Pria tinggi kekar yang menarik kerah Markus dari belakang melayangkan tinjunya lagi ke muka Victor sehingga Victor pun tahu tenaganya tak akan sebanding dengan tenaga pria muda yang saat ini tengah menghajarnya. "Kumohon, hentikan!" rintih Victor tak berdaya karena wajahnya sudah babak belur hanya dalam beberapa saat.
Eva yang terpaku melihat pemandangan mengerikan di hadapannya hampir tak bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Ketika Eva mengenali identitas pria yang memakai setelan Armani warna abu-abu di hadapannya, gadis itu pun berseru, “Declan!”
Pria yang dipanggil namanya pun menoleh ke arah Eva dan dia menghentikan sejenak aksi brutal kepada pria paruh baya yang masih berada dalam kuasanya. “Apa yang kau lakukan di sini, Eve?”
Eva hanya bisa menatap Declan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bibirnya gemetar saat melihat tangan dan pakaian Declan yang berlumuran darah–darah Victor tentunya–bukan darah Declan sendiri.
Saat Declan hendak memukul Victor lagi, Eva berlari ke arah Declan dan memeluknya erat untuk mencegah pria itu meneruskan aksinya yang liar. “Jangan, Dec! Jangan pukuli dia lagi. Dia bisa mati.” Eva menahan tangan Declan yang masih terlalu bersemangat untuk menuntaskan keinginannya menghajar Victor. Namun, perlahan, tangan Declan yang tadinya menegang, kini mengendur dalam pelukan Eva.
Hanya saja, saat ini, mata Declan mengincar mangsanya yang lain. Mangsa yang baru saja datang untuk menjemput kesialannya. Markus. Pria tua itu tampak gemetaran kakinya memandang Declan dengan ketakutan. Siapa yang tak ngeri melihat pemandangan pria berlumuran darah dalam pelukan Eva yang sedang memegangi kerah Victor yang babak belur?
***
Hening di sebuah kamar hotel bernuansa putih dan cokelat muda. Hanya detak jarum jam yang terdengar menakutkan karena tatapan mengerikan yang terpancar dari mata biru hijau yang terang dan tajam terbakar oleh api kemarahan.
Di dalam kamar yang seharusnya dipakai oleh Declan untuknya dan teman kencannya, kini justru ada Victor, Markus, dan Eva yang seolah menghadiri sebuah sidang untuk menentukan hukuman dari sebuah perbuatan kriminal.
Venus, teman kencan Declan telah diantar pulang oleh sopir. Terpaksa Declan batal kencan malam ini. Apakah Venus baik-baik saja? Tentu tidak. Wanita bertubuh jenjang dengan rambut hitam ikal sepinggang itu tentu sangat marah karena Declan membatalkan kencannya secara sepihak. Namun, Declan tak peduli. Ada hal lain yang harus diurus saat ini.
"Jadi, mengapa kau menjual putrimu ke pria tua bangka ini?" tanya Declan dengan nada dingin. Matanya yang melotot ke arah Markus, membuat ayah tiri Eva itu merasa ketakutan.
Markus bergidik ngeri. Dia tak menyangka bahwa kebusukannya akan diketahui oleh Declan di saat yang sangat salah.
"Apa kau tak puas walaupun utangmu telah lunas?" tanya Declan lagi. “Apa kau tak ingat, siapa yang membayar hampir semua utangmu? Inikah caramu membalas budi padanya?”
"Maafkan saya ...." Jika Eva yang mengatakan perkataan yang diucapkan Declan, pasti Markus akan membantah bahwa Eva memang yang harus membayar semua itu karena sejatinya utang itu adalah untuk pengobatan mendiang sang ibu. Namun, karena kali ini Declan yang mencelanya, Markus hanya bisa meminta maaf tak berdaya, seperti tikus yang memohon ampun di saat seekor ular akan memangsanya.
Sementara itu, Eva yang masih sangat pusing dan sulit mengendalikan kewarasan hanya bisa menyimak setengah saja dari kejadian di hadapannya. Dia harus berjuang melawan keinginan yang merajai tubuhnya saat ini. Wajah Eva yang kemerahan karena menahan reaksi obat yang diberikan ayahnya, kini semakin merona. Markus menatap wajah Eva dengan cemas. Gawat kalau Declan sampai tahu apa yang telah dia perbuat ke Eva.
"Ingat! Eva adalah milikku selama tiga tahun ke depan. Kau telah menjualnya padaku!" bentak Declan kepada Markus yang ketakutan. “Tak peduli akan aku minta dia untuk melakukan apa, kau tetap tak boleh memanfaatkan Eva untuk hal lain! Apalagi menjualnya kepada orang lain!”
"Ya, Tuan ...." Markus menjawab dengan lirih dan ketakutan.
"Ingat. Aku tak suka milikku disentuh oleh siapa pun!" Declan berkata lagi sambil memandang Markus dan Victor dengan tajam. "Jangan sampai terulang lagi!"
Declan mengisyaratkan Victor dan Markus untuk pergi. Markus segera menghampiri temannya dan membantu pria yang tak berdaya itu untuk bangkit dan berjalan keluar kamar.
Eva mengikuti Markus dari belakang. Namun, Declan menarik lengan Eva, menahannya untuk tidak pergi. "Aku berubah pikiran! Eve, mulai sekarang, tinggallah bersamaku!"
Tentu saja Markus dan Eva terkejut. Namun, Eva tahu alasan Declan menyuruhnya tinggal dengannya.
"Tapi, Tuan—"
"Bila aku membiarkan Eva bersamamu, kau akan menjualnya lagi tanpa sepengetahuanku!" Declan menggebrak meja hingga asbak kristal di atasnya bergetar.
Begitulah. Markus pun terpaksa meninggalkan Eva yang memang ingin dia jual kepada Victor untuk mendapatkan sejumlah uang lagi dalam jumlah besar. Rencana jahatnya gagal. Masih untung Declan tak membawanya ke polisi.
Setelah kepergian Markus, Declan membawa Eva pulang ke penthouse. Eva pun menurut. Sejujurnya, saat ini, dia sudah kehilangan kepercayaan kepada Markus. Walaupun ayah tiri, dia tak menyangka Markus akan mengulangi perbuatannya untuk keuntungannya sendiri.
Saat menjualnya kepada Declan, Eva masih bisa memaklumi karena memang Markus berutang demi biaya pengobatan sang ibu. Namun, saat ini, yang Markus lakukan benar-benar pengkhianatan. Eva bersumpah tak akan pernah lagi memanggilnya dengan sebutan ayah.
"Kau bisa pilih kamar yang kau mau," ujar Declan sambil melepaskan jasnya dan melemparnya kasar ke sofa–meski gagal. Eva pun membungkuk untuk memungut jas hitam yang tergeletak di atas karpet bulu abu-abu yang lembut.
"Maaf, aku mengacaukan kencanmu. Kuharap Venus tak kecewa," ujar Eva sambil melipat jas Declan.
"Dia marah! Tapi sudahlah. Aku juga sudah bosan dengannya." Declan menjawab santai. Memang, Declan akan dengan mudah mencari pengganti Venus. “Kau tahu, aku akan meninggalkan wanita begitu mereka mulai bertingkah menyebalkan.”
Eva mengucapkan selamat malam ke Declan dan berpamitan ke kamar. Dia tahu, bahwa dengan kondisinya yang saat ini yang benar-benar merasa panas, tak akan baik berlama-lama dengan Declan. Eva merasa akan menyerang Declan bila dia tetap berada di sekitar pria itu. “Selamat beristirahat, Dec!”
Saat itulah Declan tanpa sengaja mengamati wajah Eva. Pria itu menyadari bahwa muka Eva merona merah tak wajar. Dia merengkuh wajah Eva dan berkata, "Apa yang Markus lakukan padamu?"
Bibir Eva bergetar. Gadis itu menggeleng lemah. “Ti–tidak ada!” jawab Eva terbata-bata.
Tentu saja! Dia tak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Eva tak ingin hubungannya dengan Declan rusak karena hal yang tak perlu. Semua yang dia dapatkan sudah sangat sempurna saat ini. Bagaimana kalau Declan memberinya ‘pertolongan pertama’? Pasti hubungan mereka akan canggung setelahnya.
“Tidak ada? Tapi mengapa kau tampak sangat ingin disentuh dan menyentuh?” sanggah Declan dengan suara bisikan parau.
Pandangan keduanya saling mengunci. Declan memang sangat ingin memanfaatkan situasi saat ini. Apalagi malam ini dia batal kencan. Bukankah wajar bila dia menghabiskan malamnya bersama Eva sebagai kompensasi?
Declan menatap kulit pucat Eva yang tanpa cela. Melihat gaun yang dipakai Eva saat ini, dia teringat kembali pertemuan pertamanya dengan Eva. Declan merasakan sedikit penyesalan karena batal menyentuh Eva malam itu. Seharusnya, dia tak peduli. Seharusnya, dia bisa menjadikan Eva miliknya yang luar biasa dengan mengajarkan berbagai berbagai cara untuk menyenangkan lelaki pada gadis polos itu.
Tanpa disadari, wajah maskulin Declan mendekat ke muka Eva yang mulus bagai porselen. Sangat dekat. Terlalu dekat. Eva bisa mencium bau parfum Declan yang ternyata telah menjadi candu bagi indra penciumannya.
Napas keduanya yang panas pun memburu. Eva dan Declan tahu bahwa mereka tak akan bisa berhenti bila mereka berdua memutuskan untuk meneruskannya.
“Declan?” bisik Eva pelan.
Declan tahu, kali ini Eva tak akan menolaknya. Namun, melakukannya akan membuatnya tak berbeda dari Victor. Karena itulah, Declan memutuskan untuk menahan keinginan primalnya.
"Mandilah air dingin!" Declan melepaskan tangannya dari Eva. Eva pun mengangguk dan menutup kamar.
Declan lalu segera menelepon kekasihnya yang lain agar bisa melewati malam ini dengan tenang tanpa terbayang-bayang oleh Eva. Eva yang tampak sangat menggoda malam ini. Eva yang membangkitkan keinginannya.
"Bella, apakah kau sedang luang?" tanya Declan dengan wajah yang menyimpan hasrat tak tersalurkan.
"Tentu saja, Declan! Aku akan selalu meluangkan waktu untukmu!" sahut suara wanita yang manja di ujung telepon. "Apa kau ingin aku datang ke rumahmu?"
"Sopirku akan menjemputmu! Bersiaplah! Kita bertemu di Glory seperti biasa."
Declan kemudian bersiap lagi untuk keluar. Saat melewati kamar Eva, dia berhenti sejenak untuk berpamitan. Namun, saat tangannya hendak menyentuh pintu kamar Eva, Declan tak sengaja melihat penampilan polos gadis itu melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Hati Declan berdesir dibuatnya.
'Sepertinya, aku harus menjauh sebelum semuanya menjadi kacau!' gumam Declan dalam hati kemudian berlalu dari kamar Eva. Dia tak mengerti, mengapa gadis polos seperti Eva bisa mengganggu pikirannya. Apakah keputusannya untuk membawa Eva pulang ke penthouse adalah keputusan yang tepat?