Melamar pekerjaan bukanlah pekerjaan yang mudah, dua kali Sekar melamar pekerjaan. Dua kali pula ia harus menolak semua pekerjaan karena urusan pribadi.
Sekar yang tidak bisa meninggalkan sang ibu yang tengah berbaring sakit, terpaksa ia harus menolak pekerjaan yang sangat ingin ia dapatkan.
Ayundya terdiagnosa sakit kanker rahim stadium 4, menurut dokter umurnya tak akan lama lagi.
Dua bulan Sekar menganggur, setiap hari dia harus menjaga ibunya. Sementara sebagai tulang punggung adalah Brahmantyo.
Mendengar sang Ayah bekerja keras, Heni Kumalasari, putri semata wayang dengan istrinya terdahulu marah.
“Heni kapan kamu pulang, Sayang?” tanya Tio padanya.
“Yah, sudah berapa kali anak itu menyusahkanmu? Kenapa Ayah diam saja. Lihatlah sekarang Ayah hanya dimanfaatkan saja oleh Sekar,” ungkap Heni.
“Kalau kamu pulang hanya untuk untuk bertengkar, lebih baik kamu pulang saja ke rumahmu.”
“Ayah!”
Tak mendapatkan respon dari sang ayah. Heni pun menelepon Sekar dengan nada kasar. Mendengar saudara tirinya marah, Sekar hanya terdiam. Bagaimanapun juga Sekar merasa berbalas Budi karena selama ini ayahnya tak pernah membedakan antara dirinya dengan Heni.
“Bu, aku harus bagaimana?” batin Sekar.
Semalaman gadis itu tidak tidur, ia memikirkan cara bagaimana bisa bekerja sambil menjaga ibunya.
Tak banyak berharap, Sekar hanya bisa memilih salah satu. Menjaga ibunya, tapi menganggur atau sebaliknya.
Setelah mendapatkan pilihan Sekar pun menghubungi Akira untuk menanyakan lowongan pekerjaan.
“Kata Dokter Diah, kamu di suruh langsung kerja Sekar.”
Mendengar kabar baik, Sekar memberitahu Ayahnya dan meminta sang Ayah untuk berhenti kerja.
Permintaan Sekar di tolak oleh Brahmantyo. Menurut sang Ayah pekerjaannya sangatlah penting demi kelangsungan hidup mereka jika Brahmantyo sudah tak bekerja lagi.
“Bekerjalah, Sekar. Jangan memikirkan keadaan kami. Ibumu biar Ayah yang merawatnya.”
“Atau begini saja, Pak. Kalau aku mencari penjaga buat Ibu bagaimana? Nanti biar Sekar yang gaji.”
Pria itu mengangguk dan menerima kesepakatan.
***
Suasana di Rumah sakit Dokter Diah sangatlah sepi. Cuaca dingin membuat jari-jemari Sekar kaku, sulit digerakkan.
“Akira!” panggil Sekar, ia berlari kecil memeluk sahabatnya.
“Akhirnya kamu datang juga Sekar!” Akira tampak bahagia karena kini mereka bisa bersama lagi.
Rumah bunga tempat yang dulu mereka tinggali bersama Aditya, kini hanya mereka tinggali berdua.
“Sekar, Mbah Rahwuni beberapa hari lalu mencarimu. Kebetulan saat itu kamu telepon dan ia memintamu bekerja di sini.”
"Baiklah biar aku nanti yang menemui beliau." Sekar menjawab sambil merapikan pakaiannya.
Setelah merapikan kamar, Sekar berangkat menuju ruangan Dokter Diah. Setiap lorong ia mengamati satu per satu, tak ada yang berubah. Suasana pun masih sama tidak begitu ramai bahkan cenderung sepi.
“Sudah datang kamu?” tanya sang dokter.
“Alhamdulillah, Dok.”
“Akira akan bekerja di shift pagi, sementara kamu malam. Apakah kamu sanggup?” tanya Diah.
“Baiklah, Dok!”
***
Hari pertama Sekar bekerja, tak ada satu pun pasien yang datang hanya meskipun hanya untuk rawat jalan. Dingin dan sepi membuat bulu kuduk Sekar meremang.
Dari jauh tampak seorang wanita tua berdiri di depan pintu utama, ia tersenyum menatap Sekar.
“Mbah Rahwuni!”
“Akhirnya kamu datang, Nduk!” Sekar mendekat untuk menyambut Mbah Rahwuni.
"Iya, Mbah!"
“Suwun, ya, Nduk! Kamu sudah datang lagi kemari. Setidaknya kamu yang akan bisa membantu Mbah dan Dokter Diah nantinya.”
“Bantu apa?”
“Nanti kamu akan tahu sendiri. Ikutlah bersamaku!” ajak Mbah Rahwuni.
“Tapi depan kosong Mbah.”
“Gak papa Nduk. Mereka akan pencet bel nantinya.”
Menyusuri lorong rumah sakit yang hanya menggunakan lampu kuning. Sekar melangkah dengan ragu-ragu.
“Tunggu di sini, jangan ke mana-mana walaupun kamu melihat sesuatu,” pesan Mbah Rahwuni.
“Simbah Mau ke mana?” tanya Sekar.
“Aku mau bertemu Dokter Diah sebentar!”
Tak berselang lama Sekar melihat ada sosok dari dalam bangsal yang ada di hadapannya bangsal empat.
Rasa penasaran tak bisa Sekar tahan lagi, dirinya berdiri dan mendekati ruangan tersebut. Setibanya di ruangan hanya kosong tak ada satu pun penghuni di sana. Padahal Sekar melihat dengan jelas ada penampakan di sana tadi.
Sesaat kemudian, cairan hangat mulai menetes di dahi, perlahan Sekar mendongak ke atas. Jantungnya serasa berhenti berdetak, saat melihat darah menetes dari sesosok makhluk tanpa rupa yang membuat wajahnya berlumuran darah segar.
Dalam kegelapan bercahayakan rembulan, gadis itu melihat jelas sosok dengan rambut panjang bergelayut di plafon ruangan. Perlahan, sosok itu memperlihatkan wajahnya pada Sekar, wajah rusak dan busuk yang penuh dengan darah kental berwarna hitam bercampur dengan belatung hidup. Matanya melesak, hingga membuat Sekar terdiam kaku dan bergidik ketakutan.
Tiba-tiba saja ada suara teriakan dari rumah bunga yang terdengar jelas di telinga. Tanpa menunggu Mbah Rahwuni datang. Sekar berlari menuju rumah bunga.
“Akira Ada apa?”
Sekar yang refleks kaget, tapi ia masih tetap bisa tenang dan melangkah ke belakang rumah. Tatapannya tajam setajam silet, pandangannya tak henti-hentinya melihat kejadian yang ada di depan mata.
Setelah tiba di tempat kejadian, Sekar hanya terdiam ingin rasanya ia menangis, tapi ia juga ingin ketawa.
Kejadian ini baru pertama kali Sekar lihat, sebuah fenomena yang mencekam dan membahenol. Akira yang sedang asyik di belakang rumah terpeleset dan pantatnya tepat jatuh di corcoran sepitenk. Tahu apa yang terjadi? Sepitenk itu hancur berkeping-keping seperti kalian yang ditinggal pas lagi sayang-sayange.
“Hebat ... baru pertama kali melihat manusia memiliki p****t yang kokoh hingga mampu menjebol gawang sepitenk.”
“Sekar, kamu ini bukan bantu malah ketawain.”
Setelah menolong Akira, Sekar pun pamit dan berlari menuju ke bangsal empat terakhir ia berdiri menunggu mbah Rahwuni.
Sekar melangkahkan kakinya, menyusuri koridor rumah sakit. Langkahnnya terhenti, ketika melewati toilet umum di sampingnya. Gemercik air terdengar dari dalam toilet. Perlahan jemarinya menyentuh knop pintu dan pintu membuka secara perlahan.
Krieeekk!
Kosong! Tidak ada siapapun di sana. Sekar menghela nafas dan menutup kembali pintu tersebut. Alangkah terkejutnya, ketika berbalik di sana sudah ada sambutan senyum sumringah khas milik Mbah Rahwuni
"Aduh ... Mbah, bikin aku kaget saja. Untung belum aku pukul dengan senter," ucap Sekar kesal. Mbah Rahwuni hanya tersenyum dan melihat pintu toilet tersebut.
"Kenapa kamu di sini? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Simbah dengan mata tajamnya.
"Tidak. Tadi ada suara gemercik air dari arah dalam. Aku penasaran, dan kubuka. Namun, hasilnya tidak ada," jawab Sekar mengangkat bahunya. Mba Rahwuni hanya menghela nafas mendengarkan ucapan Sekar. Direngkuhnya bahu Sekar ditatapnya dengan tajam.
"Lain kali, kalau mendengar suara aneh jangan langsung dicari ya dari mana suara tersebut. Apalagi kalau suara panggilan hanya sekali. Itu, bisa saja hanya untuk mengganggumu saja," ujar Mbah Rahwuni menjelaskan. Sekar pun tersenyum dan mengangguk.
"Mbah, mau ke mana?" tanya Sekar heran, melihat Mbah tersenyum tidak seperti biasanya.
"Sudah ayo, ikuti Mbah!"