“Wow, pengantin yang sangat cantik!” puji Francesca saat melihat penampilan Eva yang memukau dalam balutan gaun pengantin satin warna putih tulang berpotongan A-line. Potongan leher bentuk V yang cukup rendah sampai mendekati pusar menampakkan kecantikan kulit pucat Eva di bagian depan.
Eva menggenggam bagian atas gaun pengantinnya dan merasakan taburan kristal swarovski di bahan lace yang melapisi bagian luar gaunnya. Lengannya yang berbalut lace tipis transparan bermotif bunga tampak sedikit gemetar. “Entah mengapa, baru kali ini aku menyesali warna kulit yang kupunyai. Sepertinya akan lebih cantik bila yang memakai gaun ini berkulit sawo matang.”
Eva memang tak biasanya merasa tak percaya diri akan penampilan. Namun, apa boleh buat. Dia tak pernah berkencan, dan sekali ada yang menyatakan cinta padanya, pria itu langsung melamarnya.
“Kau paling cantik kalau tak memakai apa pun,” bisik Declan tiba-tiba yang entah kapan datang ke kamar ganti. Francesca sengaja memanggil Declan untuk menenangkan Eva yang dari tadi tak berhenti mencela kekurangannya. “Apa kau ingin kita melangsungkan perkawinan berdua saja denganku di kamar hotel?”
Mata Eva membulat mendengar penuturan yang m***m dari Declan yang mendadak muncul. “Dec–lan!” Eva lebih terkejut lagi saat matanya menatap Francesca dan Jacob yang tertawa terkikik di dekat pintu kamar. “Kau tak seharusnya di sini, bukan? dan … apa maksudnya pernikahan berdua saja di kamar?”
“Ralat. Perkawinan. Bukan pernikahan!” Declan menangkup pipi Eva yang merona merah dengan tatapan nakal.
“Ide konyol—”
“Kita bisa melompati upacara bila itu membuatmu tak nyaman, Eve!” jelas Declan. “Kau dan aku akan langsung berbulan madu dan sertifikat pernikahan akan tetap dibuat untuk kita.” Declan menambahkan kata terakhir dengan senyuman serta kecupan lembut di bibir Eva yang langsung mengundang rengekan protes karena takut merusak riasan.
“Oh sekali lagi kau menghalangiku menciummu karena takut riasanmu rusak aku akan mengunci kita berdua selama tiga hari di dalam kamar ini.” Declan mengancam dengan wajah serius dan langsung membuat Eva ketakutan. Bukan karena takut berdua dengan Declan. Namun, dia takut akan apa yang ditulis wartawan di media selama tiga hari tersebut. Bualan apa yang akan mereka gelontorkan ke publik? Mereka pasti akan membuat orang-orang percaya bahwa Declan Sawyer dan istrinya adalah pasangan hyper.
“Oh, tidak! Ini tidak boleh terjadi,” gerutu Eva sambil menggelengkan kepala dengan mata terpejam.
Declan semakin gemas dan akhirnya menyeret pengantin wanitanya keluar kamar. “Sudahlah! Ayo kita akhiri semua omong kosong ini dengan cepat!”
Upacara pernikahan berlangsung dengan khidmat walaupun tak ada orang tua yang hadir di sisi pengantin pria maupun pengantin wanita. Eva tak menginginkan Markus menampakkan batang hidungnya. Jadi, dia memilih untuk berjalan sendiri menyusuri aisle.
Francesca yang sedang mengandung tiga bulan terpaksa menjadi head bridesmaid karena Rebecca berhalangan hadir karena ibunya sedang sakit. Kini, wajahnya tampak agak pucat dan kelelahan. Hal ini membuat Jacob berpamitan lebih awal agar Francesca bisa beristirahat.
Selain masalah Francesca tak ada hambatan yang berarti. Pesta setelahnya berlangsung tanpa masalah. Hanya saja, masalah besar bagi Declan muncul di malam hari karena ternyata Eva datang bulan dan mengacaukan semua rencana indah Declan.
“Oh, Eve! Mengapa kau tak memperhitungkan hal ini saat menentukan tanggal pernikahan kita?” protes Declan frustrasi. Pria itu mengacak-acak rambut dengan kedua tangan seolah masalah yang dia hadapi saat ini adalah masalah yang paling besar yang dihadapi manusia di bumi.
Eva meminta maaf sambil tertawa. “Dec, aku janji akan menebus semuanya saat kita berbulan madu nanti. Okay?”
***
Kabar pernikahan Declan dan Eva sangat mengejutkan publik. Sebagian ada yang mendukung dan mendoakan, sebagian lagi mencibir.
Termasuk seorang wartawan infotainment bernama Grace yang sangat tak percaya dengan perubahan Declan. Dia pun menanyakan hal ini kepada para mantan kekasih Declan.
"Ini bohong! Aku yakin Declan sedang bercanda."
"Dia tak mengatakan apa pun padaku. Hanya menghilang dan menikah begitu saja. Apa ini masuk akal?"
"Aku tidak peduli!"
"Biasanya dia akan terlihat berganti teman kencan sepekan sekali. Namun, akhir-akhir ini aku tak melihatnya seperti itu di media. Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk bersama."
"Mungkin dia wanita bodoh yang ditipu Declan."
"Pasti dia gold digger yang mengancam Declan dengan berpura-pura hamil!"
Begitulah. Tanggapan mantan kekasih Declan pun beraneka ragam. Sedikit yang mendukung–dalam arti positif, sedikit yang tak peduli, banyak dari mereka yang tak percaya, dan lebih banyak lagi yang menghujat.
Grace, sebagai seorang wartawan yang seharusnya tak memihak, perasaannya justru condong ke arah yang mencibir. Dia ingin membongkar rahasia di balik skandal besar ini. Karena itulah, dia memiliki rencana sendiri untuk beberapa bulan ke depan.
Sementara itu, sepasang suami-istri yang sedang digunjingkan oleh dunia luar memutuskan untuk tidak peduli apa pun yang mereka bicarakan. Bagi keduanya, bulan madu mereka di Maldives jauh lebih penting dari gosip murahan yang tak akan mengangkat maupun menurunkan derajat mereka. Orang terkenal memang tak akan bisa lepas dari gosip. Itu hal yang sudah mereka siapkan sejak awal.
"Baby ...."
"Declan ...."
Bulan madu yang indah mereka lewatkan bersama. Tempat tidur berseprei putih menjadi saksi betapa keduanya sangat menikmati hari-hari mereka. Keduanya tahu, saat liburan berakhir, mereka akan sibuk lagi dengan aktivitas rutin dan pekerjaan kantor lagi.
Sepasang kekasih itu kini terbaring dan bertautan di atas jaring kuat yang terbentang di atas pantai yang berair jernih. Kulit Eva yang tadinya pucat, kini tampak lebih eksotis karena terpapar sempurna oleh sinar mentari. Pemandangan yang sangat indah bagi Declan karena baginya, Eva kini semakin terlihat menggoda.
"Robert mengatakan padaku bahwa saat kita pulang nanti akan ada kabar yang tak menyenangkan. Terutama tentangmu." Declan mengecup lembut kening dan bibir wanita di hadapannya sambil menatap dengan penuh rasa sayang. Sang dewi pujaan hati tentu sangat senang dimanjakan seperti itu walaupun hal yang sedang dibicarakan sangat tidak menyenangkan untuk dia dengar.
"Sayang, bukankah kita sepakat untuk tidak mempedulikan hal itu?" protes Eva lemah karena sentuhan-sentuhan lembut yang dilakukan jemari Declan.
"Tentu saja. Namun, aku khawatir kau akan terkejut nanti." Declan tahu, dia sedang membicarakan hal yang penting. Seharusnya dia diam dulu. Namun, tangannya tetap tak bisa berhenti untuk tidak meneruskan aksi agresifnya.
"Sudahlah, Dec! Tahukah kau, dulu aku adalah bagian dari pa–ra tukang gosip it–tu." Eva memejamkan mata sambil merespons santai kekhawatiran Declan. Yang dirasakan oleh raganya saat ini tampak jauh lebih penting daripada hal yang Declan diskusikan. "Ang–gap saja ini hukuman karena aku dulu pernah berkata buruk tentang kam–mu."
"Berkata buruk? Tentangku?" Declan tiba-tiba saja menghentikan aktivitas tangannya yang disambut dengan suara protes dari bibir mungil Eva. "Katakan sejujurnya kalau kau ingin aku melanjutkan ini!"
Eva yang sangat kecewa karena ancaman Declan pun mengerutkan kening. Tanpa bermaksud menggoda, dia menggigiti bibirnya yang kini jadi tampak semakin sensual. "Aku .... Aku mengatakan bahwa wanita yang menjadi kekasihmu sungguh tidak beruntung."
"Apa? Tidak beruntung?"
Wajah Declan berubah menjadi marah dan gemas sekaligus. Marah karena tak menyangka bahwa Eva berpendapat seburuk itu tentangnya. Gemas karena kelakuan Eva yang takut-takut saat ini.
"Sepertinya aku harus menghukummu agar kau tahu betapa tidak beruntungnya wanita yang mendapatkan cintaku," ujar Declan geram, berpura-pura sangat marah.
Setelahnya, hanya jeritan bercampur tawa yang terdengar dari posisi lintang dan bujur tempat Eva dan Declan berada. Kesunyian yang beradu dengan suara napas yang beradu setelahnya membuat siapa pun akan merasa sangat iri dibuatnya. Pemandangan yang sangat indah kini berpadu dengan panasnya api asmara yang membakar kedua insan yang sedang dimabuk kasih.
Langit pun merona menyaksikan aksi sepasang pengantin baru yang kini sudah tak ingat lagi mereka sedang berpijak di tanah atau melayang di atas awan. Matahari yang seolah malu, perlahan bersembunyi, meminta bulan untuk menggantikan tugasnya. Sang bulan pasti sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini, bukan?
Sayangnya, sebelum sang surya sempat menghilang sempurna, dia terpaksa mendengarkan jeritan luar biasa dari sepasang kekasih yang sedang berada di puncak nirwana. Dalam benak, mungkin dia bertanya. Apakah cinta memang membuat anak Adam melupakan segalanya?
***
Keesokan harinya, Declan dan Eva pergi berkeliling pulau. Mereka berencana mengunjungi beberapa restoran demi mencicipi beraneka ragam makanan yang dirasa cukup asing di lidah mereka.
"Makanan apa ini? Pedas sekali!" seru Declan saat dia mengunyah rempah di nasi biryani yang mereka pesan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pria itu langsung meneguk semua isi botol air mineral dingin yang ada di sampingnya. "Aaarrggh! Masih pedas!"
Eva yang masih tertawa geli, menyodorkan botolnya yang masih penuh kepada Declan. "Ayo, cepat minum! Kau sendiri yang memesan menu tradisional yang otentik. Jangan protes begitu."
"Aku tak tahu kalau nasinya akan berisi begitu banyak lada utuh," protes Declan lagi. "Aku pernah makan di restoran Hello India, tapi rasanya tidak begini. Ini sangat pedas! Tidak mungkin dimakan, Eve!"
Eva yang seharusnya merasa kasihan kepada suaminya, sekarang justru semakin merasa bahwa pasangannya itu sangat lucu, seperti anak-anak. Wanita yang kulitnya kini tampak sawo matang karena terbakar matahari pun berujar, "Hello India disesuaikan dengan selera orang Amerika. Mereka bahkan memakai rempah yang sangat sedikit macamnya. Tidak selengkap ini, Dec!"
Declan meneguk sisa air yang diberikan Eva sampai habis. Matanya memerah dan berair. Keringatnya bercucuran karena makanan pedas yang dia makan.
"Ah, makanan ini bisa membunuh manusia," omelnya seraya menjilati bibir yang meradang kepedasan. "Aku tak bisa makan ini. Aku menyerah."
Eva tertawa, semakin keras. "Okay, baiklah! Kalau begitu, kali ini aku yang menang, ya! Jadi, aku yang akan menentukan hukuman untuk kamu."
Eva kemudian memencet bel yang ada di meja untuk memanggil pelayan restoran lagi. Dia kemudian memesan makanan penutup untuk mengobati kekecewaan mulut Declan.
"Puding nasi dengan kacang-kacangan, tanpa rempah. Kemudian es krim vanilla mangga ... hmmm ...," ujar Eva seraya memeriksa daftar makanan penutup yang menarik perhatiannya. "Oh, ya! Tambah puding karamel dan cokelat dengan topping buah tropis segar ... dan dua gelas jus buah markisa."
Eva tersenyum kepada pelayan wanita yang sabar mencatat pesanannya seraya menutup daftar menu. Dia mengucapkan terima kasih setelah pelayan wanita tersebut membacakan ulang pesanannya.
"Kamu tak memesan makanan yang aneh lagi, bukan?" tanya Declan masih agak kesal walaupun pedas di mulutnya sudah cukup berkurang. "Cepat tentukanlah hukumannya. Apa pun yang kamu mau akan aku lakukan asalkan kamu tak memintaku memakan cabe utuh."
Eva tergelak lagi saat mendengar kata-kata pasrah Declan. "Tentu saja tidak, Dec! Aku memesan makanan yang pasti akan kamu sukai."
"Lalu hukumannya apa?" tanya Declan yang tampak sedikit lega.
"Hukumannya adalah ... hmm ... bagaimana kalau kau tak boleh menyentuh aku malam ini?" tanya Eva seraya memamerkan senyumnya isengnya.
"Astaga! Nooo! Hukum aku dengan yang lain saja!" pekik Declan geram. "Baiklah! Akan kuhabiskan nasi berempah yang pedas ini. Dua porsi pun aku rela asalkan kita tetap melakukannya malam ini!"
Eva menggeleng geli. Dia tak mengira, Declan dan dirinya yang dulu seperti tak mungkin bersatu, kini telah menyatu dalam ikatan suci.