Bab 2

1177 Words
Daffa pov. Aku langsung menuju rumah mertuaku sepulang aku dari kantor. Sudah beberapa hari ini aku dan Arsy menginap di rumah abi dan umi karena abang iparku akan segera menikah. Semoga semuanya lancar sampai tiba hari dimana hubungannya dan mbak Tasya sah di mata agama. Aamiin. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Eh, Daff, udah pulang?" tanya abang, menghentikan kegiatannya membungkus surat undangan pernikahannya sejenak. "Udah, bang. Gimana persiapan pestanya?" Aku mendekati bang Nail, mengambil duduk di samping kursi tempat laki-laki itu duduk. Setahuku, semua persiapan pernikahan diserahkan kepada pihak keluarga bang Nail. Aneh ya? Bukankah seharusnya setiap orang memiliki keinginan untuk ikut andil dalam persiapan pernikahannya? Bukan seperti mbak Tasya yang terkesan pasrah begitu saja. Jangan-jangan mbak Tasya sebenarnya ingin menolak pernikahan—astaghfirullah... kenapa aku jadi berpikiran buruk seperti itu? "Sudah hampir selesai, Daff. Tinggal finishing, makasih ya sudah mau bantuin Abang." "Abang, kita ini kan saudara. Dulu abang juga yang membantu persiapan pernikahan Daffa dan Arsy. Sekarang gantian kami yang bantuin, malah sebenarnya Daffa merasa kayaknya nggak bantu apa-apa, Daffa malah sibuk sendiri." "Santai aja. Abang tahu kok kamu memang lagi sibuk." "Omong-omong, Arsy mana ya, bang? Biasanya dia menyambut Daffa setiap Daffa pulang...," "Lagi di kamar, disuruh tiduran sama umi. Begitu masuk dapur buat bantuin umi masak, Arsy muntah-muntah terus. Katanya nggak bisa cium bau ikan goreng." "Oh, Arsy kalau ikannya digoreng memang gitu, tapi kalau ikannya dikuahin... wah, seneng banget dia," timpalku. "Yaudah, Daffa ke Arsy dulu kalau gitu. Mau lihat udah baikan atau belum." Aku segera meninggalkan Bang Nail di ruang tengah dan pergi ke kamar untuk memeriksa kondisi istriku tercinta. "Assalamu'alaikum, Yang." "Wa'alaikumusalam, Aa' sudah pulang? Aa'... sini deh. Arsy mau peluk," rengeknya. Ya, Allah... istriku ini benar-benar menggemaskan! Aku segera menghampiri Arsy, usai meletakkan tas dan jas yang baru saja kutanggalkan, ke atas meja di samping tempat tidur. "Iya, Sayang. Kata Bang Nail kamu mual ya?" "Iya, A'... ada ikan goreng, Arsy jadi mual. Padahal Arsy pingin bantuin umi." "Yaudah, mungkin umi lupa kalau kamu suka mual begitu cium aroma ikan goreng. Sekarang udah mendingan mualnya?" "Udah nggak... tapi Arsy lemes. Arsy juga belum makan...." "Ya, Allah... jadi Arsy belum makan? Yaudah Aa' ambilin, ya? Mau makan apa?" "Nggak ngerepotin, Aa'? Maaf ya... Arsy malah bikin repot, Aa'...." "Nggak ngerepotin Aa' sama sekali, Sayang. Jadi, mau makan apa?" "Apapun asal bukan ikan goreng." Aku merasa rasa sayangku semakin bertambah, saat melihat Arsy yang begitu manja kepadaku. Seolah-olah istriku ini benar-benar membutuhkan aku, terutama di masa kehamilannya saat ini. Bahagia selalu, Istriku... aamiin. *** "Aa', menurut, Aa' bagaimana calonnya, bang Nail?" tanya Arsy setelah aku selesai menyuapinya, dan menyuapi diriku sendiri. Kami memang sering makan dari piring yang sama, dengan sendok yang sama, bahkan minum menggunakan satu gelas yang sama. Salah satu sunah Rasulullah yang sering aku dan Arsy jalankan. "Bagaimana apanya? Lagian Aa' kan sekilas doang tahunya. Jadi kamu salah kalau nanya tentang dia ke Aa'." "Ya kan biasanya cowok sekali lihat bisa langsung menilai...." "Yang bisa dinilai dalam sekali lihat itu hanya penampilan luarnya saja. Misal, seseorang terlihat salehah karena memakai hijab, cantik dan manisnya seseorang dari wajahnya, atau tingkat kenakalan berdasarkan penampilan yang terbuka—sebatas itu saja. Kalau menilai karakter, kita nggak bisa menilainya hanya dengan sekali lihat." "Seperti Arsy dulu yang menilai Aa' ya?" "Nah, itu Arsy tahu," ujarku, sedikit mengingat bagaimana pertemuan kami dulu. "Omong-omong, Aa' pernah denger cerita bagus nih, Dek. Mau denger juga?" "Duh... Arsy jadi merasa kayak anak kecil yang didongengi sebelum tidur, hehe." "Karena bagi seorang istri, suami itu harus bisa jadi suami, orangtua, sahabat, dan juga kakak," sahutku. "Tapi suami nggak boleh menganggap istrinyaseperti ibunya atau menyamakan. Kenapa, A'?" "Lain kali Aa'jelasi. Nah, sekarang mau didongengin dulu nggak?" "Kisah ini berhubungan dengan apa yang Adek tanyakan pada Aa' tadi. Tentang menilai seseorang—dikisahkan bahwa suatu malam, Sultan Murod Ar-Rabi' mengalami kegundahan yang teramat sangat, tapi dia sama sekali tidak mengetahui apa sebabnya. Akhirnya dia memanggil sipir atau biasa disebut penjaga istana untuk menghadapnya. Sang Sultan mengajak si sipir untuk berkeliling melihat keadaan rakyatnya, hal ini sering beliau lakukan untuk melihat keadaan rakyatnya. "Menyamar A'? blusukan gitu?" tanyanya. "Ya, mungkin kalau istilah sekarang ya... blusukan gitu tapi—blusukannya Sang Sultan ini tidak diketahui siapapun kecuali si sipir." Aku berhenti sejenak, sebelum kemudian melanjutkan, "nah... sesampainya di ujung desa, dia melihat seorang laki-laki tergeletak. Sang Sultan pun mendekat, guna memeriksa lelaki tersebut yang ternyata sudah meninggal. Sang Sultan terheran-heran, kenapa tidak ada satu orang pun yang peduli padahal suasana sangat ramai." "Saat Sang Sultan memanggil mereka dan bertanya,jawaban penduduk di situ sangatlah mengejutkan, 'Dia adalah pemabuk dan pezina. Untuk apa kami peduli?' Sang Sultanpun berkata, 'Bukankah dia dari golongan kita? Golongan Nabi Muhammad shallallahu alahi wasallam. Mari kita bawa kepada keluarganya'. Akhirnya Sang Sultan dan para warga membawa jenazah ke rumahnya yang disambut isak tangis istrinya. "Setelah mengantar jenazah lelaki tersebut, para warga langsung pergi meninggalkan Sultan serta sipir tadi bersama dengan istri sang jenazah. Istri si jenazah berkata, 'terima kasih wahai Wali Allah, aku yakin engkau adalah Wali Allah'." "Tentu saja Sultan dan sipir bingung, bagaimana bisa istri si jenazah memanggilnya Wali Allah? Mungkinkah karena dia bersedia membantu jenazah tersebut, makanya sang istri mengatakan dia Wali Allah? Atau kah sang istri ini tahu bahwa dia seorang Sultan? Begitu yang dipikirkan Sang Sultan. Akhirnya Sang Sultan memberanikan diri bertanya, karena merasa penasaran dengan jawaban istri jenazah tersebut." "Bagaimana mungkin aku termasuk Wali Allah, hanya karena membantu suamimu? Sementara orang-orang mengatakan hal buruk tentang suamimu, hingga mereka enggan mengurusi mayatnya. Wanita itu pun menjawab, 'aku sudah duga hal itu. Sungguh suamiku setiap malam membeli khomar dengan uang yang dia miliki, untuk dia buang ke Toilet hal itu dilakukannya agar pemuda Muslim tidak meminumnya karena sudah habis. Setiap malam dia akan mendatangi para p*****r guna meminta mereka agartidak melayani pemuda muslim yang ingin menggunakan jasa mereka.Pernah suatu hari aku berkata pada suamiku, jika seandainya engkau mati, maka tidak akan ada orang yang akan memandikanmu, menyolatkanmu, dan menguburkanmu.Suamikupun tersenyum dan menjawab bahwa aka nada Sultan/Pemimpin kaum muslimin beserta para ulama dan pembesar-pembesar negeri lainnya yang akan menyolatkan dia." "Setelah mendengar perkataan istri jenazah, Sultan pun menangis dan mengatakan bahwa ia adalah Sultan Murod Ar-Robi'. Sultan berjanji akan memandikan si jenazah, menyolatkan, serta menguburkan." "Allah memang Maha Tahu. Segala sesuatu yang kita tanam, Allah akan memberikan kita dengan hasil yang sesuai. Lelaki itu menggunakan uangnya untuk menghancurkan kemaksiatan, maka Allah takdirkan tidak sembarang orang yang mengurus jenazahnya." "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Mulk: 2). Jadi jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya saja, karena perbedaan kita dengan yang lainnya di mata Allah itu hanyalah amal saleh." "Aa' bener.Ilmu agama Aa' sekarang sudah jago. Kenapa masih mau belajar sama Abi? Arsy aja merasa kalah dengan Aa'." "Mengerti banyak kisah tauladan, belum tentu menjadikan kita pandai agama. Makanya jangan takabur, karena di atas langit masih ada langit. Jangan pernah lelah mencari ilmu apalagi ilmu agama." "Duh, Arsy jadi makin cinta. Anak kita juga akan bangga nih punya ayah keren kayak Aa'!" "Anak kita juga akan bangga dengan bundanya. Sekarang waktunya kamu tidur ya, Dek." Aku mencium perut istriku, lalu tak lupa keningnya. Memberi ciuman sebelum tidur selalu rutin kulakukan. Tak lupa aku juga gemar membacakan hafalan surah yusuf atau surah mariam sampai Arsy tertidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD