Saman kaget ketika melihat istrinya masih tergeletak tak berdaya di pintu kamarnya. “Bu e sadar, Bu!”
“Gimana Mas. Mbak Ayu kenapa bisa pingsan begini?” tanya Karyo penasaran sambil membantu Saman membawa Ayu ke ranjang.
“Piye, ana apa iki?” tanya Mbah Atma yang masih menggendong Sekar.
“Iki lo, Mbah. Ayu tadi kan ternyata pingsan saya biarkan saja, karena saya mencari Sekar. Tak ubek-ubek rumah ini, gak tahunya Sekar sama Ayu di gendong di pangkuannya. La Ayu iki lo Mbah? Omangan e nglantur trus Mbah Atma. Setelah pintu tak buka ... Ayu sudah gak ada di kursi lagi dan masih pingsan,” terang Saman.
Mbah Atma hanya mengangguk ketika Saman bercerita. Wanita tua ini tahu apa yang di maksud Saman. Karena makhluk yang tadi membo Ayu, masih berada di samping Ayu.
“Saman, gawa anakmu nang jobo. Karyo kowe tetap nang kene!” perintah Mbah Atma.
“Ada apa, Mbah. Apa yang bisa saya bantu?”
“Tutup pintu ne!”
Karyo yang mendengar perintah Mbah Atma segara membalikkan badannya dan menutup pintu.
“Apa yang kamu inginkan dari Sekar?” tanya Mbah Atma menatap ke arah jendela.
“Aku hanya ingin menggendongnya. Setiap Mahgrib aku datangi tapi bayi itu tidak pernah nagis sepertinya tidak takut.”
“Tetap saja kamu tidak boleh mengganggunya. Sekali lagi aku tahu kamu membawanya. Jika aku melihatmu bakal aku habisi!”
“Anak itu istimewa. Auranya sangat kuat. Dan aku hanya ingin menjaganya.”
“Buat apa kamu menjaganya? Kelak bayi itu bisa saja menghancurkanmu. Pergilah dan jangan kembali.”
“Jangan sekali-kali kau bawa anak itu keluar dari Desa Bojong ini. Atau suatu malapetaka akan menghampirinya.”
“Aku tahu itu, pergilah.”
“Sinten Mbah niku?” tanya Karyo penasaran dengan siapa Mbah Atma berbicara.
“Kui mau Danyang e Desa Bojong.”
“Danyang?”
Mbah Atma mendekati Ayu dan mengobatinya. Kini Ayu yang tadinya berwajah pucat pasi menjadi bercahaya.
“Ayo keluar!” ajak Mbah Atma.
Desa Bojong adalah Desa yang memiliki tiga dusun. Sementara Saman dan pekerja lainnya tinggal di dusun Dompon, Desa Bojong.
“Iki besok tanduren nang jero omah, ya gawe penangkal anakmu!”
“Njih, Mbah!”
“Pesenku karo anakmu aja metu saka Desa iki. Saiki anakmu wes aman.”
“Matur suwun, Mbah?”
“Ayo Karyo terke aku balik saiki?”
***
Hubungan pasangan suami istri itu bertambah harmonis seiring dengan bertambah usia Sekar yang terlihat semakin cantik dan lucu.
Semenjak kejadian Sekar kesurupan dan Mbah Atma memberikan Saman sesuatu benda yang harus di pendam di dalam rumah, Sekar tak pernah mengalami kejadian aneh. Ia seperti gadis kecil pada umumnya.
Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat, seakan direnggut begitu saja. Saman yang bekerja di tengah hutan mengalami kecelakaan tertimpa pohon yang tumbang akibat angin lesus, ketika Sekar berusia delapan tahun.
Ayundya yang hanya hidup bersama putrinya di Desa Bojong, memilih untuk kembali ke Yogyakarta, tempat kelahiran Ayundya dan menitipkan Sekar kepada Laila dan Karyo.
Setelah lima tahun menjanda, Ayundya bertemu dengan Brahmantyo, teman sekolahnya yang ternyata sudah menjadi duda beranak satu.
Brahmantyo dengan gigih mendekati Ayu walau sudah berusia 40 tahun lebih, ia masih terlihat tampan.
“Gimana, Yuk? Mau gak,”
Setahun kemudian mereka pun menikah setelah merasa saling cocok, Ayu menjemput Sekar.
"Mbak Ayu, pesan Kang Saman dan almarhum Mbah Atma. Sekar tidak boleh keluar dari kampung ini selama lebih dari lima hari." Karyo berucap sambil mengingatkan Ayu.
"Saya tahu, Mas Karyo. Tapi sekarang keadaan saya berbeda dengan dahulu. Saya sudah menikah lagi, mungkin akan jarang menjenguk Sekar. Sebab itu saya ingin membawanya pulang ke Jogja," tutur Ayu gelisah.
"Saya tahu perasaan, Mbak Ayu. Karena saya juga seorang ibu. Akan tetapi, saya memikirkan keselamatan Sekar Mbak!" ucap Laila.
Satu jam sudah mereka berdiskusi yang terbaik untuk Sekar. Hingga akhirnya menemukan kesepakatan. Sekar tetap akan ikut Ayundya. Bagaimana pun dia adalah ibunya membuat Karyo dan Laila tidak bisa berkutik walau sudah mendapatkan mandat dari Saman.
"Maaf ya Laila. Segala resiko yang terjadi saya yakin Sekar akan baik-baik saja. Saya dan Sekar mohon pamit.
Heni saudara tiri Sekar tampak tak suka dengan kehadiran gadis berhidung mancung itu. Mereka yang sekolah satu atap itu saling bersaing dalam segi apa pun. Tak hanya di sekolah, di rumah pun Heni selalu mencari perhatian Ayundya untuk menjelek-jelekkan Sekar di hadapan ibunya.
Sekar gadis cantik, berambut panjang dan pintar. Ia adalah gadis yang ceria, memiliki hobi menulis dan bernyanyi. Hari-hari pun berlalu, kini Sekar sudah berusia delapan belas tahun. Satu bulan lagi, ia akan tamat SMU dan melanjutkan ke jenjang kuliah.
Pengumuman ujian akhir pun telah keluar. Sekar mendapatkan peringkat pertama, sedangkan Heni mendapatkan peringkat tiga puluh. Brahmantyo yang mengetahui hasil akhir ujian putrinya, marah besar kepada Heni karena tidak bisa mendapatkan nilai seperti saudaranya. Pertengkaran pun terjadi di antara mereka.
Tanpa sengaja Heni berbicara tak sopan kepada ayahnya, membuat Brahmantyo khilaf dan menampar Heni.
Sekar yang berada di belakang Heni terdorong jatuh, ketika saudara tirinya menghindari tamparan ayahnya. Gadis itu berteriak karena sebuah pisau yang terletak di ujung meja mengenai pinggangnya hingga membuat terluka dan berdarah. Saat itu juga pandangan Sekar gelap dan ia pingsan.
Brahmantyo ketakutan ketika melihat darah mengucur dengan derasnya tanpa henti, hingga membuat baju putih Sekar berubah menjadi merah.
Ia segera membawa putri tirinya ke rumah sakit dan dokter pun dengan cepat menjahit luka Sekar yang tak terlalu dalam. Anehnya sang gadis tak sadarkan diri selama dua hari.
"Mama ...." panggil Sekar dengan lirihnya setelah dua hari pingsan.
Perlahan Sekar membuka mata, tak ada siapa pun di sampingnya. Berkali-kali memanggil mamanya hanya suara tangisan perempuan yang ia dengar. Setelah tubuhnya benar-benar pulih, gadis itu mencoba bangun dari ranjangnya dan ia pun tersadar sedang berada di rumah sakit. Suara tangisan itu masih terdengar jelas dari kamar sebelah yang hanya tersekat tirai.
Rasa penasaran Sekar membuatnya berdiri dari ranjangnya. "Au ....” Ia dengan lirih menahan sakit ketika mendapatkan tekanan dari kakinya yang menginjak lantai.
Tangan kirinya memegang luka sayatan pisau sementara tangan kanannya menyibakkan tirai yang menghalangi pandangan. Seorang wanita mengenakan baju berwarna kuning duduk membelakangi Sekar. Rambutnya yang panjang dan acak-acakan itu, menangis tersedu sendirian di ujung ranjangnya.
"Mbak, jangan bersedih! Saya juga sebenarnya ingin menangis kalau meratapi hidup ini." Sekar yang mudah bersahabat dengan siapa pun membuka pembicaraan dengan wanita berambut ikal yang duduk membelakanginya.
Suara tangisan pun berhenti, ketika Sekar mengajaknya berbicara. Ia masih berdiri di tirai penyekat dan tersenyum dalam hati. Wanita itu menoleh ke arah gadis yang masih merasakan sakit di pinggangnya.
Wajah yang penuh darah dengan mata yang melesak ke dalam, dan tatapan yang tajam membuat Sekar tersentak dan berlari dari ruangannya. Wanita itu tertawa dengan kerasnya, membuat sang gadis cantik ketakutan hingga menabrak sesosok tubuh tinggi dengan tangan penuh darah segar. Sekar pun mendongak menatap wajah yang rusak dan kepala seakan mau putus dari lehernya.
Sekar berteriak histeris, bukan hanya satu dua makhluk yang ia lihat. Makhluk dengan aneka wujud itu mendatangi dan menatap Sekar dengan tajam. Dokter dan perawat yang berada di ruangan pun mencoba menenangkannya.