"Serius lo mau bantuin gua?" Sakya bertanya pada Iyan yang sama-sama sudah menepikan motor dengannya.
"Iya nih bang, gua lagi ga tahu mau ngapain. Ada yang bisa gua bantuin?" Iyan sudah bersiap dan semangat membantu Sakya.
"Ada orderan kue dari bunda gua, lo mau anterin ke alamat? Banyak nih, lumayan banget kalau lo bantuin, nanti bensinnya gua bayar." Sakya menggaruk belakang kepalanya sambil terkekeh.
"Wih asik tuh bang! Yaudah sini mana yang mau gua anter?"
"Eh tapi lo ganti seragam dulu, nanti dipikir bunda gua mempekerjakan anak di bawah umur lagi." suruh Sakya melihat Iyan yang masih memakai seragam lengkap.
"Aman, gua bakal ganti. Gua bawa baju dalam tas kok."
Sakya megerutkan dahinya mendengar ucapan Iyan, "bawa baju di tas? Lo pulang sekolah atau ngapain?"
Iyan terkekeh sambil mengibaskan tangannya di depan wajah, "santai lah bang, tas gua udah sama kayak kantong ajaib doraemon. Yaudah bagi kue sama alamatnya sini."
"Yaudah terserah lo, gua kasih catatan alamat sama harganya."
"Siaaaapp!!"
*
Setelah selesai mengantar beberapa kue kini Iyan dan Sakya bertemu di dekat tempat mereka berpisah tadi. Sakya sudah sampai duluan sambil menghitung uang disusul Iyan.
"Udah selesai semua?" tanya Sakya pada Iyan yang kini duduk didepannya.
Iyan mengangguk sambil mengeluarkan kertas dan uang untuk diberikan pada Sakya, "nih bang udah semua."
Sakya mengambil uang dari Iyan lalu menggabungkannya dengan uang sebelumnya, Iyan pun memperhatikan pergerakan Sakya.
"Lo emang hari-harian nganter kue begini bang?"
Sakya mengangguk, "iya, tapi hari ini lebih banyak dari biasanya, untung ada lo yang bantuin, dah macam malaikat deh lo hari ini buat gua."
Iyan tertawa, "gua emang malaikat yang berwujud manusia aja, gua tahu itu."
"Nyesel gua muji lo. Nih ganti uang bensin lo, gua tahu sih motor lo mahal dan pasti isiannya pertamax, tapi ya gua cuma bisa kasih segini, ga bisa lebihin lagi." Sakya memberikan beberapa lembar uang ke Iyan.
Tapi Iyan langsung menggeleng dan menolak uang tersebut, "udah lah bang, gua cuma iseng bantu kok, gua lagi gabut dan suntuk aja, bantu lo nganterin kue bikin gua ngerasa lebih baik."
"Eh serius lo?"
"Serius, tapi malam ini gua boleh nginep tempat lo ga?"
Sakya mengerutkan dahinya kaget, "nginep tempat gua? Kayak yang ga punya rumah aja lo Yan."
Iyan menggaruk belakang kepalanya sekilas, "gua lagi ga pengen pulang bang."
"Kenapa?"
"Gua abis ribut sama bokap."
Sakya ternganga dan akhirnya angguk-angguk saja, "ya gua sih mau aja kalau lo emang pengen nginep, tapi rumah gua sederhana aja, harap maklum nanti kamar gua juga mungkin ga segede dan sebagus kamar lo, secara kan lo anak orang kaya."
"Udah bang, ga papa, gua juga udah biasa nginep di sembarangan tempat kok, dan rasanya jauh lebih asik dari rumah gua."
"Okey, kalau gitu kita langsung pulang aja sekalian ngasih uang ke bunda, hari udah sore banget nih."
*
"Bundaaa!!" Sakya memasuki sebuah toko kecil sambil memanggil bundanya.
"Kalau masuk itu baca salam dulu, bukan teriak-teriak." Bunda Sakya yang baru selesai menyusun kue kering ke dalam toples melihat Sakya yang masuk dengan gaya bar-bar seperti biasanya.
"Hehe, nih bun uangnya, udah selesai." Sakya duduk di kursi depan etalase kue memberikan uang dari saku jaketnya.
"Kok cepat? Jatah uang kamu udah di ambil kan?"
"Uang aku udah di ambil, jadi tadi aku dibantuin Iyan nganterin kue nya, cepet deh selesainya." Sakya memberi tahu sambil memperkenalkan Iyan yang juga sudah duduk di depan bundanya Sakya.
"Iyan bunda..," Iyan memperkenalkan dirinya.
"Ouh, terima kasih ya Iyan. Jadi Iyan ini temennya Sakya?" Bunda Sakya melihat Iyan dengan wajah senang.
"Adik kelasnya Bang Sakya di sekolah bunda."
Bunda Sakya mengangguk, "Bang Sakya terkenal nakal ya di sekolah? Walaupun Iyan temenan sama Sakya, Iyan jangan tiru nakalnya anak bunda ini ya."
Iyan terkekeh, "ah enggak lah bun, Bang Sakya ini keren kok bun."
"Udahlah Iyan, di depan bunda ga usah ngebela Sakya, bunda mah udah tahu gimana Sakya ini."
"Ih bunda, anak sendiri selalu aja di jelek-jelekin." celetuk Sakya memutar bola matanya malas.
"Bukannya jelek-jelekin, tapi ya bicara apa adanya aja, tapi ya bagaimanapun Sakya ini tetap anak bunda." Bunda Sakya tertawa sambil menyimpan uang yang tadi diberikan Sakya.
"Oh iya bun, Iyan malam ini nginep disini ya." Sakya memberi tahu bundanya.
"Boleh aja, bunda malahan seneng biar jadinya ramai. Iyan laper? Mau makan kue atau langsung makan ke belakang aja bareng Sakya?" tawar bunda Sakya antusias pada Iyan.
Iyan kebingungan sambil melirik Sakya karena respon bunda Sakya terlalu hangat untuknya. Menyadari itu Sakya langsung berdiri untuk mengajak Sakya masuk.
"Aku sama Iyan langsung masuk aja ya Bun."
"Yaudah istirahat sana, Sakya juga jangan lupa belajar ya, bentar lagi ujian."
Sakya hanya mengangkat alisnya cuek membawa Iyan untuk masuk ke dalam rumah, "nanti kalau bunda mau tutup bilang ya, biar dibantuin."
"Ga usah, bunda bisa tutup sendiri. Kamu istirahat dan belajar aja."
*
Malam ini Iyan sudah merebahkan tubuhnya di ranjang milik Sakya sambil matanya memperhatikan kamar ini yang ukurannya lumayan untuk satu orang, posisi kamar Sakya ini berada di lantai dua dan tepatnya di lantai dua ini hanya ada kamar Sakya. Rumah Sakya tidak begitu besar, di bawah adalah toko kue kecil-kecilan bundanya Sakya dan beberapa ruangan untuk rumah, cukup sederhana tapi terasa sangat nyaman bagi Iyan.
Disisi lain kini Sakya sedang duduk di dekat jendela yang dibuka lebar sambil memainkan gitarnya. Sakya memang terkenal sangat mencintai musik, bahkan kamarnya dihiasi poster-poster penyanyi dan pemusik terkenal dan disudut kamar terdapat sebuah keyboard, gitar listrik dan beberapa perlengkapan musik lainnya.
"Banyak juga perlengkapan musik lo ya bang." ujar Iyan pada Sakya.
Sakya yang tadi sibuk menyetel senar gitar melihat, "lumayan lah gua beli bekas dari hasil nabung, tapi kondisinya masih baik."
"Asik juga kayaknya jadi lo ya bang."
"Asik apanya? Kalau gua udah main musik adek gua bakal ngamuk di bawah bilang gua berisik."
Iyan tertawa mendengarnya, "maksud gua, lo bisa bebas ngembangin minat lo."
Sakya terdiam sambil menatap keluar seolah memikirkan banyak hal, namun ia kembali melihat ke arah Iyan, "jadi lo kenapa sampai ribut sama bokap lo?"
"Gua sama bokap ga pernah yang namanya damai, ada aja yang diributin. Yang kali ini cuma karena gua cabut kelas dan pulang telat karena latihan basket."
Sakya menatap Iyan ragu, "itu karena tim lo mau tanding kan? Emang lo ga bilang ke bokap lo?"
Iyan mendesah malas, "dari awal dia ga pernah dukung keputusan gua fokus sama basket, dia selalu nganggapnya ga guna dan ganggu belajar gua. Jadi buat apa gua kasih tahu?"
"Ya lo coba aja kasih tahu, secara bakat lo di basket emang luar biasa, bahkan lo masih kelas sepuluh aja udah jadi kapten, gimana ga keren coba? Gua aja dari klub sepakbola baru beberapa bulan udah kena depak."
Iyan terbahak, "ya elo sih bang, cabut mulu dari jadwal latihan."
"Eh? Darimana lo tahu? Kan waktu itu lo belum masuk SMA." heran Sakya bagaimana ucapan Iyan bisa benar.
"Soalnya pelatih football cerita kalau sebenarnya dia sayang banget ngelepas lo dari tim, tapi ya gimana karena lo udah ngelanggar aturan izin klub."
Sakya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, lucu saja baginya mengingat saat-saat ia masih di klub football dan akhirnya keluar, "tapi serius loh Yan, kalau bokap lo tahu seberbakat itu lo dalam basket, gua yakin dia bakal ngerti."
Iyan merubah posisinya untuk duduk, "percuma, gua juga udah males. Bagi bokap dan nyokap gua, yang membanggakan itu ya cuma pintar dalam akademik kayak Alina."
"Alina? Kok kayaknya gua kenal ya namanya?" Sakya berpikir karena nama yang Iyan sebut terasa familiar baginya.
"Yaiyalah, bukannya tadi lo baru aja kenal sama Alina?"
Sakya langsung menepukkan kedua telapak tangannya karena baru ingat, "oh iya bener juga, Alina yang tadi lagi PMS."
"Nah iya bener, Alina itu kakak gua."
"Heh!?" Sakya terkejut dan memperhatikan wajah Iyan, "bener juga, muka lo rada mirip sama cewek tadi. Kakak lo anak pinter sekolahan kan ya?"
Iyan memutar bola matanya malas, "nah lo bisa bayangin kan sekarang sejak dulu gimana berada di posisi gua?"
Sakya geleng-geleng kepala sambil mendecak membayangkan apa yang kini di keluhkan Iyan, "mungkin posisi lo sama kayak adek gua. Tapi kalau adek gua kalau mau apa-apa aja pasti ditanyain apa dia ga sebandel gua dan orang ngeraguin dia, padahal mah dia baik dan jauh lebih pinter dan rajin dibanding gua. Dia sih kesel banget, apalagi elo."
Iyan menghela napas panjang sambil kembali merebahkan diri di ranjang Sakya, "gua sih ga masalah sama kata orang, tapi gua sedih sama sikap orang tua gua."
"Sorry ya Yan, gua ga bisa kasih nasehat atau solusi karena lo tahu sendiri gua bukan orang bijak. Tapi kalau menurut gua lo coba bertahan aja demi jati diri lo, dan lo coba kasih pengertian ke orang tua lo, cepat atau lambat pasti mereka bakalan ngerti. Secara lo sendiri udah tahu potensi dan apa yang terbaik buat lo, beda halnya kalau lo cuma pengen main-main doang."
"Gua iri sama lo bang." Iyan memperhatikan Sakya yang memeluk gitarnya.
"Gua sebenarnya juga iri sama lo Yan, lo punya orang tua lengkap, dan lo dari keluarga berada. Mungkin kita sekarang coba belajar have fun aja dengan apa yang tuhan kasih ke kita. Kita iri ke orang lain juga ga ada gunanya kan?" Sakya tertawa mendengar ucapannya sendiri, "apaansih gua? Sok iya banget ngomongnya."
Iyan yang mendengar dan melihat Sakya juga ikut tertawa, dan kini Sakya mulai memetik gitarnya memainkan irama yang menenangkan.
"Bang!" Iyan yang sudah terhanyut pada permainan gitar Sakya tiba-tiba menginterupsi karena ingat sesuatu.
"Hm?" tanya Sakya sambil terus memetik gitar.
"Tadi Alina bilang kalau lo manis dan baik. Kayaknya dia suka deh sama lo."
Sakya terbahak namun tetap cuek karena terus fokus pada gitarnya, "ya ga mungkinlah, kakak lo sama gua mah beda jauh. Ya kali kakak lo suka sama anak bandel macam gua?"
Iyan menggaruk belakang kepalanya, "bener juga sih."
"Oh iya Yan, gua ke bawah dulu. Bantuin Bunda nutup toko." Sakya dengan cepat meletakkan gitarnya dan pergi begitu saja dengan sangat cepat.
Iyan beralih melihat ponselnya dan mendapati banyak panggilan tak terjawab dari papa dan mamanya. Pria itu mengabaikannya saja dan memilih membaca pesan yang Alina kirimkan kepadanya.
.
Dari: Kak Alina
Iyan, kamu kemana?
Papa dan mama nyariin nih, kasian mereka
Kalau aja tadi aku tahu kamu bakal ga pulang, pasti aku ga biarin kamu pergi.
Iyaaaaaaannnn!!
Kamu dimana? :'(
Sepi banget niih
Kamu baik-baik aja kan?
Ada tempat nginep?
Iyan please jawaaabbbb!!!
Iyaaaaannn T_T
.
Kepada: Kak Alina
Gua aman kok
Biarin aja mama sama papa
.
Dari: Kak Alina
Tapi kamu dimana sekarang?
Tadi aku tanya Dimas, tapi katanya kamu ga disana.
.
Kepada: Kak Alina
Gua lagi tempat bg sakya
Ga usah bilang papa mama
.
Dari: Kak Alina
Hahhh?? Tempat Sakya!?
Kok bisa?
.
Kepada: Kak Alina
Ya bisa aja
.
Dari: Kak Alina
Ih aku juga mau
.
Kepada: Kak Alina
Mau apaan?
.
Dari: Kak Alina
Tempat Sakya
Ketemu Sakya
.
Kepada: Kak Alina
Ih? Lo kenapa Lin?
.
Dari: Kak Alina
Iyaan, coba tanya Sakya dia udah punya pacar apa belom :')
.
Kepada: Kak Alina
Ngapain? Lo suka ama bg Sakya?
.
Dari: Kak Alina
Kayaknya iya deh Yan
Sejak tadi aku ingat wajah dia terus :))
.
Kepada: Kak Alina
Sumpah lo?
Lo udah gila?
Demi apa lo belom pernah suka cowo, eh sekalinya suka kok sama bg sakya!?
.
Dari: Kak Alina
Lah emang kenapa?
Kamu sendiri yang bilang Sakya itu keren.
.
Kepada: Kak Alina
Ya tapi kan beda!!!
Lo kesambet apa gimana?
Sadar lo Lin!
Lo juga baru kenal Sakya sehari
.
Dari: Kak Alina
Aku tahu, aku langsung suka
Gimana dong?
Tanyain ya Iyaaaaaaan sayangku
.
Kepada: Kak Alina
Ah enggak lah!
Malu-maluin aja lo Lin
.
Dari: Kak Alina
Kenapa malu?
Kamu yang waktu itu suruh aku coba cari pacar.
Ini lagi usaha, kamu yang bantu
Aku pengennya Sakya
.
Kepada: Kak Alina
Sumpah lo Lin udah gila
.
Dari: Kak Alina
Tanyain ya Iyaaaan ;)
Ditunggu kabar baiknya
Luv u iyan