Delapan

1347 Words
“STOP!!!!” ujar Gustave ketika Merlian bersiap melangkahkan kaki masuk ke mobilnya, Merlian mematung, terkejut dengan suara Gustave yang sangat mirip dengan klakson Bus butut yang biasa dikeneki bang Ucok. Gustave meraih hand sanitizer dari dashboard mobil dan mengarahkan ke Merlian. “Ya elah dikira aku kuman!” sungut Merlian namun tetap saja dia mengulurkan tangannya. Gustave menyemprotkan cairan pembersih itu ke tangan Merlian yang langsung mengusapnya persis seperti iklan-iklan di televisi milik baba Ahong. Bahkan Gustave juga menyemprotkan cairan itu ke sekitaran Merlian. Merlian hanya mendesis sebal. Dia tetap diam ketika sudah meletakkan b****g di jok empuk itu. “Lain kali injaknya jangan di situ, tapi di atasnya,” protes Gustave pada Merlian yang tadi salah injak saat menaiki mobil. Lagi-lagi merlian hanya menelan mentah-mentah ucapan calon suaminya itu. “Mau ke mana kita?” “Ke laut!” “Ih enggak bawa baju renang,” timpal Merlian. Gustave hanya menggeleng pasrah lalu melajukan mobilnya. “Cari tempat sepi, ada yang mau aku bicarakan,” ujar Gustave. Kini giliran Merlian yang mengangguk-angguk. Gustave memutar stirnya menuju jalanan yang agak lengang. Dia menoleh kanan dan kiri. “Lurus ada taman kota,” tutur Merlian, Gustave menurutinya karena dia memang tidak suka dengan hiruk pikuk pasar yang berisik dan terlalu ramai. “Di belakang ada tas makanan, mama masak jengkol untuk kamu.” Merlian segera menoleh ke kursi belakang, tampak tas berwarna ungu yang ada tulisan Ware-warenya. Dia tersenyum lebar dan mengambil tas itu. Reflek Gustave cukup cepat, hampir saja dia terkena sambaran tas itu kalau tidak menghindar. Gustave memelototkan matanya, namun Merlian sepertinya tidak peduli. “Gara-gara kamu, seluruh rumah bau jengkol tahu enggak?!” “Enggak.” “Ya, ini dikasih tahu!” “Mas punya tekanan darah tinggi ya? Teriak terus,” ujar Merlian. “Gara-gara kamu!” “Aku enggak budek,” sungut Merlian, dengan segera dia membuka resletingnya, namun Gustave mencegah dengan tangannya yang diletakkan di atas tangan Merlian. “Jangan dibuka di sini! Nanti bau mobilku!” cegah Gustave, Merlian memperhatikan jemari yang bertengger di atas tangannya itu. Gustave sepertinya menyadari, dia segera menarik tangannya dan memegang stir kemudi setelah berdehem. Suasana mendadak canggung. Merlian memeluk tas itu seperti harta berharga. “Baju aku ketemu?” tanya Merlian memecah keheningan. “Enggak sudah dibuang, dikira lap,” jawab Gustave. Merlian mendesah kecewa. Padahal menurutnya baju kemarin itu adalah salah satu baju terbaiknya. Ya sudahlah nanti kalau ada uang dia akan beli lagi. Sejujurnya uang yang ditransfer Nike, cukup banyak namun dia tak berani memakainya. Justru dia ingin mengembalikannya. “Belok kiri, masuk ke sana,” tutur Merlian menunjukkan jalan. Gustave membelokkan mobilnya, terlihat plang bertuliskan Taman Kota, dia pun memarkirkan mobil di parkiran. Merlian membuka pintu mobil namun Gustave hanya menarik napas panjang. “Bicara di dalam saja, panas,” ujar Gustave, Merlian yang semula sudah menurunkan satu kakinya pun naik lagi, dia mendengus dan menatap pria yang terlihat arogant itu. Suara musik dari media player di mobil terdengar samar-samar. Gustave mengeraskan sedikit volumenya agar tidak sepi. “Mama dan papa tetap pada keputusannya untuk menikahkan kita, dia ingin pernikahan kita dilakukan secepatnya.” Gustave memulai pembicaraan. Merlian bahkan tak berani menyandarkan tubuhnya di kursi, khawatir baju kotornya mengotori mobil mahal ini. Dia memang tidak tahu harga mobil ini, namun dia yakin harganya sangat mahal. “Terus?” “Ya mereka minta keputusan dari kamu kapan kita bisa melamar kamu,” ucap Gustave. “Bibi masih di rumah sakit, bolak-balik karena adikku masih dirawat, setelah pulang ke rumah aku akan kabari,” ucap Merlian, masih memeluk tas makanan itu. “Kira-kira kapan pulang?” “Mungkin tiga hari lagi,” ucap Merlian. “Ya sudah minggu besok aku dan keluarga ke rumah kamu, oiya ini,” ucap Gustave seraya mengeluarkan berkas dan memberikan ke Merlian. “Apa ini? Surat rumah?” “Matre ya anda!” sungut Gustave membuat Merlian terkekeh. “Ya dikira kali,” tutur Merlian tak tahu malu. “Perjanjian pranikah, aku sudah memikirkan yang kira-kira menguntungkan kita berdua, setelah nikah nanti kita akan tinggal di rumah sendiri, tapi mama dan papa bisa mengakses kamera pengawas, hanya kamar yang enggak diletakkan kamera pengawas, yang tentu saja nanti kita sekamar, kamu jangan khawatir, di kamar itu nanti aku pakai double bed jadi sebelum tidur kita bisa tarik kasur masing-masing.” “Oke. Tadinya lagi mikir sih,” ucap Merlian. “Bisa mikir juga?” “Hush!” “Mikir apa?” “Mau ngembaliin uang mama kamu, rencananya mau pinjam uang kamu untuk balikin uang mama kamu nanti aku bayarnya nyicil ke kamu,” ucap Merlian. “Ish sama aja!” rutuk Gustave. Merlian hanya menggaruk kepalanya. “Ish, stop. Nanti ketombenya jatuh ke mobil,” protes Gustave lagi. Merlian menghentikan aksinya yang persis seperti anak kera itu. Dia mengerucutkan bibirnya dan kembali memeluk tas berharga itu. Wajar saja mengingat sejak masuk rumah sakit, bibinya sudah tidak pernah masak lagi, makan sehari-hari dia hanya mie instan, terkadang diberi tetangga makanan. Untung bukan makanan sisa. “Mama sebenarnya punya sakit jantung, sudah dipasang ring jantungnya, kalau kamu mau lakukan itu aku khawatir mama jatuh sakit. Biar saja kita teruskan. Kamu mau baca dulu?” tanya Gustave. Merlian menggeleng. “Baca di rumah saja,” ucap Merlian. Gustave kembali menyalakan mobilnya. “Aku antar pulang, setelah tanda tangan nanti kamu chat.” “Iya,” jawab Merlian pelan. Memandang jalanan yang perlahan menjauh dari taman kota. Tak sedikit pun dia menikmati perjalanan ini. Kebahagiaan mungkin adalah hal paling mewah untuknya yang bahkan tak pernah dicicipinya selama ini. Kini dia harus mengabdikan diri menikahi seorang yang bahkan tak dikenalnya dengan baik. Yang dia tahu Gustave seorang yang suka teriak, dan sangat higienis. Gustave mengantar Merlian sampai depan gang karena mobilnya tak muat masuk ke gang kecil tersebut yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. “Rumahku yang ada warungnya, tapi warungnya tutup sekarang.” “Ok.” Gustave hanya membalas singkat. Merlian pun turun dari mobil itu. “Bilang tante, terima kasih makanannya,” ucap Merlian. “Bilang sendiri, punya nomornya kan?” ketus Gustave. “Iya iya,” jawab Merlian. Dia menutup pintu mobil itu dengan cukup keras. Gustave menggeram kesal namun dia masih menahan diri, lantas dia menekan pedal gas untuk meninggalkan kawasan yang bisa dinilai cukup kumuh tersebut. Merlian memegang tas dan berkas tersebut, lalu masuk ke dalam rumah sang bibi. Dia lupa, dia bahkan tidak masak nasi. Tapi tak apa lah melihat tasnya yang cukup besar mungkin lauk saja cukup untuk makan siangnya. Namun dia cukup terkejut ketika mendapati menu hidangan lengkap dalam tas itu. Ada nasi, jengkol balado, udang tepung, juga capcai dengan bakso dan jamur. Porsinya cukup banyak, bahkan mungkin cukup untuk makan berdua Daffa sampai malam nanti. Rumah kecil ini terasa sangat sunyi, hanya Merlian seorang diri yang makan dengan kaki terangkat satu, menyuap makanan dengan tangan agar terasa sangat nikmat. Setelah makan dia memotret piring kosong itu juga lauk pauk yang masih tersisa cukup banyak. Dia mencuci tangan dan mencuci piringnya, untuk lauk pauk dimasukkan dalam kulkas, nanti sebelum makan malam akan dihangatkan lagi. Baru lah dia mengirim pesan ke Nike, menulis bahwa makanannya enak dan dia duduk di sofa yang sudah sangat naas, banyak bolongan di mana-mana. Sejenak dia berpikir apa saat orang tua Gustave berkunjung nanti, dia akan membawanya ke rumah baba Ahong? Pasti baba Ahong memperbolehkannya namun dia tak mungkin melakukan itu. Biarlah dia pasrah dengan tanggapan orang tua Gustave nanti. Merlian membaca dokumen yang tertulis perjanjian pranikah, dia membaca beberapa pointnya. Tidak ada yang bermasalah, mereka akan hidup bersama di rumah mereka nanti. Merlian diperbolehkan bekerja atau tetap di rumah. Gustave akan menanggung seluruh biaya hidup Merlian juga kebutuhan dan keinginannya. Merlian tidak diperbolehkan melarang-larang Gustave ke mana pun yang dia mau, begitu pula Gustave yang tidak diperkenankan melarang Merlian. Perceraian akan dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak dalam waktu yang tidak ditentukan. Pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan resmi. Tanpa buang waktu Merlian menanda tangani perjanjian itu di atas materai. Dia benar-benar pasrah atas hidupnya kini. Yang penting dia bisa membalas budi atas kebaikan tantenya mengurus dia sejak bayi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD