Perasaan Yang Sebenarnya

1655 Words
Diraga merasa puas saat ia selesai merapikan seluruh pakaian yang ia bawa dan meletakkannya di dalam lemari. Ia baru menyadari bahwa pakaian miliknya lebih banyak dari pada pakaian yang Bening miliki. Perlahan pria tampan itu memeriksa pakaian istrinya yang warna-warnanya tampak membosankan dan kebanyakan berwarna hitam, coklat dan putih. Diraga hanya bisa menghembuskan nafasnya sesaat lalu meninggalkan lemari pakaian dan menghempaskan dirinya diatas sofa yang berada di kamar tidur mereka. “Ck!” gumam Diraga saat membuka handphonenya dan melihat beberapa pesan masuk dari para penggemar wanitanya. “Siapa ini?! Jangan pernah mengirimkan pesan ke nomor ini lagi! Mas Diraga sudah menikah, dan saya istrinya!” Send. Diraga senyum-senyum sendiri saat ia membaca kembali tulisan yang ia kirim ke beberapa wanita yang baru saja mengirimkan pesan padanya dan mengajaknya bertemu. Walau sudah menikah, kebiasaan Diraga untuk menggoda perempuan cantik belum bisa berhenti. Wajahnya yang tampan, tubuhnya yang tinggi dengan perawakan atletis di usia matang membuat banyak mata perempuan menoleh padanya . Diraga pun tak pernah sungkan untuk mengakui bahwa dirinya telah menikah pada para penggemarnya dan tampaknya hal itu malah memacu adrenalin perempuan-perempuan itu untuk menaklukan Diraga. Suami Bening ini pun menikmati perhatian-perhatian itu, lalu biasanya ia akan mengajak mereka untuk makan malam romantis, setelah itu menghilang tanpa jejak atau tak ingin dihubungi mereka kembali. Diraga tak pernah mengajak para penggemarnya untuk naik ke atas ranjang walaupun godaan itu datang silih berganti. Ia masih bisa bertahan untuk tak menambah kerusakan pernikahannya. Apalagi, kini ia sudah memiliki Bening, istri sah tempat ia bisa bebas melepaskan syahwatnya dengan bebas. Tinggal terpisah dari Bening membuat kehidupan bebasnya tak berubah, ia tetap bisa bergaul dengan teman-teman pria lajangnya saat malam dan bebas untuk pulang pukul berapapun. Hidupnya hanya penuh dengan motto “Work hard, play hard.” Diraga menggaruk kepalanya tak gatal saat menyadari bahwa ia telah memutuskan untuk tinggal bersama istri dan kedua adik iparnya. Ia memang merasa marah pada Bening ketika mendengar hutang-hutang pribadinya begitu besar, tapi mendengar alasannya ia tak bisa menyalahkan Bening 100%. Hutang itu telah ada sebelum menikah dengan Diraga dengan alasan yang jelas. Diraga sadar bahwa Bening sebenarnya bukan istri yang materialistis. Jika memang haus akan uang, sudah pasti ia tidak akan memilih Diraga, karena sebenarnya Bening sangat cantik dan muda. Ia bisa memilih siapapun pria kaya yang ia mau. Apalagi Diraga sering bersikap menyebalkan pada Bening. Mendengar Bening mengucap kata cerai membuat perasaan Diraga marah dan terluka, ia tak menyangka bahwa Bening akan seberani itu. Ia memang menikahi Bening bukan karena cinta, tapi setelah setahun ini walau belum ada perasaan kepada istrinya, tapi Bening adalah pengingat statusnya. Walau gengsinya masih besar untuk minta maaf, tapi Diraga sadar, sikapnya kemarin berlebihan dan menyinggung perasaan dan harga diri Bening. Kini ia membantu, memang karena kewajibannya untuk membantu dan melindungi Bening, tapi tujuannya yang lebih besar lagi adalah untuk menutupi rasa bersalah atas sikapnya selama ini. Diraga kadang masih tak mengerti mengapa ia begitu kasar pada Bening, sedangkan dengan wanita lain ia tak pernah sekasar dan sekeras itu. Apalagi sikapnya pada Sari yang begitu kebalikannya, sampai-sampai ia diejek oleh teman-temannya karena terlalu bucin pada mantan istri sirinya. Diraga tersadar dari lamunannya saat pintu kamar tidur terbuka dan Bening masuk ke dalam kamar perlahan dan mengunci pintu. “Lembayung sudah berangkat sekolah, Banyu sudah makan dan minum obat dan sekarang sudah kembali tidur.” Bening berdiri menunduk dihadapan Diraga seolah memberikan laporan pada atasannya. Sedangkan Diraga menatap wajah Bening yang sedikit tertutup rambutnya yang panjang lalu menepuk sofa menyuruh Bening untuk duduk disisinya. Tanpa kata Bening pun menurut. Perlahan Diraga menyibak rambut Bening dan mulai mencium leher istrinya yang jenjang seraya berbisik, “Setelah ini kita akan pergi ke Bank, aku akan melunasi semuanya.” Bening hanya mengangguk dan membiarkan sang suami mencumbunya. Selama Diraga merasa senang dan tenang, Bening yakin ia akan baik-baik saja. *** Bening hanya bisa menunduk dan merasa malu saat melihat Diraga mengusap-usap keningnya sendiri tampak pusing saat mengurus transferan uang untuk melunasi hutang-hutang Bening yang mereka lakukan di Bank. Bagaimanapun uang itu sangat besar dan membuat Diraga menguras tabungannya. Di dalam hati Bening ada perasaan lega dan bersyukur karena Diraga mau membantunya, walau setelah ini Bening tak tahu akan seperti apa sikap Diraga padanya Bening akan bertahan karena suaminya itu telah mengangkat beban berat hidupnya beberapa tahun belakangan. “Aku lapar!” sungut Diraga saat mereka selesai melakukan transaksi perbankan dan berjalan menuju mobil. “Mas Diraga mau makan apa?” tanya Bening sungkan tapi ia harus bertanya agar suaminya tak kembali merengut. “Apa saja deh, yang menggugah selera,” jawab Diraga sembari menyalakan mesin mobil. Mereka berhenti di sebuah Mall yang tak jauh dari Bank lalu mencari restoran untuk mereka makan berdua. Suami istri itu memilih restoran chinese food dan Bening langsung memesan makanan untuk suaminya. Melihat restoran itu sangat penuh, membuat Bening gelisah. Sejak menikah dengan Diraga yang Bening tahu bahwa suaminya bukan orang yang sabar untuk menunggu. Ia merasa gelisah dan takut jika makanan yang mereka inginkan datang terlalu lama. “Sabar ya mas,” bujuk Bening ketika Diraga tampak mulai bosan dan meletakkan handphonenya. Diraga hanya diam termenung, tentu saja ia akan sabar karena restoran ini begitu penuh sehingga ia tahu harus menunggu. Dalam diam Diraga mencuri pandang pada istrinya lalu menyadari bahwa Bening terlihat takut padanya. Ia sadar bahwa sikapnya yang selalu menggerutu pada Bening membuatnya tampak tak sabaran di depan istrinya. Bening yang bergerak gelisah membuat rambut panjangnya yang indah tergerai ikut bergerak dan mengeluarkan aroma wangi. Aroma itu menggelitik indra penciuman Diraga yang duduk sangat dekat dengannya. Tak sadar Diraga menciumi rambut istrinya. Ia selalu kagum bagaimana para wanita menjaga rambut mereka tetap bersih dan harum, padahal sudah berada diluar ruangan seharian. “Mas?” panggilan Bening menyadarkan Diraga yang tanpa sadar menciumi dan membelai rambut Bening. Diraga merasa malu kepergok tengah mencium dan membelai rambut istrinya sendiri. “Aku bangga kamu bisa menjaga kebersihan rambut, tapi rambutmu sudah terlalu panjang dan tebal. Habis ini kita potong rambut!” ajak Diraga setengah berbisik di telinga Bening dan menatap istrinya dengan pandangan tajam membuat Bening langsung menunduk segan. “Gak cuma rambut, baju kamu juga harus banyak yang diganti. Aku gak mau seperti menikah dengan oma-oma,” ucap Diraga sambil menarik perlahan kemeja yang Bening gunakan. “Jangan mas, aku sudah terlalu banyak merepotkan,” tolak Bening terlihat sungkan. “Setelah kamu habiskan ratusan juta dalam dua hari, kamu pikir akan berpengaruh jika kamu habiskan beberapa juta lagi? Itu semua gak gratis sayang, semuanya akan masuk dalam list hutang yang harus dicicil.” Diraga berkata dengan suara mesra sambil mencubit dagu istrinya gemas. Ia merasa gemas dan mulai kecanduan untuk menyentuh Bening tapi harga dirinya yang tinggi membuat ucapannya tak sesuai dengan tingkah lakunya. Bening hanya diam, ia tak lagi sungkan pada Diraga. Di dalam pikirannya, ia sudah langsung membuat list apa saja yang harus di beli untuk kebutuhan kedua adiknya. Toh, akhirnya semua ini jadi hutang yang harus dibayar pada Diraga. Selesai makan, suami istri itu menuju departement store untuk membeli beberapa pakaian baru untuk Bening. Diraga hanya menghela nafas panjang saat mereka keluar dari departement store dengan begitu banyak pakaian juga barang tapi semuanya untuk Lembayung dan Banyu, sedangkan Bening hanya membeli sebuah celana kain untuk dipakai ke kantor. “Lembayung sudah mulai remaja mas, dia butuh miniset pakaian dalam juga beberapa kaos baru. Begitu juga Banyu, celananya banyak yang sudah belel.” Bening mencoba memberikan penjelasan, mengapa ia sibuk membelikan banyak barang untuk adik-adiknya. “Tak masalah! Aku sudah belikan banyak pakaian buat kamu,” jawab Diraga sambil memamerkan beberapa tas belanjaan yang ia pegang. Mata Bening membulat saat melihat harga dari pakaian-pakaian yang Diraga belikan padanya. “Mas! Baju-baju ini harganya mahal untukku! Bagaimana aku bisa membayarnya?!” “Tinggal kamu cicilkan? Ayo, sekarang kita potong rambut, kali ini gratis aku yang bayar. Aku gak mau seperti tidur sama hantu karena rambutmu panjang sekali.” Diraga melangkah ringan mendahului sedangkan Bening berjalan gontai. Kepalanya penuh dengan angka tambahan berapa bulan dari ratusan bulan untuk bertahan dengan Diraga. Tak lama mereka berada di sebuah salon lalu tanpa ragu Diraga meminta penata rambut langganannya untuk merapikan rambut Bening. “Potong saja melebihi bahu, tolong buat agar ia mudah menatanya,” pinta Diraga cepat. Hampir satu jam kemudian akhirnya Bening selesai dan berjalan menemui Diraga yang menunggu diruang tunggu. Diraga terhenyak saat melihat istrinya. Dengan potongan rambutnya yang baru, membuat wajah Bening terlihat cantik sekali walau tanpa riasan. “Cantik,” bisik Diraga ditelinga Bening saat menunggu kasir menyelesaikan pembayaran mereka. Bening tersipu malu. Pujian itu adalah pujian pertama Diraga untuk dirinya. “Cantik banget loh istrinya mas Dir, harus sering-sering diajak kesini mas, biar eike rawat rambutnya, pasti makin kinclong! Lihat nih, wajahnya aja masih murni begini! Gosok dikit jadi berlian!” celoteh Kiky penata rambut yang sudah sangat akrab dengan Diraga. “Tapi bini gue suka kurang terimakasih nih, udah diajakin nyalon gak ngasih cium atau peluk gitu untuk suaminya,” kata Diraga spontan sambil memberikan tips besar pada Kiky. Bening hampir tersedak nafasnya sendiri mendengar ucapan Diraga.. “Kasih cium dong mbak, nanti lakinya kecantol cewe lain loh! Kalau gak cewe lain, nanti eike yang cantol, mau?” goda Kiky dengan gaya kemayunya yang lucu. Wajah Bening bersemu merah saat Diraga menyodorkan pipinya mendekati bibir Bening. Dilihat banyak orang begitu membuat Bening gugup dan bingung. Ia baru saja hendak mengecup pipi Diraga saat tiba-tiba suaminya menoleh dan mencuri ciuman dari bibir Bening, membuat Kiky juga kasir bersikap histeris melihat sikap mesra Diraga. “Mbak, dijagain suaminya yaaa! Banyak yang pengen soalnya!” ucap Kiky setengah berteriak saat Diraga menarik tangan Bening untuk keluar dari salon. Bening hanya melangkah mengikuti langkah Diraga yang menggenggam tangannya. Tiba-tiba hatinya terasa hangat dan memandang punggung suaminya dengan pandangan penuh harap. Andai saja kemesraan itu nyata dan bukan sikap pura-pura Diraga alangkah senangnya. Merasakan genggaman Diraga makin mengeras dan sedikit terasa sakit di tangan Bening membuat Bening sadar, keinginannya itu tampaknya hanya mimpi belaka. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD