Bab 3

850 Words
[ARSY PoV] "Jadilah mutiara dalam keluarga. Jadilah sosok Khadijah untuk suami." Itu yang sering Umi pesankan untukku selama menjadi seorang istri. Sore ini sehabis pulang kerja, tidak biasanya Daffa minta ditemani di kamar. Tapi anehnya begitu sampai di kamar, Daffa malah tidur di pangkuanku sambil memeluk perutku dan menyembunyikan wajahnya di sana. Awalnya hanya diam saja, lalu lama-lama aku merasakan bagian gamisku yang menempel di wajahnya basah. "Aa' kenapa? Kok nangis?" tanyaku, penasaran. Tidak biasanya Daffa seperti ini. Apakah pekerjaannya di kantor sangat berat? Daffa menggelengkan kepala. Hmm, baiklah aku tidak akan memaksa. Biar dia saja yang bercerita dengan sendirinya. Berselang agak lama, Daffa akhirnya pamit untuk mandi karena sebentar lagi sudah akan masuk waktu maghrib. Begitu selesai mandi dan berpakaian, Daffa pun berpamitan ke masjid. "Sayang, Aa' ke masjid dulu sama Abi dan Abang. Adek jangan sampai terlambat salat maghrib di awal waktu." "Iya Aa'. Nanti hafalan lagi sama abi ya A'?" "Iya. Nanti Abi mau tes Aa'... sudah ada kemajuan atau belum." "Semangat ya, Aa'!" "Iya, Sayang. Demi kamu dan anak-anak kita." Daffamengambil tanganku untuk digenggamnya dan mengajakku turun ke bawah. "Yuk berangkat," ajak Bang Nail setelah kami berdua sampai di bawah. "Ayuk lah! Abi mana?" "Abi sudah di depan." "Oke. Sayang, Umi, kami berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum," pamit Daffa padaku dan Umi. "Wa'alaikumussalam, hati-hati, A', Abi, dan Abang," jawabku. "Yuk, Dek, ambil wudhu. Kita ke mushola kecil kita, ngaji dulu sambil menunggu adzan maghrib," ajak Umi, setelah Aa' dan semuanya sudah tak terlihat lagi. Sebuah kebiasan yang harus kita mulai dari dini. Membiasakan membaca Al-quran di manapun dan kapanpun, karena kelak Al-quran juga yang akan menjadi temanmu saat di hari penghakiman nanti. *** "Umi, kalau rumah Daffa sudah jadi dan kami berdua pindah kesana, Arsy sanggup nggak ya, Mi, mengurus rumah sendirian?" "InsyaAllah, Arsy sanggup, apalagi sudah mau jadi ibu. Masih enak kok jadi Arsy. Daffa yang cari rezeki dan Arsy yang mengurus rumah, di luar sana banyak ibu rumah tangga yang ikut banting tulang cari rezeki membantu suaminya di samping dia harus mengerjakan tugas rumah." Umi lalu melanjutkan, "Saat Arsy capek karena menyapu rumah sendiri, ingatlah semua yang Arsy lakukandiniatkan sebagai ibadah. Maka setiap langkah Arsy saat menyapu akan mendapat pahala, saat mencuci baju suami niatkan semua karena ibadah, maka setiap lembar pakaian yang Arsy cuci akan mendatangkan pahala, begitu pula dengan memasak, melayani suami, berdandan untuk suami, pokoknya niatkan semua kerena ibadah kepada Allah maka pahalanya akan Arsy dapat" "Seperti Bunda Khadijah ya, Mi, yang selalu mengerjakan tugasnya tanpa mengeluh dan merepotkan suami?" "Iya benar, sampai-sampai Allah dan Malaikat Jibrilpun menyampaikan salam untuk Bunda Khadijah. Begitu mulianya kedudukan Bunda Khadijah, beliau diberikan rumah di surga yang terbuat dari mutiara karena beliau tidak pernah mengeluh apalagi menyulitkan suaminya." "Arsy bisa nggak ya, Mi?" "InsyaAllah Arsy bisa," kata Umi, sambil mengelus kepalaku. Ah, aku jadi teringat masa dulu saat aku selalu bermanja-manja pada Umi. "Assalamu'alaikum, ada apa ini kok berpelukan nggak ajak-ajak?" Suara Abi menginterupsi obrolanku dengan umi. "Rahasia wanita," jawabku, seraya bangun dan mencium tangan Daffa, Abi dan Abang. Begitu pula Umi, mencium tangan Abi dan gantian Abang dan Daffa mencium tangan Umi. Daffa duduk di sebelahku, Umi dan Abi bersebelahan, tinggal Abang yang sendirian. "Nggak usah baper. Kan bentar lagi juga ada yang duduk di sebelahmu, Bang," celetuk Abi, disusul tawa geli dari kami. Ya, Allah... kena lagi aja Abang ini dari godaan Abi. "Abi mulai deh. Dulu belum ada calon, digodain kapan. Sekarang sudah ada, masih juga digodain. Nanti kalau udah nikah digodain lagi pastinya, kapan nyusul punya momongan," keluh Bang Nail, dibalas tawa oleh Abi. "Ya pasti dong. Kapan lagi bisa godain anak? Godain Umi kan udah biasa, Bang." "Ya kan siapa tahu kita masih mau berduaan. Kalau sudah ada anak kan nggak bisa berduaan nanti," balas Abang nggak mau kalah. "Sah-in dulu aja, Bang. Masalah pacaran mah nanti. Ya, nggak, Dek? Lagian fasekehamilan istri juga nyenengin, Bang. Apalagi kalau makin manja." "Belum aja, Daff. Kalau kamu lagi capek terus Arsy ngidam yang aneh-aneh, yakin deh kamu juga akan kesal." "Bang, kok jadi bawa-bawa Arsy? Lagian Arsy juga tahu kali kalau Aa' lagi capek. Nggak mungkin Arsy minta aneh-aneh," jawabku, lalu berdiri dan masuk ke kamar atas. Meski kita tidak tahu kedepannya akan seperti apa. Tapi kalau disinggung begitu kan kesel juga! Astaghfirullah.... "Kok malah jadi berantem begini?" Aku mendengar Abi bicara dengan Abang dan yang lainnya. "Biar Daffa yang bujuk Arsy, Bi." Suara Daffa pun masih terdengar. "Nail...." Itu suara Abi. Tapi karena aku sudah sampai di lantai atas, aku tidak bisa mendengar lanjutan kalimat Abi. "Sayang." "Iya, A'," jawabku. Meski masih kesal, panggilan suami tetap harus dijawab. "Jangan marah dong, nanti Dedeknya sedih." "Aa', Arsy kesel A'. Kenapa Abang bisa bilang gitu? Memangnya Arsy pernah bikin kesel Aa'?" "Nggak kok, Dek. Adek nggak pernah bikin kesal Aa' kok. Maklumin Abang ya? Abang lagi gugup, Sayangnya Aa' harus bisa ngertiin Abang ya... Abang nggak maksud kok buat bilang seperti itu. Kan Aa' sudah janji akan jujur sama Adek. Kalau Aa' kesal pasti Aa' ngomong sama Adek. Sekarang kita turun yuk? Kita makan dan minta maaf sama Abang. Dedeknya juga mau makan dan baikan sama uncle-nya pasti. Adek wudhu dulu ya, biar kesalnya hilang." Kamu bilang akan jujur, Suamiku... tapi kamu belum bicara jujur tentang alasanmu menangis tadi sore, batinku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD