Rumah

1003 Words
Body terdiam begitu memasuki rumah White yang megah. Sekilas tatanan rumah tersebut memang terlihat simpel dan sederhana. Namun, jika dilihat dari dekat, maka akan tahu bahwa perabotan yang simpel tersebut memiliki harga yang fantastis. Rumah bernuansa putih dengan prerabotan pastel itu membuat Body terpana. "White, istirahat dulu di kamar, Ibu akan siapkan makanan untukmu," ucap Bu Lada. White yang aslinya merupakan Body tersebut melihat sekeliling, "Aku harus bagaimana? aku bahkan tak tahu kamar mandinya. Aku bisa tersesat di rumah ini." "White. Kenapa melamun? kau butuh sesuatu?" "Ah, tidak tan ... maksudku Bu," Bu Lada tersenyum. Sementara itu Body berpikir dengan keras, "Dimana kamarnya? baiklah, ini ruangan utama. Berarti kamar si Lemah ini ada di ..." Body memutar otaknya, "Sana?" Body menatap ruangan agak besar, dengan warna pintu pastel yang berada tak jauh darinya, "Pasti disana," Body berjalan perlahan. Dengan gugup dia menaruh tangan di ruangan tersebut dan bersiap membuka pintu. Bu Lada yang baru saja kembali dari dapur terhenti menatap Body. "White ... begitu masuk kau sudah mau bekerja. Tidak, ibu tidak izinkan," "A-Apa ..." Body membatu seketika. "Bekerja? apa maksudnya," "Ibu tidak izinkan kau masuk ke studiomu,". "Oh, jadi ini studio?" Body berdehem, lalu mundur selangkah, "Aku hanya ingin melihat. "Masuk ke kamarmu," "Iya, tapi masalahnya dimana kamarnya? s*alan! kenapa kamar di rumah ini banyak sekali?" "White, masuk ke kamarmu!" Bu Lada menunjuk. Body menatap ujung telunjuk Bu Lada. Bu Lada mengarahkan telunjuknya ke sebuah kamar besar yang berada di depan studi. Bodi menghela nafas lega, "Jadi disana?" "Baik, aku permisi," Body segera beranjak. "Tunggu, ini susumu. Minumlah," Bu Lada memberikan segelas s**u kepada Body. "s**u!?" Body menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Aku harus meminum minuman bayi ini?" "White ..." "B-Bu ... bisakah aku minum yang lain? misalnya jus, atau apapun?" "Kenapa? kau kan suka sekali minum s**u, lagipula sekarang kondisimu sedang masa pemulihan minum s**u adalah yang terbaik," "Yang suka minum s**u itu anakmu, bukan aku. Pemulihan apanya? aku sama sekali tidak merasa sakit," Body mengomel dalam hati. "White ..." Bu Lada mendekat dan hendak menyentuh kepala Body. Body reflek menjauh. Dia sangat sensitif dengan sentuhan, maka dari itu dia tak pernah membiatkan orang lain menyentuhnya selama ini, yah itu terjadi sejak ibunya meninggal. Bu Lada tersenyum lembut, "Dasar kelinci ibu yang imut. Kau masih kagetan, ya?" "T-Tidak juga. Aku hanya ..." "Mau ibu masakkan sesuatu? bagaimana roti sandwich kesukaanmu? atau ... daging lada hitam, agar kau segera pulih." "Aku baik-baik saja, tak perlu memasak segala," Bu Lada menarik nafas panjang, lalu menatap White lekat, "White ... kau ... masih berdiet? sudah ibu katakan kau tak perlu berdiet, kau tidak gendut, hanya pipimu saja yang seperti kelinci," Body menyentuh pipinya, "S*al, kenapa aku diperpakukan seperti anak umur sepuluh tahun?" "Pipimu itu adalah daya tarik, kau sangat imut dengan pipi cuby itu, fans banyak menyukai pipi gendutmu kan?" "I-Iya," jawab Body seadanya, "Demi apa, kenapa orang-orang menyukai pemuda seperti ini? karena tampan? tampan dari mana, dia lebih terlihat cantik," "Nah, kalau begitu ibu masakkan daging lada hitam." "Tidak, aku belum lapar, Bu. Aku akan mengambil makanan sendiri jika aku lapar," "Hmm, begitu? kalau begitu apa kau mau cemilan? kau baru saja keluar dari rumah sakit. Tak perlu menjaga makanmu, kau hanya harus banyak makan makanan sehat dan berserat, ibu jamin kau tak kan gemuk," "Aku tidak mau makan apapun. Aku masih kenyang," "Kalau begitu ..." Body segera mengambil s**u dari tangan Bu Lada, "Terimakasih susunya, aku masuk ke kamar dulu," Bu Lada tersenyum melihat tingkah Body, yah bagaimanapun dia mengira Body adalah White Pattchara anak semata wayangnya yang sangat dia cintai. Bu Lada lega karena White tak mendapatkan luka serius saat kecelakaan. Walau dia pingsan dalam waktu yang lama. Menurut dokter kondisi fisik dan psikologinya tidak masalah. Tak ada luka dalam juga. Bu Lada sangat shock ketika dia mendapat kabar bahwa White mengalami kecelakaan. Dia langsung terbang dari luar kota hari itu. Dia panik dan gugup sepanjang jalan. Jika terjadi sesuatu kepada White, maka tak tahu apa yang akan terjadi pada Bu Lada. White adalah satu-satunya permata berharga bagi wanita itu. Tak ada keluarga lain lagi, mereka semua terlahir sebagai anak tunggal, sementara keluarga dari ayah White tidak menyukai White sama sekali karena kebenaran tentang kondisi seksualitas White. White dan Ibunya mencoba bercerita kepada keluarga demi mendapatkan solusi karena mereka hanya berdua pada saat tu. Ayah White meninggal, White masih remaja, dan Bu Lada masih muda. Tak ada orang dewasa yang bisa diandalkan. Namun, setelah menceritakan semuanya, bukannya mendapat dukungan atau solusi, Bu Lada dan White malah dijauhi. Intinya mereka dikucilkan dari keluarga. Akhirnya Bu Lada merawat White seorang diri dengan tabah, melimpahkan semua kasih sayangnya kepada satu-satunya penyemangat hidup, walau penyemangat hidup itu memiliki kekurangan. White Pattchara adalah nyawa bagi Bu Lada. Maka dari itu Bu Lada hampir tak bisa mengendalikan diri ketika mendengar White terluka. Beberapa hari di rumah sakit. Bu Lada akhirnya bisa tenang atas pernyataan dokter, dan kini mereka ada di rumah. Walau White terlihat bertingkah aneh, Bu Lada tetap bersyukur setidaknya White bersamanya disini, dan dalam keadaan baik. "Rumah ini begitu besar, White. Ibu bersyukur bahwa kau ada disini bersama ibu," gumam Bu Lada sambil tersenyum. Bu Lada memang jarang ada di rumah, dalam seminggu dia bisa keluar kota sebanyak tiga kali. Namun, begitu dia pulang, maka dia akan terus berada di rumah. Memperhatikan putranya. Kadang mengantarkan putranya bekerja, pergi belanja bersama, hingga White sudah dewasa begini, mereka masih ke taman hiburan bersama. Bu Lada membuka satu ruangan di sebelah kmarnya, yang merupakan tempat bermain White saat kecil. Disana ada begitu banyak mainan, buku-buku, jejak pertumbuhan White dari bayi hingga berusia remaja. Setiap pulang dari luar kota, Bu Lada pasti duduk di kamar itu. Memperhatikan coretan-coretan White kecil di dinding. Menatap tanda pengukur tinggi badan White dari tahun ke tahun, dan penanda itu berhenti diangka 155 cm, dimana saat itu White sudah menginjak remaja. Bu Lada menarik nafas dan tersenyum lembut. Kenangan di rumah itu hanya tentang putranya. "Kau sudah dewasa White, tapi bagi ibu ... kau tetaplah bayi ibu yang mungil, dan akan terus begitu." TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD