Sore itu Diraga pulang lebih cepat dari pada biasanya. Saat sampai ia hanya menemukan Lembayung yang tengah menemani Banyu yang masih berbaring lemas. Setelah tiga hari dalam kondisi sakit, kondisi tubuh Banyu mulai kembali pulih. Demamnya sudah turun, nafsu makannya sudah kembali baik tapi masih tampak lemas dan tak bersemangat.
Kemarin saat Bening dan Diraga kembali kerumah dengan membawa banyak oleh-oleh pakaian baru untuk lembayung dan Banyu, pria kecil itu tampak tak antusias menerimanya. Pandangan mata Banyu terlihat kosong dan banyak melamun.
“Kalian hanya berdua saja?” tanya Diraga sedikit terkejut melihat dua anak dibawah umur tak ada yang menunggui di rumah sebesar itu.
“Mpok Rati langsung pulang saat aku pulang dari sekolah. Kami biasa kok mas, gak apa-apa,” jawab Lembayung dengan suara lembut sembari menyuapi Banyu.
Diraga termenung sesaat melihat pemandangan dihadapannya. Kedua adik iparnya ini tampak sangat mandiri padahal usianya sangat belia terutama Banyu. Ada perasaan tak setuju dihati Diraga dengan keputusan Bening meninggalkan adiknya berdua saja menunggunya pulang dari kantor.
“Banyu kok makannya malas-malasan begitu? Kamu ingin makan apa? Biar mas Diraga belikan.” Diraga mencoba membujuk Banyu yang terlihat tak mengunyah makanannya. Tanpa ragu Diraga pun duduk disamping Banyu dan mengelus rambutnya dengan perasaan iba.
Banyu menatap Diraga dengan pandangan nanar lalu berbisik sambil setengah menangis seraya berkata,
“Banyu kangen ibu…”
Raut wajah Diraga berubah seketika.
“Banyu mau ngobrol sama ibu,” pinta Banyu dengan mata berkaca-kaca.
“Banyu! Kan mbak udah bilang kalau kita jangan ngobrol sama ibu dulu! Nanti kalau mbak Bening marah gimana?!” cetus Lembayung memarahi adiknya dan membuat Banyu mulai menangis.
“Loh, kok nangis? Sini mas Diraga telepon ibu tapi Banyu harus berhenti nangisnya. Banyu kangen ibu ya?” bujuk Diraga sambil mengeluarkan handphonenya dan segera mencari no kontak ibu mertuanya yang jarang sekali ia hubungi.
Banyu hanya mengangguk kuat dan berhenti menangis sedangkan raut wajah Lembayung terlihat cemas. Terdengar suara nada sambung dan tak lama kemudian sebuah suara lembut menyapa Diraga ramah.
“Assalamualaikum Nak Diraga…”
“Waalaikumsalam bu, apakabar? Ibu sehat?” balas Diraga ramah dan sopan.
“Alhamdulillah ibu sehat, apa kabar kalian disana? Ibu kangen sekali sama Banyu dan Lembayung.”’
“Ini juga ada yang kangen sama ibu … kemarin Banyu malah sempat sakit bu, sepertinya dia kangen sekali sama ibu.”
“Ibuuu…”
Banyu tiba-tiba ikut nimbrung di dekat Diraga dan tak sabar untuk berbicara dengan ibunya.
Diraga tersenyum kecil dan memberikan handphonenya pada Banyu. Pria kecil itu langsung menerimanya dengan tak sabar dan segera melepas rindu dengan sang ibu, Rara.
Jika Diraga merasa terharu melihat sikap Banyu, berbeda dengan sikap Lembayung. Gadis itu hanya diam mematung dengan pandangan gusar. Melihat sikap Lembayung membuat Diraga bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di dalam keluarga kecil Bening. Gadis seusia Lembayung saja sudah menampakan sikap ketidaksukaannya pada sang ibu apalagi Bening.
Selesai berbicara dengan sang ibu, Banyu segera mengembalikan handphone Diraga sambil memberitahu bahwa ibunya ingin berbicara pada Diraga.
“Ya bu?”
“Nak Diraga, ibu dapat kabar kalau Nak Diraga sudah melunasi hutang-hutang kami ya?”
“Oh, Bening sudah memberitahu ibu?”
“Ibu tahunya bukan dari Bening tapi dari mas Priyo salah satu yang uangnya kami pinjam. Maafkan ibu jadi merepotkan kamu ya … ibu janji akan mencicilnya sama nak Diraga.”
“Akh, gak usah bu. Saya ikhlas kok … bagaimanapun sebagai suaminya Bening, selama saya bisa dan ada saya pasti akan membantu. Ibu tenang saja.”
Rara mengucapkan terimakasih berkali-kali pada menantunya saat mendengarkan ucapan manis Diraga.
“Bagaimana kabar Bening? Sudah lama ibu tidak berkomunikasi dengan Bening. Apa dia masih marah sama ibu?”
“Ada apa ya bu? Soalnya Bening tak pernah menceritakan apapun tentang masalah ibu dan Bening.”
“Akh, cuma salah paham aja nak, tak ada apa-apa. Baiklah kalau begitu, ibu takut ganggu waktu kamu. Terimakasih sudah mau menjaga Lembayung dan Banyu. Ibu berterimakasih sekali.”
Mendengar kalimat terakhir sang ibu mertua, Diraga pun menyudahi komunikasinya. Saat itu ia juga menyadari bahwa sudah tak ada Lembayung bersama dirinya dan Banyu.
Diraga mencoba mencari Lembayung dan menemukannya tengah cuci piring bekas makan sang adik. Wajahnya terlihat muram dan tak senang.
“Kok merengut?” tanya Diraga sembari mengambil air putih dari kulkas dan meneguknya perlahan. Lembayung menoleh kearah Diraga dan menggumam perlahan.
“Mbak Bening pasti marah kalau tahu kita ngobrol sama ibu.”
“Loh, kenapa? Masa gak boleh ngobrol sama ibu sendiri?”
“Soalnya ibu egois, Mas!”
Diraga hampir saja menyemburkan air yang ada di mulutnya karena tak menyangka Lembayung yang lembut bisa berkomentar seperti itu pada ibunya sendiri.
“Gak boleh ngomong gitu sama orang tua! Gak sopan!”
“Kalau ibu gak egois, aku dan Banyu pasti masih tinggal sama ibu! Ibu gak sayang sama anaknya! Dia cuma sayang sama Om Wira! Lembayung benci sama ibu!”
Lembayung menghentikan aktivitasnya mencuci piring dan langsung berlari ke kamarnya sambil menangis.
Diraga mengusap keningnya perlahan. Baru saja beberapa hari ia tinggal bersama Bening dan adiknya tapi sudah banyak kejadian yang terjadi.
Bening baru kembali kerumah tepat pukul 8.30 malam. Selain posisi kantornya yang jauh dari rumah, kemacetan kota Jakarta membuat Bening semakin banyak menghabiskan waktu di jalan untuk sampai kerumah.
Malam itu wajahnya terlihat sangat lelah dan pucat. Ia merasa mudah kelelahan beberapa waktu ini tapi Bening tak punya waktu untuk beristirahat dan memeriksakan tubuhnya ke dokter. Hutang-hutangnya yang dilunasi Diraga membuat Bening merasa lebih lega dan tenang tapi menyisakan kelelahan bathin yang selama ini dia pendam sendiri.
Sesampainya dirumah, ia menemukan Banyu tengah menangis karena diacuhkan oleh Lembayung. Melihat Bening memasuki rumah Banyu segera berlari memeluk kakaknya dan mengadu bahwa dirinya diacuhkan Lembayung.
“Mbak marah sama kamu soalnya kamu gak nurut kata-kata mbak! Mbak kan sudah bilang, jangan bicara sama ibu!” pekik Lembayung pada Banyu saat Bening menanyakan kenapa Lembayung marah pada adiknya.
“Bicara sama ibu?” tanya Bening dengan wajah terkejut.
“Gara-gara Banyu bilang kangen sama ibu, mas Diraga jadi menghubungi ibu!”
Bening terdiam sesaat lalu menyuruh kedua adiknya untuk masuk ke dalam kamar untuk tidur. Tak lama kemudian ia segera menghampiri Diraga di kamar kerjanya.
Diraga terlihat tengah asik browsing sambil berbicara dengan seseorang dengan serius. Ia memberikan tanda dengan tangannya agar Bening menunggunya selesai bicara.
Bening pun menunggu dengan berdiri didepan pintu lalu tak lama kemudian Diraga menyelesaikan komunikasinya.
“Kata Lembayung, mas Diraga menghubungi ibu ya?” tanya Bening dengan raut wajah tak suka.
Diraga hanya mengangguk tanpa rasa bersalah.
“Mulai saat ini, mohon jangan ikut campur lagi dengan masalah keluargaku ya mas, aku mohon.” Permintaan Bening membuat Diraga segera menoleh dan menatap istrinya yang tengah memandangnya dengan pandangan tajam.
“Banyu itu masih kecil, dia masih butuh ibunya dan kamu bukan ibunya. Apa salahnya dia berbicara dengan ibunya sendiri. Dosa kamu Ning memisahkan anak dengan ibunya.”
“Itu urusanku mas! Aku mohon jangan campuri lagi urusan keluargaku,” jawab Bening ketus lalu keluar dari ruangan dengan wajah kesal.
Diperlakukan seperti itu membuat Diraga kesal, ia segera berdiri dan menyusul Bening ke dalam kamar.
“Apa-apaan kamu?! Mentang-mentang sudah mandiri kamu merasa bisa memperlakukan orang tua dengan sikap seperti itu?!”
Bening hanya diam sambil terus melakukan aktivitasnya untuk bersiap-siap mandi dan tak mempedulikan ucapan Diraga yang terdengar marah.
“Heh! Dengarkan aku saat aku berbicara!” bentak Diraga saat melihat sikap Bening yang acuh.
“Aku dengar mas!”
“Aku tahu kamu marah sama ibumu karena pria yang bernama Om Wira tapi jangan sampai kamu menghasut adik-adikmu untuk membenci ibumu!”
“Apa? Menghasut?! Mas Diraga gak usah sok-sok an tahu apa yang terjadi di dalam keluargaku jika tak tahu apa yang terjadi!”
“Aku memang gak tahu detailnya, aku cuma ngingetin kamu aja! Kasihan ibu diperlakukan seperti ini sama kalian!”
“ Kasihan?! Dia aja gak kasihan sama anak-anaknya untuk apa kami kasihan sama ibu?! Aku yang menanggung malunya! Aku yang menanggung hutangnya! Sedangkan dia bertahan dengan laki-laki sialan itu! Mas juga sama saja! Gak tahu urusannya main belain orang aja!”
“Jaga ucapanmu Ning!”
“Akh, sudah! Aku sedang capek mas! Aku capek dengan hidupku, suamiku, ibuku, semuanya! Tolong jangan ganggu aku dulu!” pekik Bening mulai sedikit histeris karena tak bisa mengendalikan emosinya. Ia tampak terengah-engah sesaat sebelum masuk kamar mandi dan membanting pintu.
Diraga hanya bisa diam dan menghembuskan nafas kasar. Ia tak pernah menyangka reaksi Bening begitu emosional karena ia menghubungi ibunya. Diraga menyadari keputusan dan sikapnya membuat hubungannya dengan Bening semakin berjarak, walau di hatinya ia tak pernah ingin membuatnya seperti itu.
Bersambung.