Sebenarnya Adam tak bisa tak khawatir tentang hal ini. Terang saja, ini sudah hari Selasa dan ia tak pernah menemukan batang hidung Hazel. Jangan lupakan tentang pertengkaran mereka di rumah Aneshka tempo lalu. Meskipun terlepas dari hal itu, Adam masih menganggapnya sahabat.
Oh, atau Adam memang mulai merasa bersalah sekarang? Itu sangat bukan Adam, kan?
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Adam tentu tahu bagaimana perangai Hazel. Sahabatnya sejak kelas sepuluh itu seorang yang paranoid. Ia bisa saja menangis hanya karena masalah kecil sebesar biji kacang. Dan mengingat itu membuatnya kembali ke masa lalu di mana ia melihat sahabatnya begitu terpukul atas perselingkuhan sang ayah.
Bagi Adam sosok Hazel selama ini tak pernah bisa ia uraikan dengan kata-kata. Walaupun di luar pemuda itu pembawaannya sangat bersahaja, tapi ia tahu bagaimana hatinya yang rapuh. Saat itu ia juga yang sudah membawa Aneshka masuk ke dalam kehidupannya, dan karena itulah semua masalah di keluarganya dimulai. Adam bersumpah tak ingin mengingat itu lagi.
Adam tahu rasanya sakit. Munafik jika ia hanya menganggap Aneshka cuma sahabatnya, ia tahu dirinya menginginkan lebih. Sayangnya bukan itu yang diharapkan Aneshka. Mereka sahabat dari kecil. Dan selamanya akan begitu.
"Nih! Belom pada ngerjain, kan, lo, lo pada!"
Tiba-tiba saja Hari datang menyerahkan buku modul yang bagian depannya sudah lecek. Riko yang tengah memainkan game susun permennya, langsung saja menutup permainan itu asal sambil merebut modul milik Hari.
"Cakep nih Hari!" katanya dan menyalinkan semua jawaban Hari di modulnya.
Pemuda kurus itu lantas mendengus dan duduk di samping Adam, sepertinya ia tahu kalau Adam sedang badmood.
"Tadi Hazel chat gue," katanya, sekilas membuat Adam dan Riko segera menatapnya. "Tenang-tenang, bukan mau minta film bokep kok," tukasnya.
Riko langsung menoyor temannya yang kurus setipis triplek itu. "Itu, sih, gue kemaren yang chat kayak gitu!"
Hari terkekeh.
"Chat apaan dia, Ri?" tanya Adam kemudian.
"Nggak apa-apa, cuma minta beliin pulsa aja."
"Ah, elah lu, orang serius-serius juga!" Riko menoyor kepala Hari lagi dengan modul tebal Matematika itu.
"Ih, serius gue! Dia minta pulsa buat nelpon," elak Hari dengan wajah seriusnya. Sebenarnya Riko dan Adam agak sangsi karena biasanya Hari suka nyeleneh. Tapi rasa penasaran Adam lebih besar. Mati-matian ia menahannya untuk tidak menanyakan langsung pada Hazel.
"Trus dia ngomong apa lagi?"
"Udah gitu aja," jawab Hari cuek. Untuk informasi saja, orangtua Hari itu pemilik counter pulsa yang sudah bercabang di mana-mana. Suatu ketika Hari bilang, mungkin usaha kecil-kecilan orangtuanya itu bisa sampai luar kota atau bahkan luar negeri.
"Kan, emang k*****t lo ini, Ri!" Riko misuh-misuh lalu kembali menyalin jawaban modul. "Kalau kaya gitu mah nggak usah ngomong."
Adam mendengus jengah, ketika ia berniat melamun lagi, Hari menyela.
"Lah, yang penting kan, kita udah tau dulu nih kalo Hazel baek-baek aja?"
"Iya juga, sih."
"Tapi emang lo nggak nanya apa-apa sama Hazel?" tanya Adam penasaran. Ia bersyukur karena toh rasa khawatirnya sedikit berkurang.
"Gue bingung," ucap Hari sambil menjedanya sejenak, "sebenernya dia bilang ke gue kalo dia kerja dan berhenti sekolah."
"Gila aja!" seru Riko tak percaya. "Kok lo baru ngasih tau?"
"Dia yang nyuruh gue supaya rahasiain ini dari kalian. Gue 'kan bisa jaga rahasia ya, makanya gue nggak cerita!"
"Trus ini kalau bukan cerita namanya apa dong, Ri?" tanya Riko dengan wajah gondoknya yang ditahan.
"Ya gue sih cuma ngasih tau aja, bukan cerita."
Saat itu pula Adam langsung terkekeh karena Riko mewakilinya menguyeng-uyeng kepala Hari dengan kedua tangannya. Tak mau ambil pusing, Adam langsung mengeluarkan modul Matematikanya dan menyalin semua jawaban Hari. Mungkin masalah tentang Hazel bisa ia pikirkan nanti.
***
Julian saat itu tengah membaca komik ketika sahabatnya merengek-rengek minta ditemani ke kantin. Dengan mendengus jengah akhirnya ia menutup komiknya yang masih berada di halaman 75 dan membatasinya dengan pembatas buku. Siapa yang memaksanya membaca komik itu sebelumnya? Kiki, kan?
Julian hampir lupa, Kiki memang orang yang suka memaksa. Ini sifatnya yang tak pernah bisa Julian tolak.
Begitu mereka sampai di kantin, Julian langsung menempati meja panjang sementara Kiki memesan makanan mereka. Terserah apa saja yang dipesan, Julian tetap akan memakannya.
"Nih!" Sebuah mangkuk disambut mata Julian. Ada uap tipis mengepul dan bau sedapnya yang khas. Julian tersenyum karena sahabatnya itu memberi makanan kesukaannya. "Eh, lo udah tau belom?"
"Apaan?" sahut Julian sambil memasukkan bola-bola daging bakso ke mulutnya. Ia langsung mengerang begitu nikmat menyentuh lidah.
"Kak Hazel kerja di bengkel?"
Julian mengedikkan bahu tanda tak tahu. "Kok lo tau?"
Kiki menyeruput teh gelasnya sebelum menjawab, "Iya, kemarin pas gue ke bengkel, eh, ketemu dia."
"Trus ngobrol?" tanya Julian dengan raut datar, berusaha menyembunyikan rasa penasaran yang menggantung di benaknya. Apalagi ia tak tahu bagaimana keadaan bundanya semenjak hari Jumat lalu.
"Nggak, gue ngumpet-ngumpet aja biar dia nggak ngeliat gue. Untung aja yang benerin motor gue pas bukan dia."
Sebelum Julian sempat bertanya lebih lanjut, seseorang menyapa mereka berdua lalu duduk di seberang meja mereka dengan nampan berisi mie goreng dan air putih. Itu Karina.
"Gue boleh duduk di sini, 'kan?" tanyanya sambil mengedarkan pandangannya ke semua meja. "Nggak ada bangku kosong."
Kiki mengangguk semangat. Ini pertama kalinya mereka dihampiri perempuan di kantin, karena jika berdua saja dengan Julian jarang ada yang menghampirinya kecuali saat ia sendirian. Entah itu harus dibanggakan atau tidak, hanya saja ia merasa yang lain pasti menganggap ia dan Julian selalu menempel seperti lintah.
"Lo sendirian?" kata Julian, berbasa-basi karena ia mengenal Karina. Mereka teman sekelompok dan ia tak berharap lebih dari itu.
Karina mengangguk. "Lina lagi galau, nggak mau nemenin gue," katanya sedih.
"Lain kali gabung sini aja kali, Rin, kalau emang ketemu kita di kantin. Ajak Lina juga nggak apa-apa," kata Kiki sambil tersenyum memamerkan gigi-giginya. Kiki tak peduli Julian keberatan karena buktinya ia tak acuh ketika Julian menyenggol kakinya tak setuju.
"Serius boleh, Jul?"
Julian gelagapan ditanya seperti itu. "Ya, boleh aja."
Karina tersenyum lebar. Menatap Julian. "Oya, gue suka banget resensi lo, Jul. Rapi banget. Gue jadi ngerasa punya gue nggak ada apa-apanya deh."
"Uhm. Biasa aja, sih."
"Gue serius, tulisan lo mendetail banget. Yang nggak kepikiran sama gue bisa ketuang gitu aja di tulisan lo," kata Karina sambil berbinar. Lalu memegang tangan Julian dan menepuk-nepuknya. "Gue beruntung sekelompok sama lo, Jul."
Julian menahan untuk tak memutar bola mata. Ia tak suka dipuji berlebihan seperti itu.
"Elah! Lo berdua jangan seneng-seneng di atas penderitaan gue kali," kata Kiki sewot. "Gue sekelompok bareng Rendy nih!"
Kiki melipat tangannya sebal. Untuk informasi saja, Kiki tidak suka dengan Rendy karena teman sekelasnya yang satu itu pemalas dan tukang molor. Kalau saja waktu itu Kiki tidak dispensasi untuk latihan basket, pasti ia akan jadi orang pertama yang protes besar-besaran.
"Kenapa gue nggak sama lo aja coba?" tambahnya, menatap Julian.
"Kalau lo sama Julian, trus gue sama siapa, Rizky? Gue udah klop nih sama Julian!"
"Kalau lo klop sama Julian, trus gue yang lengket trus sama Julian namanya apa dong?" sahut Kiki.
"Kembar siam!"
"Tapi gantengan gue."
"Gantengan Julian!"
Lalu mulai dari situ pertengkaran kecil antara Kiki dan Karina pun dimulai. Sebercandanya Kiki selalu ditanggapi serius oleh Karina dan begitu juga sebaliknya. Julian baru akan melerai keributan mereka begitu sebuah telpon masuk ke ponselnya.
Julian mengerutkan dahi melihat nomor asing yang tertera. Tapi ia tak keberatan untuk mengangkatnya, siapa tahu penting.
"Halo?"
Tidak ada jawaban. Julian sampai melihat kembali layar ponsel dan hubungan dua arah itu masih menyala.
"Halo?"
"Siapa, Jul?" tanya Kiki, Julian baru sadar pertengkaran mereka sudah selesai.
"Nggak tau, orang iseng," jawabnya. Mematikan ponsel dan memasukkan kembali ke kantung. Ia segera menimbrung obrol pada Kiki dan Karina yang sepertinya tengah membahas topik baru yang seru.
"Masa sih, trus Lina beneran galau gitu?" tanya Kiki.
Karina menarik satu ikat rambut di tangannya dan menggelung rambutnya dengan benda itu. "Iya, Lina, kan, suka sama Kak Hazel. Kalau liat Kak Hazel senyum dia girang banget."
Kiki memutar bola mata. Apa semua perempuan seperti itu terhadap orang yang disukainya?
"Tapi beneran Kak Hazel keluar dari sekolah?"
"Beneran lah!"
Wajah Julian terkejut. Buru-buru ia meneguk es jeruknya. Ekspresinya langsung terbaca oleh Kiki. Seolah menjadi juru bicara Julian, Kiki mulai melontarkan pertanyaan lain.
"Lo tau dari mana, Rin?"
"Katanya sih Lina nggak sengaja denger obrolan temen-temennya Kak Hazel pas di kelas tadi." Karina mengingat-ingat.
"Nguping maksud lo?"
"Whatever!" Karina memutar bola mata. "Gue nggak terlalu dengerin omongannya tadi, males. Lina, kan, tiap pagi emang nyamperin kelas XII IPS 3 buat ketemu sodaranya—alesan sih. Nyatanya buat stalker Kak Hazel setiap pagi."
Kiki membuat gestur merinding. "Serem amat temen lo."
Bel masuk saat itu berbunyi nyaring. Karina buru-buru membersihkan mulutnya dengan tisu. Mie gorengnya baru habis separuh, ia menyalahkan Kiki untuk ini.
"Julian, duluan, ya?" katanya menoleh ke arah Julian yang tengah melamun. Mengabaikan reaksi Kiki sebelumnya.
"Ya."
Karina melambai dan menjauh dari kantin. Sementara Kiki langsung menatap Julian.
"Kayanya pas turnamen gue masih liat Kak Hazel," gumamnya sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan uang, Julian mengabaikan gumaman itu. Begitu Julian melakukan hal yang sama, ia melarang. "Gue yang bayar."
"Tumben!" ejek Julian.
"Karena tim gue kemaren menang."
"Sering-sering aja, Ki," jawab Julian dan hanya dibalas cengiran oleh Kiki. Ia menatap kosong bahu Kiki di depan penjual bakso. Pikirannya melayang ke Hazel, sampai tak sadar bahwa Kiki sudah berada di sampingnya.
"Nanti pas pulang gue anterin ke bengkel deh."
Julian terkejut. "Idih, ngapain?"
Kiki hanya membalasnya dengan cengiran. Tangannya melingkar di bahu Julian. Dan menyeretnya dengan paksa.
***
Ingat, kan, bagaimana sikap pemaksanya seorang Rizky Aksal Kurniawan? Sikap yang berulang kali ditunjukkan tapi tak pernah membuat Julian jera? Karena sikap itulah sekarang Julian berada tepat di depan pintu rumah Hazel. Tidak, tidak. Bukan untuk menemui ibunya, kali ini Julian bersumpah ini permintaan Kiki agar dirinya bertemu dengan Hazel.
Kenapa tidak langsung ke bengkel tempat Hazel bekerja?
Mungkin akan ada pertanyaan seperti itu. Tapi negosiasi sengit dengan seorang Kiki bagaimanapun juga hasilnya tetap kesialan untuk Julian.
Julian menerka-nerka apa yang membuat Kiki memaksanya untuk menemui Hazel. Sewaktu Julian bersikeras menolak dengan cara banyak bertanya 'kenapa?' Kiki hanya memberinya satu jawaban yang sama;
"Lo berubah semenjak kenal Kak Hazel."
Berubah bagaimana? Apa dirinya terlihat seperti Kamen Rider yang sering Kiki tonton? Julian berani bertaruh, otak sahabatnya pasti sedikit miring karena mungkin saja terkena lemparan bola basket di kepalanya.
Kebanyakan maen basket, sih. Julian menggerutu.
Dengan keberanian yang tidak juga mencucuk di kepala, Julian tetap mengayunkan tangannya untuk mengetuk pintu. Terdengar sahutan dari dalam rumah dan itu adalah suara ibu Hazel.
Julian berpikir sebentar, apa hari ini ibunya Hazel libur? Atau semenjak sakit kemarin ibunya absen bekerja dan oleh karena itu Hazel yang bekerja menggantikannya?
Belum sempat otak Julian mencerna apa yang terjadi, pintu yang berderit terbuka mengalihkannya. Seorang wanita dengan celemek merah bunga-bunga dan sebuah spatula menatapnya bingung.
"Loh, Julian?" katanya.
"I-Iya, Tante."
"Yuk, masuk," suruhnya. Ibu Hazel membuka pintu lebar-lebar membiarkan Julian masuk.
"Duduk dulu, nak," katanya sambil tersenyum, tanpa sadar Julian ikut tersenyum dan lega karena kulit wajah wanita itu tak sepucat sewaktu di rumah sakit. "Hazel belum pulang, paling sebentar lagi. Kamu mau ketemu dia, kan?"
Otot wajah Julian menegang. Ia tak tahu wajahnya terlihat seperti ingin bertemu Hazel. "Nggak kok, Tant. Aku pengen jenguk Tante aja."
Ibunya Hazel berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berbalik. Julian tak mengerti balasan yang diterimanya. Tapi begitu sebuah air putih dengan batu-batu es terhidang di meja tamu itu, ucapan ibunya Hazel membuatnya kembali merutuk.
"Ada yang pernah bilang nggak, kalau kamu nggak pinter bohong?"
Julian ingin menenggelamkan dirinya laut. Ia memang sering kali gugup berbicara pada orang yang belum lama dikenalnya. Satu hal lagi, Julian memang tak pandai berbohong.
"Tante tau kok. Kamu khawatir 'kan, sama Hazel?"
Julian hanya tersenyum kikuk dan berkata, "Nggak juga sih, Tant. Hazel 'kan cowok, ngapain dikuatirin?"
Wanita paruh baya itu lagi-lagi mengelengkan kepalanya, kali ini disertai tawanya yang terdengar hangat. Julian menikmatinya.
"Bohong!" katanya kemudian.
"Ha?"
Belum sempat Julian menyela lagi, wanita itu langsung pamit menuju dapur. Julian kemudian menepuk jidatnya karena melupakan dimsum yang tadi ia bawa untuk wanita itu.
"Julian udah makan belum?" teriak ibunya Hazel dari arah dapur. Dapur keluarga ini memang letaknya tak begitu jauh dari ruang depan, hanya dipisahkan oleh ruang keluarga yang kecil.
Julian ingat ia belum makan dan pulang hanya untuk mengganti seragamnya.
"Udah, Tante," katanya, berbohong.
"Ya, udah. Nanti makan bareng, ya, sambil nunggu Hazel."
Dahi Julian mengerut. Sepertinya Julian tadi bilang bahwa ia sudah makan. Baru saja ia akan berteriak untuk menjawab, wanita itu sudah berada di ruang depan tanpa celemek bunga-bunga dan spatula.
"Udah mateng tuh, yuk."
Agak lama Julian terdiam untuk memberi tolakan lagi, tapi wanita itu langsung menarik tangannya dan menggiringnya ke dapur. Di sana mata Julian berbinar melihat masakan yang didominasi dengan sayur itu. Tidak ada lauk yang berat seperti daging atau ikan. Hanya sayur yang dicampur beberapa bakso, udang dan cumi-cumi.
"Hazel pulang jam berapa, Tant?" tanya Julian ragu. Wanita itu langsung melihat jam di dinding dapur. Sudah hampir jam empat sore.
"Bentar lagi, biasanya jam empat."
Begitu ibunya Hazel ingin mengambil nasi hangat untuk Julian, buru-buru ia menahannya.
"Kalau gitu aku tunggu Hazel aja, Tant," ujarnya pelan.
Wanita itu tersenyum tipis dan duduk di seberang meja. Julian terheran-heran karena ibunya Hazel diam saja menatap makanan itu tanpa menyentuhnya. Mungkin menunggu Hazel juga?
"Tante, maaf ya ini mungkin agak sensitif," ujar Julian takut-takut. Ia melihat reaksi wanita itu dulu sebelum melanjutkan. Reaksi yang diterimanya hanya kerutan di dahi. "Tante sama Hazel lagi sedikit nggak akur, ya?"
Buru-buru Julian mengibaskan tangannya sebelum wanita itu menjawab.
"Kalau nggak mau dijawab juga nggak apa-apa kok, Tante."
"Nggak apa-apa," jawab wanita itu sambil tertawa. "Kita memang lagi nggak akur."
Ada ekspresi sedih yang Julian tangkap dari ibunya Hazel. Wanita itu tampak keberatan dengan beban yang dipikul di bahunya. Selama ini Julian hanya bertemu beberapa kali dengan wanita itu saat ia menjadi Hazel. Saat itu yang ia lihat hanya sosok wanita tegas yang selalu tegar.
Ekspresi itu berubah ketika menjawab pertanyaan yang Julian yakin memang sangat sensitif. Mulai dari situ Julian mendengar wanita itu menceritakan bagaimana hubungannya dengan Hazel sempat renggang semenjak perceraiannya dengan suami. Tidak secara mendetail, Julian tahu tidak mungkin wanita itu menceritakan semua rahasia yang sudah lama mereka pendam.
Yang Julian tangkap selanjutnya hanya soal perceraian yang terjadi sudah hampir tiga tahun yang lalu, saat itu Hazel baru saja menapaki lantai gedung SMA dan kejadian itu membuat ibu dan anak itu terpukul. Sejak saat itu hubungan mereka renggang dan Hazel sudah benar-benar merubah sikapnya. Ia jadi sering pulang malam dan bahkan sering tidak pulang.
Wanita itu juga sempat bercerita bahwa Hazel dulunya adalah orang yang sulit bergaul dan lebih sering di rumah. Julian sampai harus mencerna baik-baik bagian itu. Hazel pendiam? Maksudnya pendiam yang seperti Julian? Introvert?
"Hazel itu selalu menutup diri, sekarang juga masih."
Julian melirik wanita itu, ekspresinya macam-macam, tapi yang sering Julian lihat adalah ekspresi sedih.
"Dia nggak pernah mau cerita masalahnya sama orang lain."
"Masa sih, Tant?"
Wanita itu akhirnya melirik ke arah Julian setelah meja makan dengan segala isinya sudah tak menarik lagi, namun bukannya menjawab ia hanya tersenyum tipis. Julian jadi canggung.
"Oh, ya." Julian tetiba ingat sesuatu setelah cerita singkat itu dianggap selesai oleh keduanya. Ia menaruh bungkusan yang dibawanya ke meja. "Ini untuk Tante."
Wanita itu menyipitkan matanya ke arah Julian. Kemudian langsung mengambil bungkusan itu. Lalu tertawa.
"Ini 'kan, makanan kesukaan Hazel. Kenapa nggak kasih sendiri ke Hazel?"
Julian tercengang tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Jujur sejujur-jujurnya, Julian sama sekali tidak tahu apa makanan kesukaan Hazel. Kalau memang dimsum itu adalah favoritnya, bukankah itu lebih baik? Setidaknya ia tak memberi mereka makanan yang tidak disukai. Kalau tidak salah ingat bukankah Hazel benci sayur?
"Sayur???"
Segera setelah itu, Julian langsung melihat semua masakan yang dibuat oleh ibunya Hazel. Hampir semuanya campuran sayur dan lauk. Ia kemudian menatap wanita itu seolah ia baru saja diberikan racun.
"Tante, Hazel nggak suka—"
"Suka kok, coba aja kamu tawarin dimsum ini deh."
"Bukan itu—"
Belum sempat Julian menyelesaikan kalimatnya, pintu rumah terbuka dengan langkah kaki yang terdengar ribut. Beberapa detik kemudian sosok Hazel muncul dan terkejut dengan pemuda yang kini tengah duduk manis di ruang makannya.
"Makan dulu, Zel, ini temen kamu udah nungguin kamu dari tadi."
Hazel maupun Julian sama-sama terdiam dengan pandangan mata yang menatap satu sama lain. Hazel yang pertama kali merasakan canggung apalagi mengingat kejadian beberapa hari yang lalu di mana dirinya dijadikan guling oleh Julian dan ia sempat-sempatnya mengalami—Ah, Hazel tak ingin mengingat itu.
Maka tanpa menyapa Julian atau ibunya ia langsung membawa tas yang dipakainya bekerja ke kamar dan mengganti bajunya yang kumal karena mesin dan oli. Hitam. Padahal ia sempat memakai overall jeans yang menjadi seragam kerjanya, tapi bagian yang tak tertutup tetap membuat bajunya kotor.
Lain kali mungkin ia akan bekerja tanpa menggunakan baju dalaman.
Setelah selesai mencuci tangan dan wajahnya, ia kembali ke meja makan di mana Julian dan ibunya sedang menunggu. Baru saja ia mau duduk, rahangnya mengeras melihat semua makanan yang ada di meja makan.
"Mau ke mana kamu?" tanya ibunya begitu Hazel berdiri lagi dan berbalik. "Makan dulu, bunda udah capek-capek masak."
Hazel berdecak dan membalikkan tubuhnya. Di situ Julian tahu bahwa ada ekspresi kecewa di matanya, namun tak terlalu kentara.
"Bunda makan aja semuanya sendiri!" teriaknya lalu menatap Julian. "Ayo, Jul!"
Belum juga Julian mengerti situasi ini, Hazel mengajaknya pergi dan meninggalkannya keluar rumah dengan kaki yang mengentak-entak kasar di lantai. Julian langsung mengalihkan matanya ke arah ibu Hazel.
"Tante," panggilnya pelan. "Apa tante nggak tau kalau Hazel nggak suka sayur?"
Yang diterima Julian hanya senyum tipis dengan ekspresi terluka.
"Tante tau kok." Wanita itu mengambil bungkusan dimsum tadi dan menyerahkannya pada Julian.
Julian bergeming. Awalnya ia tak mengerti maksud ibunya Hazel. Dugaannya bilang kalau mungkin saja wanita itu tidak menyukai dimsum pemberiannya dan berniat dikembalikan. Tapi kemudian Julian sadar kenapa hal ini dilakukan oleh seorang ibu.
"Aku s-samperin Hazel dulu ya, Tant."
Satu anggukan membawa Julian berlari seperti dikejar tawon. Ia sampai di halaman rumah dan tak menemukan Hazel di sana. Lalu samar-samar ia melihat punggung Hazel yang berjalan cepat meninggalkan rumah. Julian ingat kalau Hazel memakai baju hitam longgar.
"HAZEL!!!" panggilnya. Ia tersenyum karena langkah Hazel memelan. Tanpa buang waktu Julian langsung berlari menghampiri hingga ia bisa menghadang langkah Hazel.
Tapi sampai di sana napasnya terputus-putus dan tersenggal parah. Tangannya bertopang pada lutut sementara ia mengembalikan suaranya yang hilang.
"Lo cepet banget," gumamnya.
Hazel melirik sekilas wajah Julian. Pemuda itu memakai t-shirt warna putih dengan gambar earphone kebiruan di d**a yang seolah-olah digantungnya. Celana jogger cargo warna abu-abu melekat pas di kaki. Hazel heran, kapan Julian terlihat tak modis?
"Kenapa lo ngejer gue? Ini bukan adegan film India, 'kan?" katanya dengan ketus.
Julian memutar bola mata, napasnya kini sudah membaik. Alasan lain kenapa ia tak suka olahraga adalah ia akan punya penyakit asma. "Tinggal nunggu ujan aja, baru deh kejer-kejeran lagi."
Hazel mendengus kesal. Tidak, ia bukannya kesal pada Julian. Ia bisa kesal dengan apa saja yang membuat mood-nya jatuh belakangan ini.
"Nih!" Julian mengangkat bungkusan dimsum dan menggoyang-goyangkannya.
"Itu apa?"
"Dimsum."
"Serius?"
"Duarius!"
Apa Julian baru saja mendapatkan satu lagi sifat Hazel yang belum diketahuinya? Kalau iya, izinkan Julian berkata kalau Hazel itu pemuda yang gampang berubah suasana hatinya. Bahkan senyum yang ada di bibir Hazel entah kenapa menular padanya.
Julian tersenyum. Ia tersenyum begitu lebar untuk pertama kalinya di hadapan Hazel.
Mereka akhirnya berjalan beriringan menuju bangku panjang dekat lapangan sepak bola kecil di dekat rumah Hazel. Suasana yang agak ramai sore itu membuat mereka melupakan penat sejenak. Lapangan sepak bola itu tidak kosong, beberapa anak kecil sekitar umur sembilan tahunan bermain sepak bola di sana. Anak kecil lain menonton sambil bersorak-sorak alay.
Hazel maklum karena mereka anak kecil. Ia hanya ingin menyantap dimsumnya dengan tenang tanpa berpikir bahwa anak-anak itu mengganggu. Sudah lama ia tak makan makanan itu. Gratis lagi.
"Lo beneran nggak mau?" tanya Hazel ketika melihat Julian tertawa melihat anak-anak kecil memperebutkan bola.
Julian menjawabnya dengan gelengan. Ia menatap cara makan Hazel yang seperti orang kelaparan.
"Uhm ... Lo beneran keluar dari sekolah?"
Akhirnya Julian menanyakannya. Pertanyaan yang sejak tadi menjamur di otak. Ia merasa sudah saatnya menanyakan itu karena mood Hazel sepertinya sudah membaik. Hebatnya perubahan itu disebabkan oleh dimsum, bukan karena dirinya. Atau karena dirinya yang membawa dimsum?
Entahlah.
Hazel cukup lama terdiam sampai akhirnya kunyahan di mulut ditelan sepenuhnya.
"Iya, Jul. Gue pengen mandiri."
"Bohong!"
Hazel tersentak.
"Lo ngelakuin itu buat bunda, kan?" Julian menodong, Hazel sampai tercengang menatapnya. "Sampe kapan sih, lo bohongin semuanya? Ini semakin nggak lucu! Semua orang khawatir sama lo! Apalagi bunda." Bahkan gue juga, lanjut Julian dalam hati.
Hazel membuang pandangannya ke bola yang digiring kaki kecil seorang anak. Dan ketika bola itu membobol gawang, suara sorakan membuat Hazel menatap Julian lagi. Tatapannya terluka.
"Udah cukup gue lihat nyokap sakit," katanya lirih. "Gue nggak mau kehilangan dia."
Julian termenung di kursinya. Bahunya jatuh bersandar pada sandaran kursi. Ia tersenyum kecil, kini ia tahu bahwa Hazel memikirkan ibunya. Ibu dan anak itu hanya sedang membohongi perasaan masing-masing dengan bersikap tak acuh. Kenyataannya mereka saling membutuhkan dengan cara mereka sendiri.
"Apa yang bisa lo banggain dengan berhenti sekolah?" tanya Julian akhirnya. "Kerja di bengkel nggak bikin lo kaya, 'kan?"
Bukannya tersinggung Hazel malah menatap Julian bingung. "Kok lo tau?"
Julian tiba-tiba risih dengan cuka dimsum yang ada di dagu Hazel. Lalu ia membersihkan itu dengan telapak tangannya. "Makan kayak anak kecil banget sih."
Tiba-tiba Hazel teringat di mana Julian pernah sekali mengatakan itu saat mereka makan bakso di pinggiran mal. Ia tertawa menutupi wajahnya yang malu.
"Hazel?" Julian melambai-lambaikan tangannya ke wajah Hazel ketika pemuda itu melamun sambil senyum-senyum. Saat itu pula Hazel merasa namanya sangat indah ketika Julian memanggilnya.
Ketika orang lain akan memanggilnya 'Hezel' entah kenapa saat Julian yang memanggil akan terdengar seperti 'Heyzeyl' dengan nada lambat yang bergetar.
"Gue mau, ya, satu." Julian mencomot dimsum itu dan menotolnya ke cuka. Lalu satu lonjong penuh masuk ke mulut hingga pipinya menggembung.
"Nay ..."
Julian terbatuk-batuk ketika mendengar suara Hazel. Ia yakin Hazel memanggilnya. Tapi panggilan apa itu?
"Makan kayak anak kecil banget." Hazel terkekeh.
"Lo panggil gue apa?"
"Nay."
"Kenapa?"
"Karena kalau Yan terlalu kampungan. Jul terlalu udik," kata Hazel. Julian menahan diri untuk tak menonjoknya. "Jadi Nay aja, kebalikan dari Yan. Bagus, 'kan?"
"Maaf deh kalau nama gue kampungan." Julian memutar bola mata. Tiba-tiba angin berhembus kencang dan langit menggelap. "Eh, mau ujan."
"Pulang yuk, Nay."
"Jangan panggil gue Nay!"
"Jangan bilang lo mau ujan-ujanan sambil nari India?"
Julian mencebikkan bibir.
"Ayo, Nay. Balik!"
Bersamaan dengan ajakan itu petir terdengar dengan keras dan titik-titik hujan turun hingga menderas membasahi tanah. Julian merutuk. Mereka mungkin ditakdirkan lari-larian di tengah ujan.
tbc.