"Itu kalo kamu mau. Kalo kamu nggak mau diikuti, kamu tinggal bilang aja aku nggak bakalan itu. Tapi kayaknya nggak bisa, deh, aku pasti bakalan ngikut kamu terus ke mana aja."
Khanza melongo mendengar penjelasan santai Sameer. Pria itu sudah berpindah duduk ke atas nakas, dia mengubah wujudnya menjadi lebih kecil. Seandainya Khanza memasukkannya ke dalam kantong baju pun pasti akan muat.
"Kalo aku ke kamar mandi, masa kamu mau ikut juga?" tanya Khanza dengan nada suara naik satu oktaf. Dia lupa jika tadi memberi tahu Mama bahwa akan tidur, bukan masih terjaga. Sungguh, sepertinya dia tidak akan bisa tidur malam ini. Kantuknya terbang entah ke mana.
Sameer meletakkan telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat pada Khanza agar gadis itu tidak berisik. "Jangan berisik, Khanza, nanti Mama kamu ke sini lagi terus liat kamu lagi ngomong sendiri. Kamu mau dikira gila?"
Mata bulat Khanza membelalak, memprotes apa yang dikatakan pria jin itu. "Maksud kamu apa?" tanyanya tertahan dengan penuh penekanan. "Heh, Mama nggak bakalan ngira aku macam-macam kalo kamu nggak muncul, ya!"
"Aku juga nggak bakalan muncul kalo kamu nggak usap-usap botol tempat tinggal aku," ucap Sameer tak mau kalah. Wajahnya polos seperti wajah bocah berusia tiga tahun.
Wajah polos yang membuat Khanza ingin mencakarnya karena dia yakin Sameer hanya berpura-pura saja. Khanza mendengkus, membuang muka menghindari tatapan Sameer daripada nanti dia benar-benar mencakar wajah tampannya.
"Sayangnya aku masih belum bisa baca pikiran. Coba aja kalo bisa." Sameer bermonolog. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan, sementara siku menumpu pada lutut. Tubuhnya sedikit membungkuk karena melakukan itu.
Khanza mendelik tajam mendengarnya. "Kalo kamu bisa baca pikiran, aku bakalan ngusir kamu dari sini sekarang juga!" katanya kejam. "Ngapain nampung orang yang tahu semua yang ada dalam pikiran kita? Nggak guna!"
Sameer mengerjapkan mata beberapa kali. "Kamu nggak cuman nampung aku kayak gitu aja, lho, Khanza. Aku, 'kan, juga bisa disuruh-suruh sama kamu, terus juga bisa ngabulin permintaan kamu."
"Nggak, makasih!" sahut Khanza judes. Di dalam pikirannya tengah menari-nari bayangan dia tidur bersama seorang pria asing di kamarnya. Sameer pasti tidak akan mau dipindahkan, diusir juga percuma, apalagi dikunci di luar kamar karena pasti dia bisa menghilang ataupun menembus dinding seperti para jin yang dilihatnya di film-film. "Aku nggak perlu apa-apa, jadi nggak ada yang diminta. Lagian, mending minta sama Mama sama Papa, pasti dikasih juga."
"Tapi, aku bisa ngasih kamu yang orang tua kamu nggak bisa ngasih, Khanza!" Sameer bersikeras. Ia masih berusaha membujuk Khanza agar dapat menerimanya. Seorang jin yang tidak diterima oleh tuannya merupakan jin yang memiliki kedudukan terendah.
Tidak ada satu jin pun yang menginginkannya karena mereka akan dikucilkan. Meskipun berasal dari golongan tinggi, jika sudah terbuang ke dunia manusia dan memiliki Tuan, tetapi sang tuan menolak mereka, maka kasta mereka akan turun menjadi yang paling rendah di dunia jin.
"Kamu mau minta apa aja pasti aku kabulkan." Sameer tersenyum lebar menatap Khanza. Ia memejamkan mata satu detik, dan pakaiannya sudah berganti menjadi pakaian yang dikenakan para pria di zaman sekarang ini.
Khanza menatapnya dengan mulut terbuka, matanya juga melebar. Hanya beberapa detik, kemudian kembali seperti sedia kala. Dia menggelengkan kepalanya, menyesali kebodohannya kenapa bisa sampai terpesona pada sosok Sameer yang notabene memang sangat tampan jika dibandingkan dengan pria lainnya. Bahkan diakui Khanza Sameer lebih tampan dari Papa.
Tampan, sayangnya jin!
Khanza membuang muka, menghindari menatap Sameer yang kini melayang di bagian kaki tempat tidurnya. Sungguh, pria itu sangat menyebalkan baginya. Bagaimana mungkin Sameer mengatakan semua tentang dirinya dengan gamblang seperti itu, seolah yakin jika dia akan memercayai semua yang dikatakannya. Lalu, apa katanya tadi? Bisa mengabulkan apa pun keinginannya?
Astaga, rasanya Khanza sangat ingin tertawa keras-keras sekarang. Dia seorang yang realistis, tidak percaya pada sesuatu yang bisa terjadi secara instan meskipun dengan bantuan makhluk gaib. Dia adalah tipe orang yang percaya pada sebuah pengorbanan. Maksudnya, untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, kita harus mengorbankan sesuatu yang lain.
Memang terdengar seperti terlalu dipaksakan, tetapi dia memberi tahu yang sebenarnya.
"Aku mengantuk."
Khanza terpaksa menatap Sameer mendengar kata-kata itu. Seorang jin juga bisa mengantuk? Rasanya tidak bisa dipercaya,tetapi Khanza melihatnya. Sameer menguap, matanya terlihat meredup. Pria itu melayang menuju botolnya yang tadi dikembalikannya ke tempat semula.
"Selamat malam, Khanza, selamat tidur. Sampai besok." Sameer berubah menjadi asap, kemudian menghilang ke dalam botol antik berwarna biru yang ditemukan Khanza di pantai waktu itu.
Khanza mengerjapkan mata, tubuhnya melemas, kemudian terbaring tanpa terdengar sedikit pun suara darinya. Tubuhnya merosot, rasanya lemas. Setelah Sameer menghilang ke dalam botol, barulah Khanza merasakan jantung berdebar, napas tersengal, dan tubuh bergetar.
Tadi, Khanza tidak sadar. Dia terlalu terpukau sehingga mengabaikan reaksi tubuhnya. Khanza memegangi d**a kirinya yang masih saja berdebar, berbaring miring ke sebelah kanan menatap lemari penuh botol antik yang didapatkannya dari berbagai tempat.
Salah satu botol yang menjadi penghuni lemari yang keseluruhan terbuat dari kaca itu adalah botol berwarna biru milik Sameer. Botol yang menjadi favoritnya beberapa terakhir. Lantas, setelah semua kejadian ini, masihkah Khanza menjadikan botol itu sebagai favoritnya?
Mata Khanza perlahan terpejam setelah menguap beberapa kali. Dia mengalah pada kantuk yang mengambil kesadarannya secara perlahan.
***
Suara alarm yang super kencang tak hanya membangunkan Khanza, tetapi juga membangunkan Sameer yang tengah terlelap di dalam botolnya. Padahal dinding-dinding botolnya memiliki peredam suara alami yang dapat menahan suara sekeras apa pun, terapi tak dapat menahan suara Claudya.
Iya, alarm alami Khanza adalah suara Mama yang kerasnya mengalahkan terompet di malam tahun baru. Bila Mama sudah berteriak, selelap apa pun tidurmu pasti akan terbangun.
Khanza tergarap. Matanya terbuka dengan cepat selama satu detik, di detik berikutnya kembali terpejam secara perlahan. Sampai terdengar ketukan di pintu kamarnya, barulah mata Khanza benar-benar terbuka.
"Iya, Mama! Khanza udah bangun!" seru Khanza sambil menguap. Dengan malas dia menyibak selimut dan menurunkan kaki. Menarik kembali kakinya dengan cepat saat bersentuhan dengan lantai kamar. Rasanya dingin seolah sampai ke tulang.
Khanza menarik kakinya kembali. Celingukan beberapa saat mencari sandal tidur yang ternyata berada di kolong tempat tidur. Khanza menurunkan kakinya kembali ke atas sandal tidur yang empuk dan hangat, kemudian dengan sangat amat terpaksa menyeret kakinya menuju kamar mandi. Dia harus membersihkan diri sekarang atau akan terlambat.
Hanya lima menit, Khanza sudah siap dengan seragam sekolahnya. Bergegas dia turun, tak ingin mendapat panggilan dari Mama lagi.
"Tumben bentar banget udah turun aja. Biasanya, 'kan, kamu dipanggil sekali lagi baru muncul."
Khanza mengabaikan sindiran Mama. Dia terlalu lapar karena tadi malam tidak sempat makan malam. Salahkan juga mimpinya yang sangat aneh tadi malam. Botol antiknya adalah tempat tinggal seorang jin!
Astaga! Benar-benar melantur. Untung saja hanya mimpi, jika kenyataan entah apa yang akan dilakukannya.
"Selamat pagi, Khanza!"
Sapaan itu membuat Khanza tersedak. Ada sepotong kecil roti yang langsung melewati tenggorokannya tanpa proses pengunyahan oleh gigi. Mata Khanza melebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sameer berdiri dengan manis di belakang Mama.
Dada Khanza berdebar kencang, jantungnya melompat-lompat di atas trampolin. Rasanya dia ingin pingsan, tetapi tidak bisa. Jika itu adalah Sameer, lalu apakah mimpinya tadi malam bukanlah mimpi, melainkan kejadian nyata yang benar-benar terjadi?
Astaga, astaga! Khanza merasa dia tak dapat bernapas. Seluruh udara di sekelilingnya seakan disedot oleh Sameer.
"Makan yang bener, Kha!" tegur Mama. "Keselek, 'kan, jadinya?"
Khanza mendelik. Dia tersedak bukan karena makannya yang terlalu cepat dan tidak hati-hati. Akan tetapi karena penampakan pria super tampan yang berdiri tepat di belakang bangku Mama.
Cepat Khanza meraih gelas berisi air putih. Dia tidak ingin mengambil resiko tersedak lagi jika meminum s**u. Tidak ada jaminan Sameer tidak akan berulah pagi ini.
Khanza menggeleng pelan, meletakkan gelas air putihnya tepat di sebelah gelas s**u yang berada di depannya. Dia melanjutkan sarapan sambil sesekali mendelik judes pada Sameer yang sekarang duduk di sebelahnya.
Jujur saja, Khanza tidak tahu apa yang diinginkan Sameer. Apakah dia juga makan seperti mereka bangsa manusia, atau tidak makan sana sekali. Jangankan menemukan jawaban untuk itu, sekarang saja Khanza masih berpikir bahwa Sameer hanyalah mimpinya saja, atau khayalan. Yang pasti jin itu tidak nyata.
"Hari ini kami diantar Papa atau sama Pak Dudung?" tanya Papa melihat Khanza sudah menyelesaikan sarapannya.
Gadis itu mengusap kedua sudut bibirnya sebelum menjawab. "Kayak biasanya aja, Pa. Ntar Papa jalannya muter, aku nggak mau telat."
Papa tertawa. "Jalan muter, 'kan, biar nggak macet, Kha." Ia membela diri.
"Iya, sih, nggak macet." Khanza berdiri, merapikan rok sekolahnya. "Tapi, 'kan, tetap aja lama sampainya. Jauh banget!"
"Kata siapa jauh banget?" tanya Papa ngeyel. "Deket, kok, sana kantor Papa, Kha."
Khanza mendengkus. Lawakan Papa selalu terlalu garing sehingga dia tidak tertawa. "Papa nggak lucu pake banget," ucapnya menatap Papa dengan mata memicing. "Udah, ah! Aku berangkat sekarang. Ntar telat beneran lagi!"
Setelah mencium tangan Papa dan Mama, Khanza langsung berlari kecil menuju keluar. Tanpa menyapa Pak Dudung seperti. jasa, dia langsung memasuki mobil.
"Kamu ...?" Khanza mengurungkan niatnya untuk bertanya kepada Sameer, apa yang dilakukan jin itu di mobilnya, melihat Pak Dudung membuka pintu mobil. Khanza mengerucutkan bibir, membuang muka tak ingin menatap Sameer yang duduk di sebelah kanannya.
"Sudah menjadi kewajiban bagi aku untuk selalu mengikuti ke mana pun kamu pergi, Khanza," ucap Sameer lirih. Ia menyadari Khanza tak menginginkan kehadirannya. Gadis itu merasa terganggu, tetapi ia juga tidak dapat berbuat apa-apa karena ini sudah perturan di dunianya. Jika ditolak, mereka berdua akan sama-sama merasa kesakitan pada akhirnya.
Khanza bergeming, dia bahkan memasang headset di telinganya agar tidak mendengar perkataan Sameer. Bibir mungilnya mengerucut sebagai bentuk protes. Khanza menyandarkan punggung, memejamkan mata, berpikir tentang kejadian aneh yang menimpanya. Seandainya masalahnya bukan berhubungan dengan mitos dan bangsa jin, mungkin dia masih dapat menerimanya.
"Aku bakalan ngabulin tiga permintaan kamu."
Khanza langsung membuka mata mendengarnya. Kepalanya memutar ke arah Sameer dengan cepat, menatap pria itu yang juga menatapnya sendu. Jika saja tidak ada Pak Dudung bersama mereka, Khanza ingin menanyakan. kesungguhan Sameer tentang tiga permintaan itu.
"Aku serius, Khanza!" Sameer mengangguk. "Kamu bisa minta apa pun sebanyak tiga kali, habis itu aku bakalan pergi dari kamu, selamanya."
Penawaran yang sangat menarik. Khanza mengangguk-anggukkan kepala tak kentara. Dia tak ingin Pak Dudung melihatnya dan curiga. Lebih parah lagi dia dikira gila.
Dengan gerakkan matanya, Khanza meminta Sameer untuk diam. Mereka akan membicarakannya hanya saat berdua saja agar tidak ada yang curiga padanya lagi seperti Mama tadi malam.
Beruntung Sameer mengerti. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tak ada lagi yang berbicara. Pak Dudung juga tidak berkata apa-apa, beliau fokus menyetir saja.
Kebisuan mereka sampai tiba di sekolah. Khanza langsung keluar mobil setelah pamit pada Pak Dudung. Sameer mengikuti di belakangnya. Meskipun merasa risi, Khanza membiarkan, dia perlu berbicara dengan Sameer nanti saat istirahat.
"Aku boleh ikut masuk ke kelas kamu nggak, Khanza?" tanya Sameer saat mereka menaiki tangga yang akan membawa mereka ke lantai dua, di mana kelas Khanza berada.
Sekolah Khanza memiliki tiga lantai. Lantai pertama adalah lantai di mana kelas X, ruang guru, dan perpustakaan serta kantin berada. Kelas XI, kelas XII, kantin, kamar kecil, berada di lantai dua. Lantai tiga khusus untuk kegiatan ekstrakurikuler.
Khanza diam, tak menanggapi karena mereka.masih di lorong kelas. Dia tak ingin disebut gila oleh siswa-siswa yang berpapasan dengan mereka.
"Biar aku larang juga kamu tetap bakalan ikut masuk, 'kan?" tanya Khanza mengerucutkan bibirnya. Mereka sudah berada di depan pintu kelasnya yang terbuka sebagian. Setiap ruangan di sekolahnya memiliki pintu berdaun ganda.
Sameer meringis. Apa yang dikatakan Khanza benar, ia tetap harus ikut. Mereka sudah terikat, tak dapat dipisahkan kecuali Khanza sudah mendapatkan permintaannya yang ketiga. Ia meminta izin hanya sekedar berbasa-basi saja. Selain itu juga ingin bersikap sopan di dunia manusia.
Beberapa orang temannya yang sudah pernah pergi ke dunia manusia terlebih dahulu mengatakan, manusia itu tak jauh berbeda dari mereka, bahkan ada beberapa dari manusia yang sangat serakah sampai-sampai meminta untuk diberikan sepuluh permintaan lagi pada permintaan ketiga.
Namun, Sameer yakin Khanza tidak seperti itu. Meskipun terlihat sangat tertarik, ia yakin Khanza berbeda.
"Udahlah!" Khanza mengibaskan tangan kemudian masuk ke kelasnya. Meletakkan tas di atas meja dengan sedikit keras untuk menarik perhatian Mira yang tengah sibuk dengan ponselnya.
Sebenarnya Khanza ingin menceritakan perihal Sameer pada Mira. Dia merasa harus menceritakannya pada seseorang atau akan gila karena tidak sanggup menanggung semua ini.
Namun, dia tak yakin jika Mira akan memercayainya. Mira tidak dapat melihat Sameer sama seperti Mama dan papanya. Buktinya, dia tetap fokus pada ponselnya meskipun tangan Sameer mengibas beberapa kali di depan wajahnya.