My Ice Boss – 15

1701 Words
Sebuah Proyek Reyhan berkacak pinggang membelakangi Dinni yang sekarang tertunduk dengan jemari saling berpilin. Dinni masih belum bisa berkata-kata setelah terciduk menjelek-jelekkan Reyhan. Dinni menatap punggung itu penuh rasa bersalah. Dinni sudah siap untuk menerima amarah Reyhan. Namun hingga detik ini Reyhan masih belum bersuara, Hening. Suasana begitu sunyi. Hanya terdengar suara desiran angin malam yang sesekali ebrbaur dengan suara laju kendaraan di jalanan sana. Reyhan masih saja sibuk menghirup dan mengembuskan napas dengan gusar. Sementara Dinni masih tertunduk dan resah dalam penantian. Dia sudah mengepalkan tangannya kuat-kuat mewaspadai jika saja Reyhan tiba-tiba berteriak memakinya. Waktu pun terus berlalu, tapi Reyhan masih juga belum bersuara.  “M-maafkan saya....” Akhirnya kalimat itu terlontar dari mulut Dinni. Hening. Reyhan hanya memejamkan matanya pelan mendengarkan ucapan Dinni. Dinni meneguk ludah dan memberanikan diri untuk maju selangkah lebih dekat. “Maafkan saya ... tadi itu sepertinya saya terlalu terbawa suasana dan akhirnya melakukan sebuah hal yang bodoh. Semua yang anda dengar itu hanyalah bentuk uneg-uneg yang dilebih-lebihkan. Sekali lagi maafkan saya.”  Reyhan pun berbalik, kemudian menatapnya lekat-lekat. “M-maafkan saya. Saya nggak bermaksud un—” “Sudahlah.” Potong Reyhan. “Saya sudah terbiasa dengan hal seperti itu, bahkan orang-orang terdekat saya sendiri pun melakukannya.” Dinni terhenyak mendengar pengakuan itu. Jawaban itu justru membuat Dinni semakin dihimpit rasa bersalah. Padahal dia mengira Reyhan akan murka dan mengamuk padanya. Tadi Dinni bahkan sempat menyangka bahwa Reyhan akan menceramahinya panjang lebar dan langsung memecatnya. Namun sekarang Reyhan malah menatapnya dengan mata sayu. Pemandangan itu tentu saja membuat Dinni terkejut. Sepertinya dia sudah menyakiti perasaan Reyhan hingga sosok Ice Boss itu pun kehilangan selera untuk sekedar memarahinya. Dinni semakin tertunduk lesu. “M-maafkan saya....” Reyhan tersenyum tipis. “Bagi saya hal seperti bukan sesuatu yang asing. Tapi, satu hal yang pasti adalah... ternyata kamu juga sama seperti mereka.” Deg. Entah kenapa kalimat Reyhan membuat d**a Dinni terasa sesak. Rasa bersalah semakin mengakar di hatinya. Dinni terpekur dan tidak berani menatap wajah itu. Suasana pun kembali hening. Hanya suara jangkrik dan bunyi desau angin malam yang sesekali terdengar pelan. “Ya sudah, kamu boleh pergi,” ucap Reyhan. Dinni tetap diam dan tidak beranjak dari tempatnya. Reyhan menatap bingung. “Saya bilang kamu boleh pergi sekarang!” Dinni bergeming. “Kalau begitu saya yang pergi dari sini.” Reyhan mulai melangkah pergi. “T-tunggu!” Dinni memberanikan diri untuk bersuara. Reyhan berbalik seraya menatap hambar. “Apa?” “T-tapi kenapa anda bisa ada di sini?” “Saya mencari kamu.” Dinni mengernyit. “Kenapa?” Reyhan mendesah pelan. “Salah satu asisten saya tidak bisa menemani saya keluar kota. Awalnya saya ingin meminta kamu untuk menggantikannya. Tapi, setelah mengetahui betapa bencinya kamu saat berada di sisi saya....” ucapan Reyhan terhenti. Dia tertawa pelan, kemudian melanjutkan langkahnya. “Sudahlah! Saya pergi dulu,” ucap Reyhan. _ Reyhan ternyata bisa merajuk. Itulah kesimpulan yang diambil oleh Dinni. Sudah dua hari ini dia tidak menegur Dinni sama sekali. Jangankan menegur, menatap Dinni saja tidak dia lakukan. Dinni pun juga menjadi kebingungan oleh tingkah majikannya itu. Jika ada perlu sesuatu, maka Reyhan lebih memilih untuk memanggil Asti. Dinni benar-benar menjadi bingung. Dia seperti seorang b***k yang tidak bertuan. Dia tidak tahu harus mengerjakan apa dan harus mengambil sikap seperti apa. Sore ini Asti terlihat sibuk menyiapkan segala keperluan Reyhan untuk keberangkatannya besok keluar kota. Biasanya tentu Dinni yang melakukan tugas seperti itu. Asti yang tidak tahu apa-apa terlihat kebingungan dan Dinni pun menjadi kasihan padanya. Dinni mengintip pelan dari balik pintu dan mendapati Asti yang tengah kebingungan menatap koper besar di depannya. “Asti ....” panggil Dinni pelan. Asti langsung menoleh dan refleks memasang wajah meringis. Seolah dia langsung berkata tolong aku! Dinni pun masuk ke dalam ruangan itu seraya mengendap-endap. “Bantuin aku Kak Dinni!” rintih Asti pelan. Dinni pun menatap keadaan sekitarnya, lalu mulai membantu Asti memilih pakaian dan juga segala sesuatu yang dibutuhkan oleh reyhan. Mereka berdua melakukannya dengan sangat terburu-buru. “NGAPAIN KAMU ADA DI SINI, HA...?” Bentakan maha dahsyat yang terdengar menggelegar itu sukses membuat Dinni dan Asti nyaris kehilangan nyawa. Asti bahkan langsung memucat dengan tubuh menggigil. Sedangkan Dinni kini membeku dengan jantung yang terasa seperti akan melompat dari tempatnya. “M-maaf, saya hanya membantu Asti karena dia kebingungan,” ucap Dinni dengan suara bergetar. “Tidak perlu! Kamu tidak perlu membantu dia!” “T-tapi nanti kebutuhan anda juga jadi tidak elengkap, atau bisa saja nanti anda membutuhkan sesuatu, tapi tidak menemukannya karena Asti memang tidak tau.” Dinni masih saja menyuarakan pendapatnya. Reyhan menggertakkan gerahamnya hingga menimbulkan suara yang menakutkan. Dia tidak berkata apa-apa. Tapi sorot matanya yang setajam elang sudah menjelaskan semuanya. Dinni pun meletakkan pakaian yang masih digenggamnya dengan perasaan getir. Entah kenapa dia merasa sedih. Dinni merasa Reyhan seakan membuang dirinya dan menganggap dia tidak ada. Dinni pun kemudian beranjak pergi dengan wajah menekur. Setiba di dapur yang sepi, Dinni langsung terduduk lemas dengan suara helaan napas yang terdengar jelas. Ya, semua ini memang kesalahannya. Seharusnya dia memang tidak perlu mempergunjingkan Reyhan seperti itu. Walau bagaimanapun juga saat ini Dinni memakan uang gaji dari majikannya itu. Harusnya Dinni bisa menjaga sikap. Harusnya dia bisa menahan mulutnya. Tapi siapa juga yang akan mengira kalau Reyhan akan muncul dengan tiba-tiba seperti itu. Dinni mendesah pelan. Dia punmembenamkan wajahnya di antara kedua lutut, lalu kembali menggerutu dengan suara sengau dan tidak jelas. Lama kelamaan Dinni merasakan aliran hangat di kedua pipinya. Ya, Dinni menangis karena tidak tahu lagi harus berbuat apa. Bersamaan dengan itu sepasang kaki pun kini berdiri di depan Dinni. “Oy! Apa yang kamu lakukan di sini?” Dinni menelan ludah. Itu adalah suara Reyhan.  “Kamu nggak mendengar pertanyaan saya, ha?” bentak Reyhan lagi. Dinni mengangkat wajahnya pelan. Reyhan pun sedikit terkejut melihat lelehan air mata di pipinya. “kenapa kamu menangis?” tanya Reyhan. Dinni menelan ludah. “H-habis anda bersikap dingin kepada saya. Anda bahkan memperlakukan saya seperti mahluk gaib yang tidak terlihat.” Reyhan berdehem pelan. “Lho ... bukankah itu bagus? Jadi kamu tidak akan tersiksa lagi dengan berbagai perintah saya.” Jleb. Jawaban Reyhan bagaikan pedang yang langsung menghunus jantung Dinni. “Maafkan saya! saya janji tidak akan melakukannya lagi. “Dinni mengacungkan jari kelingkingnya yang berisi. Reyhan terdiam seraya mengusap-usap dagunya pelan. “Saya benar-benar berjanji akan berubah. Saya tidak akan pernaaaaah membirakan anda seperti itu lagi.” Dinni berucap dengan sungguh-sungguh. “Tapi, saya tidak bisa memaafkan kamu begitu saja. Semua ada syaratnya! Sama seperti kamu yang membuat kesepakatan dengan saya ketika tragedi cicak di rumah sakit itu,” ucap Reyhan. Dinni meneguk ludah. “A-apa syaratnya agar anda memafkan saya?” Reyhan tersenyum simpul. “Segera pulang dan bersiap, karena besok kamu harus ikut keluar kota bersama saya.....” _ Pagi ini Dinni sudah siap untuk berangkat keluar kota bersama Reyhan beserta timnya. Rombongan itu berjumlah cukup banyak dan akan berangkat menggunakan lima unit mobil. Satu mobil dipenuhi oleh barang-barang dan perlengkapan. Tiga mobil lainnya juga sudah terisi penuh oleh para karyawan. Dinni pun beralih menuju mobil yang terakhir dan langsung terkejut disaat membuka pintu mobil itu. Dinni menelan ludah. Mobil itu terlihat sesak dan dipenuhi oleh gerombolan pria saja. Seorang pria berkumis jarang tersenyum, lalu menggeser duduknya begitu melihat Dinni. “Ayo masuk, Neng,” ucapnya. “I-iya.” Meski merasa risih, Dinni pun tetap masuk ke sana. “Dinni...!” Dinni yang baru saja melangkahkan satu kakinya ke dalam mobil kembali keluar karena seseorang memanggilnya.  “A-Ali?” “Kamu juga ikutan?” tanya Ali dengan senyum sumringah. Dinni mengangguk. “Tapi kenapa?” Ali mengernyitkan dahinya. Bersamaan dengan itu Reyhan langsung melemparkan kunci mobilnya ke depan Dinni. “Ayo buruan berangkat,” ucapnya. “A-apa...!?” Dinni sontak terkejut sembari menyambut kunci mobil itu. Ali memiringkan wajahnya, lalu menatap Reyhan. “Kamu nyuruh dia jadi sopir?” “Emangnya kenapa?” tanya Reyhan ketus. “Pak Maman mana?” Reyhan tidak menjawab dan beralih menatap Dinni. “Ayo cepetan berangkat!” Dinni mengangkat kunci mobil itu dengan tangan bergetar. “T-tapi saya nggak bisa nyetir.” Reyhan terbelalak kaget, sementara Ali langsung menyembunyikan senyumnya. “K-kamu nggak bisa nyetir?” tanya Reyhan. Dinni menggeleng lemah. “Gini aja deh....” Ali menepuk pundak Reyhan pelan. “Gimana kalau sopir aku aja yang bawa mobil kamu dan Dinni berangkatnya bareng a—” Ali belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi Reyhan sudah menyeret Dinni untuk segera masuk ke mobilnya. _ Dinni menatap jalanan di depannya dengan perasaan canggung. Bagaimana tidak, ada sosok Reyhan yang sedang menyetir duduk di sampingnya. Awalnya Dinni ingin duduk di kursi belakang, tapi tatapan sadis Reyhan jelas menentang keinginannya itu. Dinni berusaha tenang sambil terus menyeka keringat yang mulai mengucur, sementara Reyhan fokus dengan kemudinya. “S-seharusnya saya berangkat bareng anggota kru yang lain aja,” ucap Dinni. Hening. Reyhan tidak meresponnya sama sekali. Dinni mendesah pendek. Dia mengalihkan pandangannya keluar jendela dan mencoba menikmati pemandangan. Gedung-gedung yang tinggi menjulang kini mulai berganti hamparan hijau yang menyejukkan mata. Dinni tersenyum, kemudian membuka sedikit kaca mobil untuk membiarkan angin mengelus wajahnya. Di sampingnya, diam-diam Reyhan juga mengulum senyum. Pemuda itu ikut menikmati pemandangan alam yang asri. Di depan sana deretan mobil anggota tim dan mobil Ali melaju beriringan. Sepertinya perjalanan bisnis kali ini sedikit terasa lebih menyenangkan. Mereka akan mendatangi sebuah lokasi proyek yang memang terletak di daerah yang cukup terpelosok. Reyhan sendiri cukup antusias menggarap proyek itu. Reyhan perlahan melirik ke arah Dinni dan seketika itu juga langsung terkejut. Gadis semok itu kini sudah terkapar dengan posisi yang kurang sedap dipadang mata. Dinni tertidur dengan kepala oleng ke arah kaca mobil dengan mulut menganga lebar. Reyhan pun tersenyum, lama kelamaan senyum itu berubah menjadi suara kikik tawa yang tertahan. Reyhan terkikik dan segera menutup mulutnya. Bersamaan dengan itu Dinni terbangun dan langsung menatap gelisah. “Kamu kenapa? mimpi buruk?” tanya Reyhan. Dinni menggeleng pelan. Dia meringis lalu meremas tangannya sendiri. Reyhan menatap heran. “Ada apa?” tanyanya. “Anu....” “Apa, sih?” Reyhan mulai gusar. Dinni menatap reyhan, lalu tersenyum malu. _ Dinni merasa lega setelah menyelesaikan aktivitas panggilan alamnya. Setelah cukup lama mencari-cari, akhirnya mereka menemukan sebuah toilet umum di pinggir jalan.  Dinni menepuk-nepuk perutnya yang sekarang sudah terasa nyaman, kemudian kembali masuk ke mobil. Dia menunduk malu dan lekas memasang sabuk pengamannya. “Lama banget, sih,” umpat Reyhan. Dinni tertunduk malu. “Sorry,” bisiknya pelan. Mobil pun kembali melaju. Reyhan terus memacu mobilnya lebih cepat, tetapi mobil rombongan di depannya tidak juga terlihat. Dinni juga menatap jalanan lengang di depannya dengan raut wajah khawatir. “Kamu lama banget sih, jadi ketinggalan kitanya.” Reyhan mendesah pelan. Tidak lama kemudian laju mobil itu pun melambat. Ada dua cabang jalanan di depan sana. Dinni menelan ludah, Reyhan pun menatap sadis ke arahnya. Reyhan menepikan mobil itu, lalu mengeluarkan handphone-nya. Sesaat dia sibuk dengan handphone itu, kemudian mendesah kesal. “Nggak ada sinyal sama sekali,” ucapnya. Dinni terkejut dan langsung mengecek handphone-nya. Benar, tidak ada sinyal sama sekali. “T-terus sekarang gimana?” tanya Dinni. “Pakai nanya lagi... semua ini gara-gara kamu!” bentak Reyhan. Dinni tertunduk lemas. Wajahnya langsung berubah pucat. “A-apa kita coba ke kanan aja?” usul Dinni. Reyhan menghempaskan punggung ke sandaran bangkunya. “Kalau kamu salah bagaimana?” “K-kalau salah, kita tinggal putar balik,” jawab Dinni. “Hahah....” Reyhan tertawa pelan. Dia menyalakan mobil itu kembali, kemudian malah membanting setirnya ke arah kiri. _  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD