Wajah Sembap Yang Disembunyikan

2999 Words
Terlambat lagi. Ya kalau tidak terlambat namanya memang bukan Nathan. Cowok itu hobi sekali membuat masalah pagi-pagi begini dengan Bu Ona yang kebetulan menjadi guru piket. Perempuan yang bibirnya motong dan rambutnya mengembang sebahu itu sudah berteriak saat melihat kemunculan Nathan di atas pagar. Bahkan menunjuk-nunjuknya dengan penggaris kayu besar yang sedang ia pegang. Kalau itu melayang ke betis Nathan? Sudah pasti akan memerah dalam sekejab saja. Penggaris itu sudah memakan banyak korban. Seharusnya Nathan tidak perlu mencari perkara kali ini. Tapi namanya juga Nathan. Tak membuat guru marah sehari saja rasanya tak afdol. Sudah seperti semacam ibadah ya? "Bu, Ibu harusnya senang melihat saya bisa masuk sekolah," ucapnya dengan sembrono sembari bersiul-siul. Saat ia melihat Bu Ona membalik badan untuk mengambil sapu, ia terburu-buru melompat turun lalu berlari sambil tertawa-tawa. Gurunya sudah kembali berteriak. Ia yang tak melihat ke depan akhirnya terduduk karena menabrak perut besar milik Pak Anggi. Wajahnya yang hitam pekat itu tampak marah. Karena fisiknya, anak-anak menjulukinya sebagai bosnya orangutan. Ya karena mirip perawakannya dengan jenis spesies kera yang satu itu. Hahaha. Yeah ini hinaan fisik sih. Tapi Nathan hanya menggabungkan semua pendapat dan berbagai omongan teman-temannya. Ucapan mereka memang ada benarnya karena semua memang terlihat dengan jelas. Memang benar-benar tampak seperti? Orang-utan. Ssstt! Ia mengaduh-aduh saat dibawa menuju tiang bendera. Bu Ona yang menjewernya. Senang sekali karena berhasil menangkapnya yang tak bisa kabur dari tubuh besar milik Pak Anggi. "Kamu ini, pagi-pagi sudah cari masalah dengan saya!" Nathan tak sanggup membalasnya karena jewerannya benar-benar terasa sakit sekali. Sehingga hanya bisa menjerit. Apes sekali nasibnya pagi ini. Bisa kabur dari satu guru tapi malah tertangkap oleh guru yang lain. Ia tiba di dekat tiang bendera dan malah dihukum. Disuruh berdiri di sana sampai satu jam mata pelajaran selesai. Mana matahari terasa begitu terik pula. Namun tak punya pilihan lain bukan? Tak masalah. Nathan selalu punya banyak akal. Hahaha. Alih-alih malu atau bahkan takut dengan hukuman semacam ini, ia makan sibuk bersiul ketika banyak perempuan lewat di sekitarnya. Mau yang seangkatan hingga yang lebih tua, semuanya disiuli. Hal yang tentu saja membuat heboh. Yang namanya Nathan memang tak peduli apapun. Tak merasa malu pula. Apalagi saat guru paling cantik melintasi lapangan dan tentu saja lewat tak jauh darinya. Ia memanggil guru itu lalu berjoget-joget ria menggodanya. Hal yang tentu saja membuat riuh seisi kelas yang ada di sekitarnya. Beberapa guru sudah geleng-geleng kepala. Sudah hapal dengan kelakuannya yang memang tak kenal malu. "Gila kamu, Nath!" Ia hanya terkekeh saja begitu duduk di kelas. Satu jam berdiri di sana tak akan membuatnya hitam. Justru sehat dan semakin bersemangat meski penuh keringat. Hahaha. Tak lupa ia mengangkat ketiaknya pada beberapa perempuan yang langsung mengeluh. Nathan memang gila. Teman-temannya yang duduk di barisan belakang sudah terbahak dibuatnya. "Katanya suka kalau lihat saya keringetan main bola di lapangan. Lah ini kok berkeringat pada gak suka?" Ia malah menggoda. Teman-temannya makin riuh. Tapi lebih riuh lagi saat guru Biologi mereka memergoki kelakuannya. Ia dijewer habis dan kembali disuruh berdiri di depan kelas. Alasannya? "Mana tugasmu? Tak mengumpulkan bukan?" Ia nyengir. Ia bahkan tak ingat ada tugas. Aaah jangan kan tugas ya. Apa yang akan dipelajari hari ini pun ia tak ingat. Hahaha. Masuk pelajaran Matematika pun ia bernasib sama. Kembali berdiri dan ia sempat protes. Tapi protesnya tetap saja kalah dengan argumen sekarang. Apapun yang ia lakukan memang salah. Tapi herannya, mulutnya tak pernah berhenti untuk membela diri. Ada saja argumen yang ia kemukakam untuk menutupi semua hal itu. Tapi tentu saja percuma bukan? "Kalau pun duduk, kamu itu ndak akan belajar. Jadi apa bedanya dengan berdiri?" Teman-temannya tergelak. Ia mendengus. Berhubung sang guru sedang hamil, ia tak mau membuat onar. Nanti kalau calon bayinya kaget bagaimana? Bisa ada unsur pidana dan berbuntut panjang. Ia tak mau masuk ke dalam masalah hukum yang berat. Cukup sering ditangkap ketika dirazia di warnet saja. Iya kan? Masuk kantor polisi sudah sering. Ia bahkan pernah menginap di penjara selama satu malam. Yeah, hanya satu malam. Itu gara-gara keasyikan nongkrong di warnet bersama teman-temannya. Ia heran kala itu. Kenapa para polisi rajin sekali melakukan razia? Hanya membaut-buang materai saja karena harus mendatangi surat perjanjian agar tak mengulang kejadian yang sama. Toh besok-besoknya pasti diulangi lagi. Tapi Nathan pernah bertengkar dengan polisi beberapa waktu lalu. Itu gara-gara ia tak diterima ditangkap. Ia ditangkap ketika sedang mengemudikan motornya di lampu merah. Lalu apa salahnya? Hanya salah paham. Ia dikira bolos dari sekolah padahal waktu itu ada rapat guru. Ia biasanya akan berangkat nongkrong. Tapi berhubung bosan dan lebih senang menganggu eyangnya di rumah, ya ia memilih pulang. Eeh di jalan malah dihadang polisi dan dibawa ke kantor polisi. Mereka menudingnya tak sopan. Padahal polisi itu yang lebih dulu menudingnya bolos. Ia hanya membela diri. Di mana salahnya dengan itu? Lelah juga karena disuruh berdiri selama tiga jam pelajaran. Ketika tiba jam istirahat ia memilih nongkrong di kantin. Menikmati waktu dan ia sudah berencana tak akan masuk kelas lagi setelah ini. Bodo amat lah. Toh sama saja. Ia malas kalau hanya berdiri seperti patung di depan kelas. Bahkan tak dianggap sama sekali keberadaannya. Lebih baik ia menyingkir ke belakang mushola dan tiduran di atas kursi panjang. Menikmati angin segar siang hari di sana karena ada pohon rindang juga. Meski tempatnya agak-agak sepi dan memang jarang dilintasi para guru maupun murid di sekolah ini. Ia mengingat masa-masa di sekolahnya selama beberapa minggu ini. Tak ada yang betul-betul menyenangkan. Rasanya sangat membosankan. Pacar? Sudah ia putuskan. Hahaha. Ia malas saja kalau hanya dijadikan ojek untuk menjemput dan mengantar ke sekolah. Ayahnya membelikannya motor bukan untuk dimanfaatkan orang lain. Oke, mungkin ia terlalu kasar juga akalu menganggap para perempuan seperti itu. Namun itu lah yang tergambar di dalam benaknya. Lalu ada perempuan lagi yang sedang mendekatinya sekarang. Tapi terlalu membosankan. Baginya, gadis itu tak menarik. Namun anehnya masih ia ladeni ya? Ya kurang-lebih memang begitu. Meski sebetulnya yang lebih banyak meladeninitu bukan Nathan. Buktinya, ponselnya sekarang berada di tangan Bayu. Ia yang menyuruh Bayu untuk membalas pesan dari perempuan bernama Alinda itu. Ia memejamkan mata. Hatinya terasa hampa sekali. Di sekolah ini tak ada satu perempuan pun yang menarik hatinya. Ia tak tahu kenapa. Apa mungkin hatinya sudah bosan atau menghampa? "Tumben." Yang lain juga tertawa. Biasanya Nathan tak pernah menutup antrian perempuan terhadapnya. Tapi akhir-akhir ini ia justru sering melakukannya. Bukan kah itu sesuatu yang sangat aneh? Karena tak tampak seperti Nathan yang biasanya. @@@ Berkat pertemuan tak sengaja di perpustakaan itu, memang ada benih lain yang timbul. Awalnya bisa dibilang terpesona. Karena lelaki bertipe Raga ini memang menarik hati Azzura. Ia akhirnya ikut mendaftar keanggotaan OSIS. Jujur saja, ia memang punya rencana untuk bergabung sejak awal tanpa harus diajak langsung oleh sang ketua OSIS-nya. Karena bisa dekat dengan Raga itu adalah sesuatu yang bisa disebut bonus? Mungkin seperti itu. "Katanya mantannya cewek berprestasi se-DKI tahun kemarin, Zura. Katanya loh ya. Sekarang cewek itu pertukaran pelajar di Turki selama setahun. Katanya begitu. Tapi kan gak tahu." Ria langsung membawa banyak informasi segar karena melihat teman sebangkunya ini tampak beruntung karena didekati oleh orang nomor satu di antara mereka yang menjabat sebagai ketua OSIS. Azzura sebetulnya bukan orang yang kepo. Apalagi untuk hal-hal berkaitan dengan cowok. Jujur saja, niatnya datang ke sini bukan untuk berpacaran atau mencari cinta melainkan murni mencari ilmu kan? Jadi ia tak terlalu ge-er ketika banyak dari teman-temannya justru heboh dengan kabar kedekatannya dengan Raga. Ia tertarik sih. Tapi benar-benar tak mau memikirkan hal itu. Toh tahap perhatian Raga padanya masih sesuatu yang menurutnya sangat wajar. Karena lelaki itu memang tampaknya perhatian sama semua orang terutama par aanggota OSIS. Pada adik kelas juga begitu. Jadi tak seharusnya ambil pusing atau berpikir lebih. Zura yakin kalau itu adalah sikap biasa. Tak mungkin juga ia akan bersikap galak pada adik kelas bukan? "Yang penting kalo sama Kak Raga, aman sih, Zura." Ia hanya geleng-geleng kepala. Ria, Ana, dan Ani khusus ikut dengan-Nya pada istirahat pertama ini untuk ke perpustakaan yaa biar bisa bertemu Raga yang memang sedang berjaga di di depan sana. Azzura juga sudah hapal jadwal jaganya karena Raga yang memberitahunya. "Eh iya, gue dengar-dengar kasusnya Kak Iwan, dia di-DO tauk!" Ana Badu menyampaikan berita baru. Berita yang tak menarik bagi Azzura. Gadis itu sedang mencari sambungan Harry Potter yang dipinjamnya terakhir kali. Karena sebelumnya memang ia sempat mengembalikan ke perpustakaan. Karena sistem di sini tidak boleh meminjam buku yang sama lebih dari satu minggu. Ia baru bisa meminjam lagi sekarang. Dan sedang mencarinya. Tadi ia sudah mengecek kalau n****+ itu belum ada yang meminjam. "Ih ya? Bagus dong. Itu amoral banget tauk. Apalagi ngelakuinnya di sekolah. Itu gila banget sih. Gak punya otak." Ana dan Ria mengangguk-angguk. Setuju mendengarnya. Ssmsntsrs itu, bahu Azzura baru saja ditepuk seseorang. Gadis itu agak terkaget ketika menoleh ke arahnya samping. Raga sudah berdiri sembari mengulurkan n****+ yang dicari Azzura. Ia tahu kalau Azzura hendak meminjam buku ini. Jadi ia sengaja menyimpannya tadi agar tak diambil orang lain. "Nyari buku ini kan?" Azzura mengangguk. Ia berterima kasih karena telah menemukan. Padahal Raga sengaja menyimpannya. Ria menyenggok lengan Ana dan Ani yang berdiri di kiri dan kanannya. Mereka sama-sama tersenyum-senyum melihat Raga dan Azzura yabg saling berhadapan itu. Manisnya...... "OSIS gimana? Tertarik kan? Udah daftar?" Azzura mengangguk dengan senyuman kecil. Tentu saja ia sudah memberikan berkasnya ke sekretariat OSIS sebelum datang ke perpustakaan ini. Raga mengangguk-angguk. Mereka hanya mengobrol sebatas itu. Karena Raga harus kembali berjaga di depan. Takutnya ada siswa lain yang ingin meminjam buku tapi petugasnya malah menghilang. Azzura mengangguk-angguk kepala ketika Raga pamit padanya. Lalu disambut dehaman milik Ana, Ani, dan Ria. Hal yang membuatnya hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu sih kalau bentuk perhatian yang tadi begitu kentara. Tapi lagi-lagi ia berusaha menyangkal kalau itu adalah sesuatu yang berlebihan dari seorang kakak kelas kepada adik kelasnya. Ya hanya perhatian biasa. Dan lagi, tampaknya Raga memang tipe lelaki seperti itu. Walau ya tak tahu juga. "Lo kalau diajak pacaran sama Kak Raga, harus mau." Belum apa-apa teman-temannya sudah heboh. Ia hanya geleng-geleng kepala saja. Karena jujur saja, ia bahkan belum terpikir untuk menuju ke arah sana. Arah mana? Yang semua orang tahu dan paham kan. Tapi Zura bahkan takut memikirkan hal itu. Karena hal semacam itu menurutnya hanya lah mimpi. Raga setinggi itu sementara ia benar-bensr berada di bawahnya. Jauh di bawahnya. "Gak lah. Kalo pun iya, gue gak yakin sih bisa pacaran." "Kenapa?" Aneh rasanya kalau tak mau pacaran dengan cowok selevel Raga. Tapi ia tak mengatakan itu secara gamblang. Ia mengatakan aneh karena semua cewek pasti memimpikan hal itu. Namun ia sadar akan posisinya. Seharusnya teman-temannya sadar. Tapi mereka tak pernah tahu bagaimana keadaannya yang sebenarnya. Ia bukan menyembunyikan. Ia malas saja menceritakan hal yang hanya akan mengundang orang untuk menghinanya. Ia tak suka. Apalagi direndahkan. "Ada banyak hal yang ingin gue perjuangin dan cowok? Gak ada di dalam daftarnya." Ani dan Ana yang mendengarnya dari belakang sana terkekeh-kekeh. Ria justru geleng-geleng kepala. Tak habis pikir. "Beda ceritanya kalo sama orang yang hobi belajar," tukas Ana. Ya bisa dibilang Ana benar. Baginya, Azzura terlalu serius menyikapi hidup. Sesekali bermain dan bersenang-senang tak ada yang salah. Karena untuk memaksa Azzura ke mall bersama mereka saja susahnya setengah mati. Di dalam kepala gadis itu hanya ada belajar dan belajar. Jadi jangan heran kalau hal-hal semacam itu tidak dipedulikan olehnya. @@@ Dan kalau ditanya apakah Azzura menyesal karena akhirnya ia pernah berpacaran? Tidak. Karena bersama orang itu memang membuka banyak pikiran Azzura tentang perspektif lelaki yang selama ini, ia begitu salah menyikapinya. Kini gadis itu sedang nongkrong di salah satu kafe untuk mengerjakan beberapa tugas. Biasanya ia lebih suka mengerjakannya di fakultas, di perpustakaan atau di kamar kosnya yang sempit. Tapi kali ini malah berada di sebuah kafe karena sekalian bertemu dengan salah satu temannya yang hendak membicarakan penelitian mereka. Berhubung bosan karena terlalu sering bertemu di area kampus, mereka memutuskan untuk bertemu di kafe ini. Tak banyak hal yang menyenangkan untuk diceritakan dari dua pembicaraan mereka karena benar-benar hanya seputar penelitian. Hanya dua jam Azzura di sana lalu memutuskan untuk pulang. Ia memang tak begitu menyukai keramaian. Berbeda dengan seseorang dulu yang selalu memaksanya untuk keluar dari zona nyaman. Hanya untuk mengajaknya menyatu bersama banyak orang. Karena itu kah yang namanya hidup. "Apaan tuh? Proyek baru?" Nathan terkaget. Begitu menoleh, Teddy tersenyum tipis di sebelahnya. Tahu-tahu sudah berada di sana. Padahal rencananya akan dagang sekitar satu jam lagi. Bukan kah ini terlaku cepat? Teddy ini salah satu partnernya. Lelaki yang satu ini sangat jago dalam urusan interior. Kalau Nathan kan lebih kepada konstruksi bangunan. Meski ia juga jago. Hanya saja, akhir-akhir ini ia lebih banyak menerima pembangunan hotel, gedung rumah sakit, mall, dan perkantoran. Perumahan tampaknya belum. Mungkin akan datang lagi nanti. Dan sejak semalam ia sudah sibuk di depan laptop untuk mengerjakan sebuah desain rumah. "Aku minggu kemarin lihat ada tanah kosong itu di daerah Sleman. Gak begitu jauh dari kampus UNY. Tak tanya-tanya, harganya mahal juga mungkin karena di pinggir jalan dan strategis. Tapi kosong karena sebelumnya memang ada bangunan. Tapi udah runtuh begitu. Menurutmu, akan bagus gak?" "Mau dijadikan apa?" "Rumah lah. Rumah tinggal." "Ada fotonya, Nath?" Ia mengeluarkan ponselnya lantas memperlihatkan gambar yang sempat ia ambil. "Harus ditelusuri duku kenapa jadi tanah kosong begini. Takutnya ada permasalahan hukum sebelum memutuskan membeli. Dari pada nanti terlanjur beki dan malah kena masalah." Nathan mengangguk-angguk. Mengiyakan. "Mau bikin rumah, dah ada calonmu?" Ia tertawa. "Bikin rumah kan tak harus ada calon dulu, Ted. Biar dulu." Teddy tertawa. Ia hanya menggodanya. Siapa tahu benar-benar sudah punya calon. "Lagi pula, semapan dan seganteng ini masa gak ada yang mau?" Nathan tergelak mendengarnya. Keduanya sempat mengobrol sembari bercanda selama beberapa menit kemudian berangkat menuju tempat meeting di sebuah hotel. Rencananya mereka akan berkolaborasi lagi di dalam sebuah proyek. "Nyari perempuan yang pas itu susah, Ted. Apalagi mau dijadikan istri. Itu panjang urusannya dan pencariannya." Teddy terkekeh. Ya memang benar. Mungkin berbeda dengannya yang sudah menemukan dengan begitu mudahnya. Ternyata seseorang yang tinggal tak begitu jauh dari rumahnya yang menjadi jodohnya. Begitu lah yang namanya hidup. Segala sesuatunya tak terduga. Teddy menepuk-nepuk bahunya. Mereka sedang dalam perjalanan dengan mobil yang dikendarai Nathan. "Katanya jodoh itu tak terduga, Nath. Jalan bertemunya membuat takjub. Nantikan saja. Masing-masing punya cerita dan jalan yang ditemouh juga akan indah pada waktunya." @@@ Puas bermain bola di lapangan komplek rumahnya, ia kembali. Yaa lama tidak bermain dengan beberapa teman sebaya di komplek karena sok sibuk di sekolah. Padahal kesibukannya hanya membuat onar di sekolah. Membuat para guru darah tinggi. Hahaha. Ya namanya juga Nathan. Kalau tidak berbuat onar sehari saja rasanya ada yang kurang di dalam hidupnya. Ia tiba di rumah sembari bersiul-siul. Tak tahu apa yang mungkin terjadi dibalik mata sembap ibunya yang baru saja menghapus air mata yang jatuh. Perempuan itu juga tergesa-gesa menutup telepon karena tak mau diketahui oleh anak ini. Nathan pergi ke kamar untuk mandi. Setelah itu, ia keluar dari kamar dan mencari adiknya. "Vita masih di masjid." Begitu kata ibunya. Ia hanya mengangguk-angguk lantas mengambil duduk di kursi makan. Ibunya memunggunginya. Perempuan itu sibuk di dapur. Sedikit melupakan keluh kesahnya meski tak bisa juga lupa begitu saja. "Besok Mama akan ke sekolahmu lagi." Nathan mendongak. Ia sedang asyik membuka ponsel tipisnya. Kemudian menatap ibunya yang masih terlihat punggungnya saja. "Ada apa lagi, Ma? Nathan gak buat masalah kok hari ini." Ibunya mendengus, ia nyengir. Kata hari ini itu mengacu pada makna di mana ia terbiasa membuat onar pada hari-hari yang lain. "Kamu itu bisa gak sih gak buat Mama pusing sehari aja?" "Kan tadi Nathan bilang kalo Nathan gak nakal di sekolah." Terdengar dengusan lagi dari ibunya. Ia tergelak. Ia tahu kalau ibunya mungkin frustasi juga mengurusinya. Tapi ia bukan nakal yang di luar batas kok. Ini hanya urusan ego lelakinya dan harga diri saja. Persoalan itu bukan yang sepele baginya. "Pokoknya, besok Mama akan ke sekolah kamu." Ia mendongak sekali lagi. "Ada apa sih, Ma?" Rasanya aneh karena ibunya bicara dengan tampak mengotot begini. "Mama akan urus perpindahan kamu." "Hah?" "Kita akan pindah ke Jakarta." Ia ber-hah ria lagi saking masih kagetnya. Ponselnya nyaris terlepas. Ya kaget lah. Rasa-rasanya tiga tahun lalu, ibunya justru yang mengotot ingin tetap di Yogyakarta. Alasannya? Sayang meninggalkan karir yang telah ia bingung di kampus itu. Apalagi sudah siap mencalonkan diri sebagai dekan. Ia berusaha keras untuk bisa menduduki posisi itu. Tapi pada akhirnya harus direlakan karena sesuatu. "Kenapa, Ma?" Tentu saja Nathan heran. Ingatannya kuat sekali. Karena ibunya menolak berkali-kali sekalipun dibujuk Papanya untuk tinggal bersama di Jakarta. Kedua orangtuanya terpisah karena karir. Ayahnya mendadak pindah tugas di Jakarta tiga tahun yang lalu. Karena harus menduduki sebuah jabatan penting. Sementara ibunya sibuk di Jogja, sibuk mengajar, sibuk dengan karirnya sendiri. "Gak apa-apa. Lebih baik kita tinggal bersama. Bukan kah itu makna sebuah keluarga?" Nathan mengembangkan senyumnya. Sudah sejak lama ia ingin sekali mengatakan pada ibunya untuk ikut dengan ayah ke Jakarta. Karena bagaimanapun akan ada yang kurangnya jika tinggal berpisah. Apa gunanya, harta berlimpah tapi tinggal terpisah? Tapi dilema menjadi wanita karir juga memang begitu. Ingin pergi tapi sulit. Karena sadar akan perjuangan yang sudah dibangun sejak dari nol. Lalu mendadak harus meninggalkan segalanya. Itu sungguh sesuatu yang sangat berat. Meski Nathan tak paham. Namun ia tetap mencoba menghormati keputusan yang ibunya buat. Kini ia jelas senang mendengar perubahan keputusan milik ibunya. Setidaknya, meski ia akan pindah jauh dari kota ini, mereka sekeluarga akan kembali utuh bersama. Bukan kah itu lebih penting? "Mama gak akan mengubah keputusan kan?" "Kamu ngeremehin Mama ya?" Nathan tergelak. Ia hanya ingin memastikan saja. Tapi toh ibunya menepati janji. Sekitar jam sembilan, ibunya datang ke sekolahmu Nathan untuk bertanya terkait rencana kepindahan Nathan. Ia juga akan segera mencari satu skeokah yang mau menerima Nathan di semester dua ini. Tak perlu sekolah yang bagus. Baginya, cukup sekolah yang mau menerima anaknya yang nakal itu. Baginya, hanya waktu yang dapat membuat Nathan berubah suatu saat nanti. Sekarang anaknya mungkin belum paham makna dibalik kerja keras untuk sebuah masa depan. Karena di dalam kepala Nathan hanya lah bersenang-senang untuk menikmati hidup mumpung masih bernapas. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD