Ibu

2999 Words
"Keluar?" Ia hanya mengangguk dengan senyuman tipis. Tentu saja banyak yang menyayangkan keputusannya. Ia harus memilih dan mengalah kali ini demi kemaslahatan keluarga. Bukan kah ini termasuk ke dalam komitmen pernikahan yang pernah ia bangun? Bagaimana mungkin ia malah mendustai itu dan malah sibuk dengan yang lain? "Serius, bu, keluar?" Beberapa dosen lain yang tak tahu kabarnya sejak lama langsung mengerumuninya. Ini jelas sebuah kabar yang sangat mengejutkan. Memang tak ada yang menyangka kalau ia akan keluar. Bahkan ia sendiri pun tak pernah membayangkan ini. Ia sangat menyukai pekerjaan ini. Bagaimana ia bisa keluar begitu saja? Walau ia sudah memikirkan segalanya dengan sangat matang. Ada hal lain yang harus ia prioritaskan. Yang tak kalah pentingnya bahkan jauh kebih penting. Sudah seharusnya ia menurunkan egonya untuk urusan ini. Demi kemaslahatan bersama. Surat pengunduran dirinya sudah disetujui. Surat kepindahan Nathan dan Vita juga sudah keluar. Hanya menunggu anak-anaknya menyelesaikan semester ini. Ia juga sudah bersiap mendaftarkan anaknya di sekolah yang ada di Jakarta. Untuk Nathan masih dalam pertimbangan. Dan juga masih menunggu nilai rapotnya. Ia jadi khawatir mengingat kenakalan anaknya yang satu itu. Meski ia sudah bicara pada kepala sekolah terkait nilai perilaku Nathan dirapor nanti. Ia hanya was-was karena takut tak ada sekolah negeri di Jakarta yang mau menerima. Nathan sudah mengatakan kalau ia hanya ingin sekolah di sekolah biasa. Bukan yang skala internasional atau swasta ternama. Alasannya? Anaknya kan bebal. Dari pada membuang uang, tambahnya begitu. Ia sebagai ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ya terserah lah. Baginya kini, yang penting Nathan masih mau sekolah. Meski pekerjaannya hanya membuat onar saja. Ya walau ia tak pernah lepas mendoakannya agar terus berada di jalan yang benar. Baginya itu sudah terasa cukup. Ia pulang ke rumah setelah mengambil semua barang-barang yang ada di ruang dosen. Sekaligus berpamitan dengan mereka semua. Tentu saja banyak yang menyayangkan keputusannya. Dekan fakultas sampai berkali-kali bertanya tentang pengunduran dirinya yang tiba-tiba. Pasalnya, beberapa waktu lalu, ia pernah membicarakan hal ini juga dengan sang dekan. Ya terkait ia yang rencananya akan dicalonkan untuk menggantikan. "Pamit ya semuanya!" Ia terlihat tampak bersuka cita. Padahal suasana hatinya sungguh berat. Namun ia harus mengalah dan mengambil keputusan kali ini. Ia tak mau menyesal di kemudian hari. Meski entah keputusan ini akan berdampak baik atau tidak padanya. Kalau tidak dicoba, siapa yang akan tahu hasilnya? Jadi setidaknya biarkan ia agar tidak menyesali hal itu. Sementara itu, ponselnya berdering. Ada panggilan dari suaminya yang membuatnya menghela nafas. Ia mengangkatnya sembari tetap fokus pada jalanan. "Ada apa, Mas?" "Kenapa anak-anak kamu pindahkan? Tidak ikut denganmu di Jogja?" Nada suara itu terdengar tak begitu bersahabat. Ia diam sesaat untuk mengontrol diri. Ia juga ingin meledak dengan kemarahan yang sama. Taoi ia menyimpannya. Ia tak mau merusaknya hanya karena masalah semacam ini. Justeu ini akan menjadi jalan yang baru. Bukan kah suaminya sudah ingin ia keluar sejak dulu? Lalu salah kalau ia memgambil keputusan itu sekarang meski mungkin katanya terlambat? Kemudian menarik nafas dalam. "Aku kan sudah mengirim pesan pada Mas. Tentang keputusanku. Aku akan ikut Mas untuk pindah ke Jakarta." "Kenapa?" Ia memejamkan matanya sesaat. Nyeri mendengar pertanyaan itu. Apakah wajar seorang suami bertanya untuk apa istrinya pindah ke Jakarta jika suaminya tinggal di Jakarta? Apa tak terasa ganjil? "Mas kita sudah sepakat untuk tetap bersama demi anak-anak. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang sudah dimulai. Kita dulu sudah saling berjanji, Mas. Sampai menikah dan memiliki tiga anak, Mas. Mas harus ingat itu." Terdengar dehaman dari seberang sana. Terdengar tak begitu bersahabat dan terang-terangan tidak menyukai rencananya. Walau ada sedikit dilema. Ia sesungguhnya was-was karena sesuatu yang tak boleh dikatakan. "Aku keberatan. Sekalipun demi anak-anak, bukan berarti kamu dan anak-anak harus ikut tinggal denganku di Jakarta." Istrinya memejamkan mata. Ia sudah menduga kalau akan keberatan. Akan ada penolakan. Dan ini semakin membuatnya sangat yakin kalau sesuatu yang ia pernah dengar itu adalah sebuah kebenaran. Walau buktinya sudah banyak dan terpampang di depan mata. Namun ia memang masih menyangkal untuk beberapa hal. "Lalu menurut, Mas, kita harus seperti ini terus? Mas, aku sudah maafin, Mas. Ya terserah lah. Aku juga tak mau perduli. Tapi ini demi anak-anak, Mas. Mas tega?" Hanya itu yang bisa ia katakan. Meski ia memiliki rencana lain. Ia hanya ingin mendapatkan kembali apa yang telah ia miliki. Bukan merebut dari orang lain. Karena orang itu yang justru merebut segalanya darinya. Dan kalau sampai anak-anaknya tahu, terutama Nathan, apa tidak akan mengamuk? Nathan pasti akan mengamuk kalau sampai tahu apa yang sebetulnya terjadi di antara kedua orangtuanya. "Bukan kah kamu sendiri yang memulai jalan rumah tangga kita seperti ini? Sejak awal, kamu yang bersikeras untuk tetap tinggal terpisah. Lalu sekarang kamu mendadak mengotot untuk tinggal bersama. Ada apa sebetulnya?" Ia terdiam. Tak mau menyahut. Suaminya jelas tahun alasannya. Namun ia tak ingin menyebutkannya secara gamblang. Bukan kah ini suatu pertanda kalau istrinya memang tahu sesuatu? Sesuatu yang mungkin lebih parah dari bayangannya. "Setelah pengambilan rapor anak-anak, kami akan segera berangkat, Mas." Ia mengucapkan itu sebelum akhirnya menutup telepon. Ya terserah lah suaminya akan marah atau bagaimana. Bukan kah seharusnya senang karena ia dan anak-anak akan menyusul? Aaah ia lupa kalau ia tahu alasannya. Namun ia hanya diam dan memilih memaafkan dengan alasan anak-anak. Mungkin rasanya seperti munafik ya? Tapi tak apa. Selama masih mungkin untuk dipertahankan ia akan lakukan itu. Ia adalah perempuan yang ambisius dan mandiri sejak dulu. Sejak awal menikah pun sudah banyak hal yang sebetulnya ia korbankan untuk lelaki yang dicintainya ini. Ia tak mau semua pengorbanannya sia-sia hanya karena sesuatu yang sebetulnya sangat merusak. Namun ia percaya akan banyak jalan untuk memperbaikinya. Tak ada kata terlambat. Baginya lebih baik terlambat dari pada tidak memulai sama sekali. Ia tiba di rumah dan rumahnya tentu saja masih sepi. Anak-anak belum pulang. Sementsra ia memutuskan untuk membereskan beberapa barang yang dalam waktu dekat akan dikirim lebih dulu ke rumah dinas suaminya yang ada di Jakarta. Ia harus menenangkan diri setelah ini dari pada meledak sendiri. Batinnya juga sudah lelah dengan segala urusan administrasi kampus yang harus ia selesaikan sebekum keluar. @@@ Nathan sudah menunggu di bandara. Ia mengenakan baju hitam-hitam hari ini. Hari yang tak pernah diduga akan mengingatkannya pada luka bertahun-tahun silam. Ia berubah lebih banyak lagi setelah hari duka itu. Hari duka yang tak akan pernah disangka-sangka. Lalu pagi ini ia telah berdiri dan menunggu. Menunggu jenazah ibunya yang sudah lama meninggalkan bumi tapi pemakamannya hendak dipindahkan dari Inggris ke Yogyakarta. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa membawanya ke sini setelah Nathan memutuskan untuk kembali. Ia telah lama berkelana keluar negeri. Pada akhirnya malah kembali ke kita ini untuk mencari cinta. Judulnya memang begitu namun belum berani maju. Alasannya? "Semua sudah berbeda. Sekalipun orangnya masih sama, perasaan bisa saja berubah." Kata-kata itu yang akhir-akhir ini akrab di dalam kepalanya. Entah kenapa ia mendadak sepesimis itu. Tapi bukan kah benar? Instingnya mengatakan demikian. Karena perjalanan panjang telah ditempuh. Meski apapun bisa terjadi. Dan kagi rencana Tuhan itu tak akan pernah bisa ditebak. Nathan menarik nafas dalam. Matanya tertuju pada sebuah pesawat yang baru saja mendarat. Lama sekali ibunya berkelana meski jiwanya sudah tak bersama raga. Raganya dibawa terbang dari Inggris menuju Jakarta hingga akhirnya tiba di bandara ini, Yogyakarta Internasional Airport. Belum lama berdiri dan masih tampak sepi turis luar negeri karena penerbangan langsung dari sini hanya terbatas pada beberapa negara tetangga saja. Yang ditunggu-tunggu pun tiba. Adiknya terlihat bersama ayahnya. Keduanya yang mendampingi jenazah ibunya. Ketika melihatnya, mereka berpelukan. Rasanya mendung itu masih menyelimuti. Tapi Nathan yakin kalau ibunya akan lebih bahagia sekarang. Karena segala duka telah mereka lewati bersama. Mereka akhirnya berhasil bertahan dari segala badai. Butuh waktu setengah jam menunggu petugas mengeluarkan peti jenazah yang membawa ibunya dan segera dipindahkan ke mobil khusus untuk kembali dimakamkan di perkuburan keluarga mereka. Tak ada pembicaraan yang menyelimuti. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Tiba di pemakaman, suasana semakin haru. Banyak kerabat dari keluarga besar Nathan yang dulu belum sempat menyaksikan pemakaman ibunya di Inggris kala itu. Eyangnya hanya diam menatap putrinya yang sudah pergi lebih dulu. Nathan menarik nafas dalam. Is tak ingin membuka duka yang sudah sembuh. Kini memang waktu yang tepat untuk memulai hidup yang baru lagi. Usai pemakaman, mereka kembali ke rumah Eyang. Suasana memang sepi. Yaa hanya diisi obrolan singkat lalu kembali masuk ke dalam kamar masing-masing. Hingga akhirnya Papanya masuk ke dalam kamarnya. Lama tak bertemu dengan anaknya karena kesibukannya di Inggris sembari menemani anak perempuan satu-satunya di sana. Nathan masih tampak sibuk dengan pekerjaannya. Anak lelaki yang kini telah bisa ia banggakan. Perubahan Nathan yang mendadak menjadi dewasa karena berbagai beban dan penderitaan hidup memang mengajarkan banyak hal. Salah satunya tentang bekerja keras. Papanya menepuk-nepuk bahunya dari belakang dengan senyuman tipis. Nathan tersenyum kecil. Lama mereka tak mengobrol kecuali via telepon. "Tadi Eyang Putri bilang kalau kamu hendak dikenalkan dengan siapa itu?" Nathan terkekeh. Ia geleng-geleng kepala. Ia masih pemberontak. Satu-satunya sifat Nathan yang berubah ya satu itu. Ia paling tak suka diatur. Jadi jangan harap hal itu akan terjadi. Hahaha. Ia mungkin akan mengecewakan. Tapi jujur saja, soal asmara itu bukan persoalan sepele baginya. Itu adalah hal yang sangat penting. Ia mana mau menyerahkan hal semacam itu pada Eyangnya? Ia punya selera perempuan tersendiri. Yang ia entah kini akan bagaimana menghadapinya. Ia sama sekali tak punya rencana. Haah. Eyangnya ini seprrti ia tak laku saja. Padahal dengan tampangnya yang seperti ini, siapapun akan mau padanya. Sebaliknya, ia bekum tentu tertarik dengan semua orang. "Nathan bisa cari sendiri. Bukan lagi zamannya perjodohan. Kayak Nathan ini gak laku aja." Papanya terkekeh. Ia sudah menduga kalau anaknya akan menolak. Nathan memang tak bisa diatur sejak dulu. Sukanya mengatur. Wajar lah kalau kini bisa membuat perusahaan konsultan sendiri. Dan sikap ini sebetulnya mengingatkannya pada almarhum istrinya. Istrinya juga tak bisa diatur. Ia punya keinginannya sendiri. Dan itu yang sering membuat mereka bertengkar dulu. Terlebih saat ia mengajak untuk ikut pindah ke Jakarta. Istrinya menyatakan keberatan karena tak bersedia meninggalkan karirnya. Ia berdalih kalau karir itu bisa dikejar di mana saja tapi kata-kata itu malah dibalikan padanya. Kadang ia pusing sendiri. Merasa menjadi pemimpin rumah tangga yang tka berguna. Hingga akhirnya salah mencari pelampiasan. Ya memang sudah lama berlalu. Istrinya sudah berdamai dan mereka memang saling memaafkan. Barangkali alur kehidupan mereka memang harus seperti ini. Ia menarik nafas dalam. Ia berpesan banyak hal pada Nathan terutama terkait karakter calon yang hendak dijadikan pasangan. "Pasangan itu harus saling melengkapi. Ego itu kadang harus diturunkan tapi bukan berarti harga diri ikut turun. Justru kita terkadang harus bijaksana dalam menyikapi sesuatu. Terlebih yang namanya sikap manusia itu adalah hal yang paling mustahil diubah kecuali oleh-Nya. Papa percaya kalau kamu bisa mencari perempuan terbaik untuk dirimu sendiri. Selama berpegang teguh pada Allah, insya Allah akan menemukan jalan jodohnya sendiri. " Nathan tersenyum kecil mendengarnya. Ia tahu kalau Papanya juga bukan lah orang yang memaksakan kehendak. Ia terbiasa menyerahkan segala keputusan pada anak-anak ketika mereka sudah bisa memikul tanggung jawab sendiri. Termasuk urusan mencari pasangan hidup ini. Ia menark nafas dalam. Papanya memeluknya sebentar. Ia terharu sekali dengan segala perjalanan hidup yang telah mereka jalani. Mereka telah banyak melalui masa sulit bersama. Termasuk dengan meninggalnya sang mama. Mereka sama-sama terpukul. Sama-sama hancur. Tapi akhirnya saling menguatkan. Memang tak ada hal lain yang dapat dilakukan kecuali itu. Kemudian Papanya keluar dari kamarnya dan beristirahat di kamar sendiri. Nathan menarik nafas dalam. Lalu mengambil ponsel dan mencari sebuah foto usang. Foto yang diambil dari sebuah foto yang dicetak. Ia sengaja menyimpannya untuk menjadi kenangan dan semangatnya untuk belajar selama ini. Meski sempat dilupakan karena kesibukan menata masa depan. Foto ia dan Azzura berseragam SMA. Gadis itu tampak terpaksa difoto bersamanya. Wajahnya agak cemberut namun tetap cantik. Lalu ia memejamkan mata sembari tersenyum lebar mengingat wajah terakhir Azzura yang sempat ia temui. Gadis yang sudah berubah banyak sekali. Kali ini tidak lagi dengan rambut panjangnya melainkan dengan jilbabnya. Bukan kah ini adalah sebuah pertanda kalau waktu bergerak begitu lama bukan? Karena ia bahkan tak menyadari kalau masing-masing dari mereka mungkin telah berubah banyak. @@@ Bel pulang berbunyi. Bukan Azzura namanya kalau langsung kabur begitu saja dari kelas. Ia masih duduk sembari menyelesaikan catatannya. Setelah itu baru beranjak pergi. Namun berhubung ia masih piket kelas, akhirnya langkahnya tertahan. Ia sibuk membereskan kelas hari ini sebelum kembali ke rumah Tantenya. Tak ada hal penting hari ini di sekolah. Selain informasi mengenai pengumuman calon kelulusan anggota OSIS. Ia juga menunggu informasi itu. Katanya informasi itu akan diterbitkan di mading sekolah. Ia hendak ke sana usai piket kelas. Ria, Ana, dan Ani tentu saja sudah pulang lebih dulu. Ketiga gadis itu tak begitu berminat ikut OSIS. Namun Azzura berhasil memaksa Ria. Hahaha. Gadis itu akhirnya bersedia menemani. Tapi hari ini ia terburu-buru. Katanya mau ada acara kumpul keluarga jadi perlu pulang cepat dari sekolah. Usai piket kelas, Azzura segera berjalan menuju mading sekolah. Tujuan utamanya tentu saja mading tadi. Ia hendak melihat apakah ada namanya dan Ria di sana? Karena katanya tak semua yang melamar akan diterima. Meski sudah ikut orientasi selama dua hari satu malam. Dan banyak kejadian manis kah di sana bersama Raga? Hohoho. Tentu saja tidak. Karena lelaki itu ternyata sangat profesional. Azzura salut. Tapi belum ada kemajuan apapun antaranya dan Raga. Tahu kenapa? Tidak tahu. Lelaki itu juga sudah jarang mengiriminya pesan. Mungkin mengejar perempuan bukan prioritas? Bisa jadi. Karena Raga memang sangat sibuk di dalam dunia OSIS dan urusan tanggung jawab terakhir di tahun terakhir sekolah. Pasti lebih sibuk memikirkan ujian nasional alih-alih asmara. Ya kan? Ya sudah lah. Asmara tak ada perkembangan ya tak apa. Toh sejak awal memang bukan itu prioritasnya. Ada banyak hal lain yang hendak ia lakukan kecuali itu. Ia bisa fokus mengerjakan hal lain yang jauh lebih penting. "Alhamdulillah," ucapnya bersyukur karena namanya ada di antara barisan yang lulus. Kalau tak lulus, juga masih ada beberapa nama yang diberikan kesempatan untuk mengumpulkan tugas perbaikan. Yang benar-benar tak lulus, benar-benar tak ada namanya di sana. Ketika ia membalik badan, tahu-tahu Raga sudah berdiri tak jauh dari sana. Cowok itu sedang mengobrol sebentar dengan wakilnya. Begitu melihat Azzura membalik badan dan hendak berjalan menuju gerbang, ia mempercepat langkahnya untuk menyusul Azzura. Gadis itu hampir menghilang. Ia mengira kalau Azzura sudah pulang karena bel sudah berbunyi sejak sepuluh menit agau bahkan lebih dari itu? "Selamat," ucapnya begitu berhasil menjajari langkah Azzura. Azzura berterima kasih mendengarnya. Ia tentu saja senang karena berhasil lolos. "Aku gak melobi apapun loh. Syarat utama bergabung dengan anggota OSIS itu hanya satu. Tahu apa?" Azzura menggeleng. Raga tersenyum kecil. Keduanya tak saling menatap. Namun Azzura sempat melirik ke arahnya yang berjalan di sebelah kanan Azzura. Apa yang dilihat? Sura tak berani bertanya. Entah kenapa, ia mendadak gugup juga. "Akhlak. Kunci utamanya itu. Kalau yang lain, masih bisa diperbaiki." "Apa yang benar-benar tidak lolos karena itu?" Raga tersenyum kecil. "Tentu bukan satu-satunya faktor utama. Ada banyak hal yang kita pertimbangkan. Ketika diputuskan untuk tidak diterima sama sekali tanpa ada kesempatan untuk perbaikan, barangkali memang tak benar-benar cocok di dalam OSIS. OSIS itu ibarat wakil rakyat, Zura." Azzura mengangguk-angguk. Bisa jadi benar begitu. Bagus pula perumpamaan yang digunakannya. Ia suka mendengarnya. Saat tiba di depan gerbang sekolah, Raga membantunya menyebrangi jalan. Jalur angkotnya masih begini. Tapi mulai minggu depan katanya akan ada perubahan nomor dan jalur pada beberapa angkutan umum yang akan ia tumpangi. Sehingga ada kemungkinan ia tak perlu menyeberang ketika pulang. Ia juga masih belum tahu pasti tanggal diberlakukannya. Nanti mungkin akan diumumkan di beberapa koran. Ia harus meminjam koran tetangga. "Menurutmu, pacaran itu bagaimana?" "Hah?" Raga terkekeh. "Pacaran itu bagaimana, Zura?" "Entah lah, Kak. Zura gak paham." Azzura belum pernah tahu bagaimana rasanya pacaran. Bahkan terpikir sedikit pun tidak. Ia sibuk dengan dunia sekolahnya. Raga mengangguk-angguk. "Lebih baik begitu." Azzura menoleh. Ya kaget lah dengan ucapannya barusan. Tatapan Raga tampak ke depan. Ada banyak hal yang ia sesali. Baginya pacaran itu hanya menghabiskan waktunya saja. Lebih baik waktu itu digunakan untuk hal-hal lain yang jauh lebih bermanfaat. Prestasi di masa sekolah justru menjadi hal yang terpenting. "Kenapa?" Kata itu keluar juga. Omong-omong Azzura sampai melewatkan angkot yang biasanya ia tumpangi. Raga justru masih sangat serius menatap ke arah depan. "Membuang-buang waktu. Lebih baik digunakan untuk belajar." Azzura dapat merasakan kalau ada kepekatan dan keengganan dari tutur kata yang diucapkan Raga yang tampak sangat berhati-hati. Mungkin menyiratkan sebuah pengalaman darinya sendiri. Makanya Raga mengatakan hal itu. Bukan kode juga. Jadi gimana maksud lelaki ini? Haaah hanya hatinya dan Tuhan yang tahu. "Betul sih," ia mengiyakan. Menurut Azzura juga begitu. Untuk apa pacaran? Hanya membuang waktunya. Lebih baik ia pikirkan sekolah dan rencana masa depan yang ingin ia kejar. Ya kan? Raga tersenyum kecil mendengarnya. "Kalau sudah tahu begitu, ada rencana pacaran?" Azzura terkekeh. Ia menggeleng dengan polosnya. Ya sekalipun ada rasa tertarik pada lelaki ini tapi untuk sampai ke tahap pacaran rasanya tidak mungkin. Raga juga tampak seperti itu. Maksudnya tidak menjadikan pacaran sebagai prioritas. "Bagus-bagus. Lebih baik fokus pada sekolah, Zura. Itu lebih penting." Azzura mengangguk-angguk. Tak lama, Raga memberhentikan angkot yang biasanya ia tumpangi. Cowok itu juga menitip pesan hati-hati di jalan pada Azzura. Yang tentunya dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Azzura. Raga tersenyum tipis begitu melepasnya. Lelaki itu kembali ke sekolah. Ia juga fokus pada masa depannya sendiri. Pacaran hanya kesenangan semu yang pada akhirnya membuatnya kecewa. Pandangannya terhadap patah hati memang relatif membuatnya berpikir banyak hal untuk memulai sesuatu bernama cinta. Ya kalau rasa tertarik pada Azzura adalah hal yang tak bisa ia tampik. Tapi sekarang? "Naksir lo?" Sang wakilnya meledek. Ia hanya terkekeh. Ya kalau suka sudah pasti. Tapi untuk mengejar? Tidak. Ia punya caranya sendiri. Lagi pula memang bukan waktunya sekarang. Ia juga hendak fokus menyelesaikan tanggung jawabnya. Ada banyak tanggung jawab yang ia pegang kan? Sedangkan Azzura duduk termangu di dalam angkot. Banyak hal yang tiba-tiba terlintas begitu saja di dalam benaknya. Ia menarik nafas dalam. Entah apa yang baru saja terlintas namun terasa berat. Kemudian turun di perempatan dekat dengan lampu merah untuk berpindah angkot. Pikirannya melayang hingga hampir saja membuatnya kehilangan ponsel andai sang supir tidak membunyikan klakson dan banyak penumpang yang telah memanggil-manggilnya dengan sebutan si eneng. "Hapenya ketinggalan, Neng!" @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD