Part 9

2564 Words
"Lo mau kemana, Jul?" tanya Hazel setelah dirinya selesai membereskan pakaian-pakaian ibunya ke dalam tas besar dan menaruhnya di ranjang rumah sakit. Hari ini ibunya sudah diperbolehkan kembali ke rumah dan bisa mulai berobat jalan. Julian sudah benar-benar di ambang pintu setelah Hazel menanyakan itu. Matanya sayu menatap lagi ke arah pemuda tim futsal itu. Ia ngantuk berat karena semalaman ikut menemani Hazel menjaga ibunya. "Hari ini libur, 'kan?" katanya lagi. "Kalau mau pulang gue anterin aja." Mendengar penawaran itu Julian menanggapinya dengan senyum. Padahal awalnya ia lumayan gondok karena semalaman Hazel tidur dengan pulas sedangkan dirinya sendirian begadang di kursi. Bukan karena apa-apa sih, tapi semalam itu posisi Hazel tidur membuatnya tidak nyaman. Mereka duduk di kursi yang sama, keras, dan dengan tidak manusiawinya Hazel menjadikan bahunya sebagai sandaran. Bodohnya Julian tidak menyingkir, kata hatinya berkata lain saat itu. Terlebih saat ia tahu kemarin malam Hazel juga tidak tidur semalaman dan tiba-tiba menangis dalam pelukannya di rumah Hazel sendiri. Sebenarnya keadaan sempat awkward karena kecanggungan di antara mereka setelah kejadian itu. Tapi, ya, namanya Hazel bagaimanapun juga tidak akan pernah berubah. Sifatnya yang santai dan bersahaja membuat kebekuan itu cair begitu saja. "Udah lo temenin Bunda aja," jawab Julian akhirnya. Ia tidak merasa aneh ketika menyebut ibunya Hazel dengan sebutan 'bunda'. Ia sudah terbiasa. "Trus lo? Langsung pulang, 'kan?" "Gue mau ke gelanggang olahraga, hari ini turnamen basketnya Kiki," ujarnya. Hazel mengangguk begitu saja, dan tiba-tiba seseorang menginterupsi kecanggungan itu. Yang ternyata adalah ibunya. "Zel, katanya ada taksi di depan buat Bunda, kamu yang pesen?" kata ibunya yang berbicara di ambang pintu dekat Julian. Hazel melenguh malas. "Nggak lah, bukan buat Bunda kali." "Orang tadi satpam nyebutin nama lengkap Bunda kok." Jawab ibunya lagi kebingungan. Akhirnya Julian yang merasa bertanggung jawab atas hal itu, langsung angkat bicara. "Julian yang pesenin, Tant," katanya sambil nyengir. "Ya ampun kamu ini ngerepotin." Wajah ibu Hazel terlihat tak enak hati. "Bisa dicancel nggak? Tante jadi nggak enak." "Eh? Ya nggak bisa. Lagian aku nggak mungkin biarin Tante naik motor Hazel." Julian bingung, lalu menatap Hazel yang berjalan terlebih dulu melewatinya. Ia merasa aneh mengenai wajah Hazel yang tiba-tiba datar dan kesal—berharap bukan karena dirinya. "Bentar deh, aku ke depan dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Hazel maupun ibunya, Julian langsung berlari ke lobi. Sementara Hazel dan ibunya berjalan dalam diam. Jadi posisi mereka kini, Hazel di depan dan ibunya mengekor di belakang. Hazel sama sekali malas untuk membuka percakapan dengan ibunya itu. "Zel?" "Hmm ..." "Biaya rumah sakitnya gimana?" tanyanya pelan. Ia memandang bahu anaknya yang selama ini jarang diperhatikannya. Tubuhnya tegap dan rambutnya agak sedikit panjang. Kalau biasanya ia hanya bisa melihat anaknya saat tidur, kini ia bisa melihat anaknya itu ada bersama dalam waktu yang lama. "Ya, udah dibayar lah, Bun. Kalau nggak, mana mungkin boleh pulang." jawabnya ketus. Ibunya menghela napas pelan. "Kamu tuh ditanya baik-baik juga. Maksud Bunda gimana kamu bayarnya? Pakai uang apa?" "Udahlah, Bunda nggak usah tanya-tanya. Yang penting sekarang Bunda pulang trus istirahat," jawab Hazel masih ketus. Ia berbalik sekadar melihat ekspresi ibunya. Dan terkejut saat melihat ibunya hanya terdiam sambil menunduk. "Makanya jangan kerja sampe larut malem lagi," ujarnya pelan, pelan sekali. Dan mereka berdua kembali berjalan dalam keadaan diam. Lain hal ketika Julian sudah sampai di salah satu mobil biru bertanda burung biru. Tanpa ragu Julian mengetuk kacanya dan kaca itu turun terbuka. Ia yakin itu taksi pesanannya. "Maaf, Dek, taksinya udah ada yang pesen," kata sopir taksi itu sebelum Julian mengutarakan ucapannya. "Oh, atas nama Rania Rahmat, 'kan?" tanyanya menyebutkan nama lengkap ibu Hazel. "Iya, bener. Adek ini anaknya?" tanya sopir itu. Julian langsung mengangguk begitu saja. Lalu si sopir itu membuka bagasi belakang dan membuka pintu penumpang di bagian belakang. Tak lama Hazel dan ibunya sudah tiba di lobi. Julian memandang aneh keduanya. Auranya lebih dingin dari sebelum ia pergi meninggalkan mereka tadi. Meski ia sempat bertanya-tanya dalam hati, tapi ia tak bisa mengungkapkan pertanyaannya langsung. Hanya saja, ia langsung meraih tas hitam dari tangan Hazel ketika pemuda itu hanya diam saja. Hazel terkesiap, langsung bertanya, "Beneran nggak mau gue anter?" Julian menggeleng. "Ayo, masuk dulu, Tant," katanya menggiring ibunya Hazel masuk dan ia kembali menatap Hazel sambil menengadahkan tangannya. "Apa?" "Kunci motor." "Ha? Maksudnya?" "Gue pinjem motor lo bentar, lo naek taksi aja sama Bunda," kata Julian tidak sabaran. "Nggak, nggak!" tolak Hazel. Tapi tangan Julian lebih cepat ketika ia menggerayangi tubuh Hazel mencari-cari kunci motornya. Ia senang karena menemukannya. Tubuh Hazel bergerak ketika seseorang mendorongnya paksa masuk ke mobil. Bahkan ketika kepalanya menyembul lagi Julian tak segan-segan mendorong kepalanya hingga masuk ke dalam lagi. Dan kesempatan itu digunakan Julian untuk menutup pintunya. Kemudian ia bernegosiasi sebentar dengan supir taksi sambil menerka-nerka ongkos sampai rumah Hazel, lalu menyerahkan satu lembar seratusribuan dengan perjalanan lewat jalan alternatif kurang dari setengah jam dari rumah sakit itu. "Ambil aja kembaliannya," kata Julian dengan nada final. Supir itu masuk dan menjalankan mobilnya keluar dari area rumah sakit. Ia melihat sekilas wajah Hazel yang terkekuk bosan di dalam. Lalu ia sendiri menghela napas. *** Pertandingan basket ternyata sudah berlangsung selama hampir setengah jam, dan Julian melirik jamnya sebentar. Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Skor antar sekolah yang bertanding benar-benar kontras. Sekolah mereka memimpin angka dan ia disana melihat dengan jelas sosok Kiki yang berpelukan dengan teman-temannya. Julian harus bersyukur. Bangku khusus penonton sekolahnya cukup strategis. Deretan bangku itu memang sudah di pesan oleh guru olahraga mereka. Maka dari itu, sorakan teman-teman noraknya yang sangat berisik itu harusnya bisa sampai ke telinga pemain. Sejenak Kiki melihat ke arah tribun. Baju basketnya menempel pada tubuhnya yang berkeringat. Tangannya melambai yang Julian yakin bukan hanya tertuju padanya, tapi pada teman-teman sekolahnya yang menjadi supporter. Senyumnya lebar. Julian tanpa sadar tertawa. Hingga sebuah tepukan membuatnya menoleh. Julian terdiam dan langsung membuang arah pandangannya. Fokus matanya kembali ke arah pertandingan yang berlanjut. Sampai seseorang pemuda yang berpakaian rapi di sebelahnya—Julian ingat namanya Gilang—berdiri dan posisinya diganti oleh Hazel. "Kok lo di sini?" tanya Julian akhirnya. Tanpa mengalihkan matanya. "Ngambil motor," jawab Hazel sekenanya. Ia terheran-heran dengan alasan yang diberikannya pada Julian. Kenapa ia tak jujur saja, sih? Toh, ia memang ingin bertemu Julian. "Gue udah bayangin lo nyorakin Kiki tadi. Ternyata ..." Julian akhirnya melirik Hazel, tapi tak sepatah kata pun keluar. Akhirnya ia menghela napas dan melempar pandangannya pada seragam merah tim basket sekolah mereka yang tiba-tiba membuatnya gemas sendiri. Ingin rasanya segera ia peras baju itu dan menjemurnya. Pasti rasanya lengket. Menurutnya yang tak suka berolahraga, itu memang hal yang menjijikkan. Lagipula untuk apa satu bola diperebutkan orang banyak hanya untuk mendapatkan point? Terkadang ia tak habis pikir, kalau mau olahraga, toh bisa dengan cara lain. Pergi ke gym atau lari pagi sekitar komplek, kan bisa. Lama-kelamaan ia kembali terhanyut pada ekspresi wajah Kiki yang tengah mendribble bolanya dengan tenang. Sesekali sahabatnya itu tersenyum ketika bisa mengecoh lawan dan berhasil melakukan passing. Tanpa sadar Julian ikut tersenyum ketika kedua tangan Kiki mengepal kesenangan karena bolanya masuk ke ring. "Wuuuuhhuuuu!!!" Suara teriakan nyaring dengan tepuk tangan heboh membuat Julian mendengus. Sebenarnya semua orang atau teman sekolahnya melakukan hal yang sama. Tapi ia langsung saja memberi Hazel tatapan menusuk karena pemuda itu yang berada di sampingnya. Namun entah tidak sadar atau bagaimana, Hazel malah dengan gencarnya meneriakkan nama Kiki sambil terus berteriak seperti fangirl. "Lo teriak di kuping gue!" Julian kemudian merutuki aksi heroiknya kemarin di rumah Hazel. Untuk orang seperti Hazel rasanya belas kasihan darinya itu sangat-sangat berharga. "Lo nggak seneng Kiki nyetak point?" tanyanya kebingungan. Karena dari banyaknya penonton penduduk yang bersorak. Hanya Julian saja yang berekspresi kalem. Julian memutar bola matanya. Kini fokusnya kembali ke bola yang dengan gilanya masih dibuat rebutan lagi oleh kedua tim yang tengah bertanding itu. Kini bola merah bata—yang condong ke warna cokelat itu—berada di tim lawan. Kiki terlihat serius ketika si pemegang bola melaju ke arahnya sambil tersenyum remeh. Dan— Slash! Bola itu berhasil di masukkan oleh tim lawan. "Tuh, gara-gara lo jadi kebobolan!" kata Hazel. Terdengar suara dengusan Julian karena tak terima dituduh seperti itu. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat, Julian sudah berada dalam posisi berdiri dengan tangan mengepal. Kemudian kedua tangan itu ia posisikan di depan mulutnya. Julian enarik napas dalam-dalam dan— "HOY!!! SEMANGAT!!!" Hingga beberapa detik setelah teriakan Julian yang merdu dan berirama itu seluruh siswa beramai-ramai ikut berdiri dan ikut berteriak mendukung tim sekolahnya. Dari lapangan terlihat kapten basket bernomor punggung empat tersenyum dengan lebar mengarah ke tribun penonton. Hazel yang sedari tadi sibuk mencerna situasi yang tiba-tiba itu langsung terkekeh. Dan ia sangat-sangat sadar sepenuhnya siapa yang membuatnya terkekeh seperti itu. "Suara lo cempreng." Kemudian ia tertawa dengan kerasnya. *** Pertandingan berakhir dengan skor 98-95. Tim basket sekolah mereka memimpin dengan angka tertinggi. Untuk pertandingan-pertandingan selanjutnya hanya lanjutan dari tim sekolah lain dengan tim sekolah yang lainnya. Itu artinya tim yang menang akan bertanding di turnamen minggu depan. Siswa dari sekolah mereka sebagian sudah berbondong-bondong pergi meninggalkan arena, hanya beberapa saja yang masih tinggal untuk melihat pertandingan sekolah lain. Julian sendiri—jangan ditanya—ia sangat malas untuk menghampiri Kiki. Biasanya Julian hanya akan menunggu Kiki menghampirinya di tribun. Tapi hari ini berbeda dengan hari biasanya. Kiki mungkin tidak akan ke tribun karena ia sibuk di sisi lapangan tempat tim basketnya berkumpul dan bersorak kecil-kecilan karena kemenangannya. Julian mau tidak mau memaklumi hal itu. Kiki bukan pemuda introvert sepertinya yang akan pulang seolah tidak terjadi apa-apa. Teringat akan sesuatu, ia langsung menoleh ke kiri bangkunya. Hazel duduk di situ dengan mata lurus ke lapangan. Tidak, ia hampir melupakannya. Bukannya sekarang—walau tak benar-benar mengakui—ia sudah dekat dengan pemuda playboy itu? Julian menyandarkan punggungnya, tiba-tiba kantuknya menyerang. Ia tahu siapa yang harus disalahkan karena ini. "Lo nggak ngasih selamat ke Kiki?" tanya Hazel yang dibalas hela napas dari Julian. Ia lantas mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu. "Gue SMS aja," jawabnya pelan. Tiba-tiba matanya berat dan tubuhnya lemas. "Masa lewat SMS, sih?!" "Bawel!" kata Julian sewot dengan napas beratnya. Mengerti keadaan dan tanpa diminta, Hazel menggeser tubuhnya hingga bahunya dekat ke arah Julian. Benar saja, beberapa saat kemudian Julian sudah benar-benar menutup mata dan kepalanya jatuh ke bahu Hazel. Untuk sesaat ada perasaan tak enak di benak Hazel. Dirinyalah yang membuat pemuda itu begadang semalaman di rumah sakit menemaninya. Hazel tak perlu informasi dari siapapun untuk tahu hal itu. Mata Julian yang sayu di pagi harinya sudah merupakan sebuah jawaban. "Jul? Julian?" panggil Hazel dengan sangat pelannya. Ia merunduk ingin melihat wajah Julian, tapi terhalang oleh poni Julian yang panjang. Shit! Hazel baru menyadari ada sesuatu yang manis terdapat pada wajah terpejam itu. Ia berusaha menyingkirkan poninya dan melihat baik-baik wajah itu. Bulu matanya lentik dan alisnya tebal. Ada dua buah t**i lalat kecil yang menempel di bawah mata kiri Julian. Demi Tuhan, kemana saja Hazel selama ini? "Ngh ..." Tiba-tiba tubuh Julian bergerak lagi. Tangannya mengusap wajahnya seolah ia tahu bahwa seseorang baru saja menyentuh wajahnya dan membuatnya geli. Kepalanya langsung terangkat gelisah dan berpindah ke sandaran bangku lagi. Bola matanya bergerak-gerak dalam kelopak. Sebenarnya Hazel tidak tega membangukannya, tapi ia lebih tidak tega lagi kalau Julian tidur dalam posisi seperti itu. Akhirnya ia memilih membangunkannya. "Jul! Bangun, Jul!" katanya agak keras sambil mengguncang bahu Julian. Si empunya awalnya hanya menggumam, sampai matanya akhirnya terbuka. "Gue anter pulang, yuk." Entah sadar atau tidak, Julian mengangguk dan bangun dari posisinya dengan agak terhuyung. Begitu keduanya keluar dari barisan, Hazel mundur untuk mempersilakan Julian berjalan di depannya. "Kunci motor mana?" Ditanyai begitu, Julian langsung merogoh saku celananya dan memberikan benda itu ke tangan Hazel. Dan ia langsung mendapat tepukan di kepalanya. Hazel terkekeh. Andai Julian sedang tidak dalam keadaan ngantuk, ia pasti akan membalas Hazel dengan nada sewotnya. *** Begitu sampai di rumah rasa kantuk yang tadi berat membebani matanya, kini hilang begitu saja. Setelah segar karena siraman air di kepala, Julian langsung mengarahkan matanya ke arah Hazel yang sebenarnya sudah diusirnya sejak tadi dan kini tengah duduk di kasurnya sambil memainkan ponsel. Dirinya lantas menyalakan pendingin ruangan karena tiba-tiba merasa kepanasan. Udara panas Jakarta memang membakar. "Lo mandi dulu sana," katanya sambil melempar handuk bekasnya pada Hazel. Ia berdiri tak jauh dari Hazel dengan pakaian yang sudah berganti—celana pendek bermotif batik selutut dan t-shirt putih dengan bendera Amerika sebagai gambarnya. Hazel tidak beranjak dan Julian seolah mengerti sesuatu. "Pake aja baju gue dulu, nanti ambil sendiri," lanjutnya. Tanpa membantah Hazel bangkit dari posisinya dan mulai masuk ke kamar mandi lalu menguncinya dan menghidupkan shower. Air turun dengan deras membasahi tubuhnya. Airnya mencuci kulit lelah dan mendinginkan kepala yang penat. Tubuhnya merosot ke lantai yang dingin. Termenung. Pikirannya kembali pada Aneshka dan Adam. Mungkin setelah ini ia harus menghubungi keduanya dan tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Bagaimanapun ia tidak ingin dibenci oleh keduanya hanya karena masalah ini. Jika boleh memilih mungkin ia lebih memilih bertubuh gemuk seperti Riko dan berwajah biasa saja seperti Hari. Dengan begitu ia tak perlu terbelit masalah cinta yang berlebihan. Huh? Apa ia baru saja berpikir bahwa Aneshka hanya menyukai wajahnya? Sepertinya iya. Sekitar dua puluh menit akhirnya Hazel keluar dari kamar mandi. Sambil membuka lemari pakaian Julian yang berada tak jauh dari depan pintu, ia melirik ke arah pemuda itu yang ternyata sudah tertidur lelap di kasur. Tanpa sadar ia tersenyum. Begitu selesai memakai baju Julian yang pas untuknya, ia ikut merebahkan tubuh di samping Julian. Matanya menangkap ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya sambil berharap benda itu tak memiliki kunci yang rumit. Dan ... Voila! Julian memang tak cukup aware untuk masalah keamanan ponsel Dengan senyum jahil Hazel mulai mengetikkan nomor ponsel miliknya dan menekan tanda telepon hijau untuk melakukan miscall ke ponselnya. Kemudian ia merasakan getaran parah di nakas, tempat ponselnya ditaruh dan buru-buru ia matikan. Kemudian ia beralih ke messenger dan menscan barcode milik Julian dengan ponselnya. Sejenak ia pandangi display picture yang Julian gunakan pada di sana; Julian tampak duduk tenang sambil membaca sebuah komik dan fokus matanya juga mengarah ke sana. Seseorang yang mengambil foto itu, Hazel menebak pasti Kiki. Setelah kegiatannya selesai, Hazel mengotak-atik ponsel Julian sampai ke bagian gallery. Hazel menguap bosan karena isinya hampir semua foto Julian dan Kiki. Ia jadi bertanya-tanya sebenarnya bagaimana hubungan keduanya itu. Hazel bukannya tidak tahu kalau mereka bersahabat. Tapi, apa bersahabat yang terlalu dekat seperti itu? Bingung dengan jawaban dari pertanyaannya sendiri, Hazel sadar ia mulai mengantuk. Matanya berat dan tak lama kemudian ia tertidur pulas. Siang itu tiba-tiba ia merasa sangat gerah, padahal AC di kamar itu sangat dingin. Tubuhnya juga berat untuk sekedar bergerak, seolah ada sesuatu yang menindihnya. Ia sendiri bergerak gelisah. Beberapa saat dalam posisi itu, ia merasa ada sesuatu yang menggesek di bagian bawahnya. Hazel kegelian awalnya, dan detik berikutnya seperti ada sesuatu yang mendesak di balik celananya ketika gesekan yang diterimanya makin agresif. Kemudian Hazel bangun dengan berkeringat. Ia baru sadar posisi tidurnya dimanfaatkan Julian sebagai guling. Dan yang membuatnya merinding ketika kaki Julian bergerak di sela kaki dan juniornya tergesek. Posisi mereka miring dan saling berhadapan. Hazel mendesah ketika hembus napas Julian dan gesekan juniornya membuatnya panas. Ia melipat bibirnya ke dalam dengan sangat kuat. Detik berikutnya ia berhasil melepaskan diri dan berlari keluar kamar. Sementara itu Julian tiba-tiba bangun karena derit pintu yang ribut. Ia mengerjapkan mata dan memandang guling yang ada di dekapannya. Sepertinya ia bermimpi, karena pintunya masih tertutup rapat. Lalu ia mencoba memejamkan mata lagi. Mungkin Hazel sudah pulang. Dan melayang kembali ke alam mimpi. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD