Rumah Sakit Ngudi Waluyo-Kampus

1277 Words
Kelaparan di saat tengah malam, bukan sesuatu yang menyenangkan. Selain sepi, asrama wanita yang terletak di area kampus cukup menyeramkan. Banyak cerita mistis yang telah sekar alami. Terlebih ketika ia tiba-tiba berubah menjadi sosok yang berbeda. Cerita-cerita itu cukup membuat bulu kuduk Akira, sahabatnya serempak berdiri. "Akira … temenin cari makan, yuk!" Sekar menggoyangkan tubuh sang sahabat yang telah terlelap dari dua jam lalu. "Aduh … Sekar apa, sih? Kantuk." Gadis berambut sebahu itu, tampak menggeliat, mengerjapkan mata yang masih terasa berat. "Temenin cari makan!" "Kebiasaan deh … aku kan sudah bilang, menstok makanan!" "Iya, ih bawel. Cepatan, ah. Nanti aku traktir kamu." Semenjak kuliah, Sekar bisa lebih tenang. Jauh dari Heni sang saudara tiri, merupakan hal terbaik sepanjang hidup. Selain itu, kehadiran Akira pun menjadi sesuatu paling disyukuri, karena gadis itu mampu menerima keadaan. Sekar yang terkadang tak seperti manusia kebanyakan. Penampakan yang ia lihat beberapa tahun lalu, masih sering menghantui, dan membuat Sekar histeris tanpa sebab. Persahabatan yang terjalin atas dasar ketulusan, di saat banyak orang menjauhi Sekar, Akira justru mendekat. Akira melihat sesuatu yang luar biasa pada diri Sekar. Unik, itulah yang dapat ia simpulkan ketika pertama kali bertemu di loket pendaftaran. Selain Akira, Sekar juga memiliki satu sahabat pria. Aditya, mahasiswa keperawatan yang juga merupakan sepupu dari Akira. Sosoknya yang periang dan humoris, membuat suasana selalu menjadi ramai. Membawa warna baru dalam perjalanan hidup Sekar. "Sekar, kata orang daerah sini angker. Kamu bisa rasain atau lihat enggak?" tanya terlontar ketika sampai di dekat pohon beringin yang terletak di persimpangan jalan antara asrama pria dan wanita. Akira mengusap tengkuk yang tiba-tiba terasa berat, hawa dingin terasa membelai bulu lembut yang terdapat di sana. Terasa seperti seseorang tengah bernapas dengan sangat dekat. "Enggak tuh!" Sekar memilih acuh, rasa lapar di perut lebih utama, ketimbang harus memikirkan makhluk halus. Akira menelan ludah yang mendadak terasa begitu kental, hawa dingin di tengkuk semakin menyebar. Jantungnya mulai berdetak tak beraturan, napas tersengal karena takut. Gadis itu menggenggam tangan sekar dengan erat, mata terpejam tak ingin melihat sekitar. Beberapa detik kemudian suara tawa terdengar sangat keras. Sekar terpingkal-terpingkal melihat sahabatnya yang menggigil karena ketakutan. Tidak hanya Sekar, satu pemuda yang berada di belakang Akira pun? tertawa dengan sangat puas. Akira menghentakkan kedua kaki. Kesal, karena sedari tadi ia tengah dikerjai. Aditya pemuda berperawakan tinggi dengan hidung mancung itu, ternyata yang meniup tengkuk Akira. "Iihhh … kalian ini!" Akira tak kuasa melanjutkan perkataannya, tangan kanan mengepal, dan meninju hidung Aditya sampai pemuda itu terhuyung. "Sadis banget, Mbak!" Aditya memegang hidung yang ternyata mengeluarkan sedikit darah, langkahnya tertatih, berusaha mengimbangi rasa pusing akibat pukulan Akira. "Salah sendiri!" Akira mengerucutkan bibir, membuang muka, untuk menghindari tatapan Aditya yang seolah tersakiti. Jauh dalam hati, Akira pun sesungguhnya terkejut, tak menyangka jika pukulannya bisa sekeras itu. "Sudah-sudah. Mendingan kita cepetan beli. Keburu warung loteknya tutup nanti." Sekar berusaha menengahi, selain itu dia juga merasa bersalah karena telah menertawakan Akira tadi. "Kamu juga, kok, enggak bilang?" Akira melempar tatapan tajam pada Sekar. "Aku juga baru tahu. Ketika kamu tutup mata terus aku penasaran. Sewaktu lihat ke belakang … ternyata si jahil Aditya." Sekar peringisan hingga menampilkan deretan gigi putih yang tersusun rapi. Ketiga sahabat itu akhirnya memutuskan untuk segera menuju warung lotek langganan, mengakhiri perdebatan yang membuat perut mereka semakin keroncongan. Sebenarnya, tadi Aditya hendak mencari makan juga. Namun, saat melihat Akira dan Sekar, jiwa jahilnya meronta-ronta. "Besok, jadwal Dokter Diah mengajar. Pusing aku! Tugas yang kemarin saja belum beres." Aditya mengomel sambil menjejalkan beberapa timun ke dalam mulut. Dokter Diah, dosen yang terkenal galak dengan sejuta peraturan. Tak segan memberi hukuman skorsing pada mahasiswa bandel dan selalu mengaret dalam mengerjakan tugas. Deadline adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. "Makanya, jangan game saja yang diurusi. Belajar!" Akira mengambil satu buah terong dan memukulnya tepat di kepala sang sepupu. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat Aditya batuk karena tersedak. "Sudah dong, Mbak. Jangan disiksa terus akunya." Aditya memasang wajah memelas, setelah menghabiskan satu gelas teh hangat untuk melancarkan perjalanan nasi dan ayam yang tersangkut di tenggorokan. Sekar terkekeh, kepala menggeleng menyaksikan dua saudara yang tidak pernah akur. Dalam hati Sekar kedua orang itu adalah hadiah dari Tuhan. Saat ia merasa sendiri, Tuhan mengirimkan mereka untuk kembali membuatnya tertawa. "Selamat pagi semua! Pengumpulan tugas makalah, saya undur sampai sepuluh hari ke depan. Harus sempurna, tidak ada alasan karena saya sudah memberi tenggang waktu lebih!" Dokter Diah, memberi penekanan tegas di setiap perkataan. Tatapan tajam membuat semua anak didiknya diam. Aditya mengusap dadanya, lega karena mendapatkan waktu lebih untuk mengumpulkan tugas Anatomi Fisiologi tentang metabolisme tubuh manusia yang disusunnya. Sebuah tema yang membuat Aditya bergidik, terbayang sesuatu yang menjadi akhir dari makanan, sering kali membuatnya selalu menunda untuk mengerjakan. "Kita ke ruang simulasi ¹O.K! Praktik!" Dokter Diah mulai beranjak dari kelas, semua mahasiswa mengikutinya dengan tertib, tak ada yang berani mendahului karena takut mendapatkan hukuman. Sebuah pintu berwarna biru, terpampang kokoh. Dokter Diah membukanya dan masuk untuk segera menyiapkan bahan pembedahan. Semua yang mengikuti praktik harus menggunakan masker, handscoon serta nurse cup, sebagai perlengkapan wajib. Akira telah menjadi asisten dosen, karena kepintaran gadis itu sudah diakui dosen pembimbingnya yang tak lain adalah Dokter Diah yang selalu memberinya nilai plus di setiap mata kuliah. Sekar sebenarnya lebih pintar dari Akira, entah ... kenapa dosen itu lebih menyukai Akira yang selalu mual ketika melihat manekin organ tubuh. Wanita berusia lima puluh tahun itu berujar sambil menjelaskan, mulai membuat sayatan sekitar sepuluh senti di bagian yang sudah ditandai. Terlihat lihai tanpa sedikit pun keraguan, baginya menyayat bukan hal sulit karena sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Tangan terampilnya mulai membuka bagian perut sedikit lebih lebar, sehingga lingkaran usus terlihat lebih jelas, dan memudahkan pekerjaannya. Pembedahan kali ini, berfokus pada penyakit usus buntu. Semua memperhatikan dengan tenang, sambil mencatat penjelasan yang diberikan sang dosen. Akira menatap nanar tubuh yang tergeletak di meja, memuji dalam diam keberanian sang dosen yang terlihat sangat tenang. Mengikat, lalu memotong bagian usus yang sedikit menonjol menyerupai umbai cacing. Mengangkatnya perlahan dan diletakkan di nampan. Setelah pengangkatan usus selesai, Dokter Diah mulai menutup kembali otot dan dinding perut dengan sebuah jahitan. Tusukan jarum dan gesekan benang di antara daging, cukup membuat gigi terasa ngilu. Beberapa mahasiswa terlihat meringis, tak terkecuali dengan Sekar. Gadis itu mengeratkan gigi, sampai terdengar bunyi gemeretak. Tanpa disadari, sebuah jarum tertancap di telapak tangan saat ia tak sengaja meraba meja penyimpanan alat operasi yang berada di sebelah kirinya. Pandangan Sekar mulai menggelap, kejadian beberapa tahun lalu kembali terulang hari ini. Beberapa makhluk tak kasat mata, menatapnya tajam dengan wajah menyeringai. Mereka seolah menunggu, saat di mana bisa terlihat. Sekar mulai kehilangan kontrol diri dan nyaris berteriak, jika Akira tak segera menghampiri. Gadis itu mengambil jarum yang tertancap dan membawa tubuh Sekar ke dalam pelukan. Ia tahu, sahabatnya akan melihat banyak sosok hantu saat ia terluka oleh benda tajam, karena Sekar sudah menceritakannya. Semua orang menatap aneh pada kedua gadis yang kini tengah berpelukan. Namun, tidak dengan Aditya karena ia pun tahu apa yang tengah terjadi pada Sekar. Meski sempat terjadi kegaduhan, praktik terus berjalan. Dokter Diah meminta salah satu mahasiswi menggantikan posisi Akira dan kembali meneruskan jahitan sampai akhir. Dokter Diah mengusap dahinya yang berkeringat. Meski hanya sebuah manekin, tetapi diperlukan ketelitian agar tidak terjadi kesalahan. Seandainya pembedahan tadi dilakukan pada manusia, tentu kesalahan akan menjadi pemicu hilangnya nyawa. Setelah semua proses selesai, beliau meminta beberapa mahasiswa untuk membereskan alat-alat serta ruangan. Memberi tugas pada semua, untuk mencatat dan memberi laporan dari hasil pengamatan selama praktik pembedahan. Mereka diberikan waktu satu minggu, selanjutnya akan dikirim ke rumah sakit, untuk melakukan praktik keperawatan. Akira, Sekar dan Aditya mendapat bagian di rumah sakit Ngudi Waluyo. Terletak di lereng dan merupakan rumah sakit milik dr. Diah Pitasari, SpBU.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD