite lengkap berwarna putih berline hitam. Sangat cocok memang dengan yang kukenakan kali ini. Mino jadi semakin lebih tampan ketika rambutnya ia sisir rapi kebelakang dengan garis samar pada tepi rambutnya. "Perfect!" Ia tersenyum puas padaku. Aku berputar lagi untuk memperlihatkan punggungku yang terbuka membentuk huruf V ke arahnya. Sesuai dugaanku,  ia akan bersuara nyaring sesekali menyeringai penuh pendambaan padaku. Mino mencium pundakku lalu menujukkan cincin yang ia siapkan dalam kotak merah. "Kau suka?" Aku mengangguk sebagai balasan dan ia mulai meraih daguku untuk menangkap bibirku. Hingga interupsi dari sang pemilik toko membuat Mino merutuk malu atas perbuatannya sendiri. "Dasar keponakan m***m! Jangan buat butikku kotor karena ulahmu!" Itu Emely— bibinya Mino. Tentu saja dia kesal melihat perbuatan tak senonoh kami. Emely melayangkan peringatan 'sayangnya' dengan jitakkan keras ke kepala Mino. Calon suamiku itu hanya bisa meringis sambil menggoda bibinya agar memaafkannya kali ini. "Tanggal berapa? Kenapa lama sekali? Aku kan sudah tidak sabar menggendong bayi? " Mino memutar bola matanya terang-terangan lalu mengelus perutku, "Bi.. Membuat bayi juga bisa tanpa menikah —" Kali ini bibir Mino yang jadi sasaran empuk tas kulit miliknya. "Kau ini Polisi tapi kelakuan seperti b******n! Nikahi dia dulu baru pikirkan untuk menghamilinya —" Aku menunduk malu mendengar nasehat bibi Mino itu. Yang diajak diskusi malah tertawa semakin kencang, "Bibi akan terkejut kalau kuberitahu yang sebenarnya." Emely jelas mengeryit. Kerutan di dahinya mulai menghilang saat Mino memeluk pinggangku di depan matanya. "Damn! Dasar bocah tengik! Lalu apalagi yang kau tunggu!" Mino sukses membuat bibinya kelimpungan karena candaannya yang kelewatan. Ratusan pukulan mungkin takkan membuat Mino jera untuk berhenti usil pada bibi kesayangannya itu. . . "Bagaimana dengan kasusmu?" Mino terlihat sibuk di mejanya. Kami selesai fitting baju dan memilih ke kafe terdekat untuk merencanakan hal lain. Berkat Emely,  semua persiapan pernikahan sudah ready 60%. Kami yang sama-sama yatim piatu ini,  sama sekali buta dengan hal sakral seperti ini. Mino masih beruntung memiliki saudara yang baik menampungnya sejak dia remaja. Sedangkan aku? cukup puas dengan memiliki Mino disampingku kurang lebih lima tahun terakhir. "Tidak banyak yang berubah. Mereka hilang ditelan bumi." "Aku punya insting lain soal itu —" Mino menegang di kursinya, "Tidak. Biar aku yang selesaikan sendiri Irene —" "Aku cuma ingin membantu —" Ucapanku membuatnya terlihat lebih serius sekarang, "Tidak, karena itu hanya akan mengingatkanmu pada masa." Aku menghadapnya kecewa, "Kau masih tidak percaya kalau aku sudah sembuh?" Mino gelisah, "Bukan begitu maksudku —" Ia mulai meraih tanganku. Mencium buku-buku jariku lalu melanjutkan ucapannya lagi, "— ini bukan kasus serius Irene. Aaah baiklah. Katakan apa pendapatmu." Aku menarik tanganku lalu mulai melirik catatan Mino yang tergeletak di meja. Kertas fotokopi menampilkan biodata korban yang hilang. Aku sudah memeriksa hal ini ketika Mino tidur pagi tadi. Aku mulai penasaran dengan beberapa nama dan juga keterangan para saksi mengenai korban. "Aku cuma merasa bahwa mereka bukan orang yang cukup kaya untuk diculik." "Itu benar." Mino mengangguk setuju setelahnya. "Mereka juga bukan wanita yang buruk dalam mengelola keuangan rumah tangga. Jadi kabur karena hutang itu tidak mungkin." Mino menyela,"Tapi bisa saja karena mereka tak harmonis lagi. Perselingkuhan, jabatan , stress bisa memicu segalanya." "Tapi suami korban bilang mereka harmonis dan beberapa tetangga juga bilang seperti itu." Mino menutup agendanya dan ia sudah menatapku tajam penuh kekesalan. "Semua bisa saja terjadi tanpa ada orang yang tahu Irene. Jangan berpikir terlalu jauh apalagi dengan pikiran negatifmu soal kasus ini." Aku menunduk lagi mendengarnya mendikteku. Sedikitpun aku merasa,  Mino masih belum terbiasa dengan sikapku ini. Aku yakin,  Mino masih ngeri hingga ia memilih menekanku untuk tak mengingat sisi gelap yang kumiliki dulu. Sisi gelap di mana aku pernah menjadi monster. "Bisa saja mereka dibunuh —" "Mereka melarikan diri Irene-ssi. Percayalah padaku." Deringan keras menghentikan percakapan kami. Tanpa menunggu nada yang ketiga,  Mino mengangkatnya dengan malas. "Ada apa Bob? " Mino berwajah masam. "Yah,  aku akan menghajarmu karena menggangu waktu liburku." Setelahnya bahu Mino sedikit lebih melunak. "Baiklah. Aku akan segera kesana kalau kau menemukan hal menarik." Jedanya tak terlalu lama setelah percakapan basa-basi mereka. Kini wajah Mino ditarik amat serius untuk mendengarkan. "Apa? Mayat?" Aku ikut tertarik mendengar teriakannya menyebutkan kata yang terakhir. Mino memandangku sekilas lalu mengutip semua barang-barangnya tanpa berniat memberitahuku. "Kau yakin itu mayat nyonya Belle Watsons ? Baiklah.. Aku kesana." "Mino —" Mino meraih kunci lalu mengecup keningku singkat. Matanya seolah mengatakan banyak maaf padaku. Aku paham dan membiarkannya pergi meninggalkanku sendirian di kafe. "Nanti kutelepon. Jangan pulang terlalu malam. Dan maaf soal yang tadi." Kegelisahannya membuatku menatap nanar undangan yang tercetak di dalam tasku. Untung aku belum mencetaknya lebih banyak. Kalau benar seperti dugaanku. Pernikahan ini mungkin akan mundur lebih jauh dari tanggal yang ku tetapkan. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD