“Ini kumpulan bahan untuk rapat besok pagi. Semua sudah saya aku siapkan di sini. Mungkin kau mau mereview sebelum pulang?” tanya Eva sambil menyodorkan map tebal berisi semua file yang diminta Declan. “Aku takut ada yang kurang.”
Declan mereview sekilas pekerjaan Eva. Entah mengapa, dia sangat percaya diri dengan kemampuan Eva. Pria itu bahkan berani untuk tidak memeriksa pekerjaan asistennya karena dia tak pernah menemukan kesalahan yang diperbuat selama satu bulan bekerja tanpa pendampingan lagi dari Alana.
“Tidak ada masalah. Kau boleh pulang sekarang,” ujar Declan seraya meletakkan map tersebut di mejanya.
Walaupun diperbolehkan pulang, Eva tak langsung pulang. Gadis rajin itu merapikan dulu mejanya dan meletakkan semua map kembali pada tempatnya agar tak menyusahkan saat dia membutuhkan map-map itu lagi besok pagi.
Setelah membereskan mejanya yang kini tampak bersih dan sangat rapi, Eva segera berkemas pulang. Masih ada waktu satu jam sebelum waktu makan malam. Eva harus memasak untuk Markus.
Akhir-akhir ini, raut muka Markus tampak lebih bahagia karena tidak perlu lagi memikirkan tentang utang. Ayah tirinya itu mengatakan terima kasih berkali-kali atas kesuksesan Eva memenangkan hati Declan.
'Kejadiannya memang berbeda dari yang kita harapkan. Namun, aku sangat senang utang kita akan lunas,' ujar Markus saat Eva pertama kali menjelaskan perjanjiannya dengan Declan.
Sesampainya di rumah, Eva mendapati Markus duduk di ruang tengah sambil membaca tabloid. Pria itu telah menunggunya pulang.
"Apa kau harus pulang selarut ini setiap hari?" tanya Markus agak tak senang hati. Eva terkejut melihat sikap ayahnya yang mendadak perhatian.
"Aku kira Ayah tak masalah kalaupun aku tak pulang selama tiga tahun asalkan utang Ayah lunas." Sindiran Eva sangat mengena di hati Markus. Anak manis bernama Eva yang selalu bertutur kata sopan padanya, kini telah berubah sejak Markus pernah berencana menjualnya kepada Declan.
Peristiwa malam itu memang membuat wibawa Markus hilang di hadapan Eva, tak tersisa sedikit pun. Markus seperti seorang ayah yang tak bisa memilihkan jalan terhormat untuk anaknya. Walaupun tujuannya untuk melunasi utang pengobatan mendiang ibunya, apakah pantas seorang ayah menjual anaknya?
Bagi Eva, sekalipun dia anak tiri, dia tetap harus diperlakukan dengan baik karena selama ini dia juga memperlakukan Markus dengan baik. Cintanya kepada Markus tentu tak akan sama besar dengan cintanya kepada ayah kandungnya. Namun, perlakuan yang baik, hormat, dan adil tetap saja harus dia berikan kepada Markus, bukan? Karena alasan itu jugalah, Eva tetap memanggil Markus dengan sebutan ayah walaupun gadis itu sangat benci padanya.
“Tunggulah sebentar, aku akan memasak makan malam untuk Ayah,” kata Eva setelah melepas stocking dan membuka pakaian kerjanya, menggantinya dengan kaus lengan pendek dan celana yoga. “Aku tak akan lama.”
“Tak perlu memasak. Aku ingin mengajakmu makan di luar malam ini karena seorang teman mengundangku makan malam. Aku boleh membawa keluarga. Kau mau menemaniku, ‘kan?” pinta Markus memohon.
“Aku lelah sekali, Ayah!” Eva keberatan dan kemudian memutuskan untuk memasak ramen instan saja karena ayahnya tak makan di rumah.
"Ayolah! Sudah lama kamu tidak makan di luar, bukan?" bujuk Markus agar Eva berubah pikiran. "Lagi pula, besok hari Sabtu."
Eva yang lama kelamaan tak enak menolak ajakan ayahnya, akhirnya memutuskan untuk segera bersiap-siap. Dia mandi sebentar untuk menyegarkan badan kemudian berdandan ringan dan memakai lagi satu-satunya gaun yang dia miliki, mini dress warna merah marun. Mereka pun berangkat ke restoran mewah yang berlokasi di Hotel Victory.
Eva merasa tak enak karena hari itu Declan dan teman kencannya yang bernama Venus akan bermalam di tempat yang sama. Dalam hati, dia berdoa agar tak bertemu dengan atasannya saat berpenampilan seperti sekarang ini. Bagaimanapun juga, memakai skimpy dress warna merah ini mengingatkan Eva akan pertemuan pertama dengan Declan yang tak menyenangkan.
Teman Markus telah menunggu di meja yang berada di sudut restoran. Pria kekar berambut gelap itu melambaikan tangan ke arah Markus untuk menunjukkan posisinya. Markus lalu memperkenalkan Eva pada pria paruh baya yang berpenampilan mewah. “Victor, kenalkan ini putriku, Eva. Eva, ini kawanku, Victor.”
“Eva.”
“Victor.”
Eva dan Victor berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri dengan formal. Victor ini ternyata seorang pemilik salah satu gerai bakery terkenal yang Eva sukai.
“Apa Anda juga yang membuat resepnya?” tanya Eva antusias. “Aku sangat suka rasa financier Aurora Bakery. Rasanya seperti buatan mendiang Ibuku.”
Victor dan Eva tampak sangat akrab. Hal itu membuat Markus sangat senang. Pria itu pun sesekali menyahut dan memuji kue dan makanan yang dibuat oleh mendiang istrinya. Tentu saja mulut manis Markus membuat hati Eva melunak. Gadis itu teringat kembali akan kebaikan Markus di masa lalu serta perhatiannya untuk sang ibu ketika beliau mulai sakit.
Ketiganya lalu makan dan minum dengan santai. Kemudian Markus teringat sesuatu. "Eva, minumlah ini agar kau tak lelah karena sudah bekerja seharian!" Markus menyodorkan minuman kesehatan kepada Eva.
Lambat laun, Eva merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Sesuatu yang tidak pernah Eva rasakan sebelumnya. Badannya terasa menghangat, kemudian memanas. "Apakah Ayah yakin telah memberiku minuman kesehatan?"
"Tentu saja! Apa kamu merasa berenergi?" Mata Markus menyipit penuh arti ke arah temannya, lalu memandang Eva lagi. "Kau baik-baik saja, Eva?"
Eva hanya menggeleng. Lalu Markus berkata kepada temannya, "Victor, bisakah aku meminta tolong untuk memesan kamar dan mengantar putriku ke sana? Kukira dia butuh istirahat."
Eva hendak menolak. Namun, kondisinya semakin buruk. Tubuhnya terasa panas. Victor tak menunggu lebih lama lagi. Dia segera memapah Eva untuk turun dan berjalan ke kamar yang sudah dia pesan.
Dalam perjalanan ke kamar, barulah Eva tahu bahwa Victor ternyata bukan pria baik. Eva merasa pria tersebut melakukan hal yang tak pantas padanya. Pria itu bahkan menyentuh daerah-daerah terlarang yang seharusnya tak dia sentuh. Namun, anehnya, tubuh Eva seperti menerima dan bahkan mengharapkan hal itu.
‘Ini aneh sekali! Mengapa tubuhku bereaksi berbeda dari keinginanku?’ batin Eva dalam hati. Pikiran gadis itu mulai berkabut. Dia sudah tak bisa mengendalikan diri dengan baik.
Saat itulah, tangan Victor yang tak sabar mulai bergerilya lagi. Aksinya semakin menjadi-jadi dan membuat Eva semakin ingin menjerit. Walaupun tubuhnya seolah menerima perlakuan Victor, Eva tak menyerah begitu saja. Dia berusaha melawan keinginannya yang tak wajar dan menolak Victor.
"Victor, aku baik-baik saja. Ayo kita kembali ke tempat Ayahku!" protes Eva dengan keras.
"Tidak, Eva! Kau menginginkan sesuatu. Aku akan memenuhinya di kamar nanti, Sayang!" bisik Victor di telinga Eva.
Saat itulah Eva sadar bahwa minumannya telah diberi obat. "Siàl! Kamu menjebakku!"
Victor tertawa terbahak-bahak. Matanya menyipit karena merasa pernyataan Eva sangat lucu. "Ayahmu yang melakukannya, Manis! Bukan aku! Dia yang menjualmu padaku."
Hati Eva mencelos. Dia mengutuk Markus dengan umpatan paling kasar yang pernah keluar dari mulutnya. Gadis itu tak percaya Markus melakukan hal ini lagi padanya.
Saat mereka akan tiba di kamar, Eva menggunakan semua sisa kesadarannya dan menggigit lengan Victor. Gadis itu berusaha melarikan diri dari cengkeraman Victor. Sayang sekali, Victor berhasil menangkapnya lagi dan menyeret tangan Eva kembali ke kamar.
"Tolong! Tolo—"
Victor membungkam mulut Eva hingga gadis itu hanya bisa meronta nyaris tanpa suara. Kepala Eva menggeleng kuat berusaha melepaskan diri dari bekapan Victor. Kakinya menendang-nendang, berusaha mengenai badan Victor walaupun tak berhasil.
“Menurut sajalah, Anak Manis! Aku akan membuatmu senang malam ini.” Victor tertawa penuh kemenangan. Dia senang karena akan segera mendapatkan yang dia inginkan malam ini. Bayangan untuk bisa memetik bunga milik seorang gadis yang masih perawan membuatnya semakin bersemangat walaupun Eva meronta-ronta.
Eva sudah merasa hampir menyerah karena tak ada lagi energi yang tersisa. Namun, tanpa diduga, tiba-tiba ada seseorang menarik kerah Victor dari belakang dan melayangkan kepalan tangan dengan cepat ke perutnya.
“Dasar pria tua kurang ajar!”
Bugh!