David Mahendra dia juga salah satu sahabat Arumi seperti Jihan, bagaimanapun sinis dan dinginnya Arumi, hatinya tetap milik gadis itu. Seperti menyukai dalam diam, sama hal Jihan pada David.
Jangan lupakan Kevin Pratama lelaki yang begitu tau bagaimana sosok pendiamnya Arumi sejak kecil. Benar. Dia anak Angga dan dokter Karin.
Mengikuti jejak sang mama, lebih tepatnya tidak ingin jauh-jauh dari Arumi. Jadi, kemanapun Arumi pergi dia selalu ada. Jika ditanya jawabannya hanya satu, "Arumi harus dijagain dari cowok-cowok b******k. Kalaupun ada yang mau dekat-dekat buat modus ya silahkan aja. Silahkan langkahi dulu si David." David kalah, dia baru manggil orang-orang, bagian dia kan cuma jagain Arumi nggak salah dong.
Asem emang.
Masih ingat bagaimana Kevin ingin dekat Arumi, mencoba untuk dilihat Arumi agar selalu bersama dan rasa suka dari kecil kini berubah jadi sayang seorang kakak ke adik.
Ditambah lagi setelah Kevin tau Abrina wanita yang papa dan paman Nino ingin lindungi dengan status sebagai saudara. Makanya orang-orang pada taunya Kevin ya sepupu Arumi bukan pacar atau calon. Dan sudah pasti, dia dan David jadi bodyguard Arumi serta Jihan sejak mereka SMP.
Elvano pernah sekali bertanya, apa diantara kedua laki-laki yang berteman dengan Arumi adakah perasaan spesial pada putrinya? Jawabannya… tidak.
Bukan karena takut atau soal status mereka berbeda, sayang itu ada, hanya saja sebagai saudara dan itu sudah dijadikan loyalitas untuk terus memegang janji tidak akan jatuh cinta satu sama lain.
Sayangnya tanpa sepengetahuan ke-tiga sahabatnya ini, David ingkar. Perasaan itu ada ketika memasuki masa remaja SMA.
Sialnya, Arumi malah tau tetapi memilih pura-pura tidak tahu dan bersikap biasa-biasa saja. Arumi tidak akan memberitahu Kevin dan Jihan selama David melupakan perasaan tersebut. Lagipula, Arumi bukan tipe gampang jatuh cinta. Dunianya dipenuhi para laki-laki dari keluarga Logan. Jadi, sudah pasti dia tidak merasa kekurangan cinta tidak peduli orang lain berkata masalah itu berbeda. Sudah pasti mereka berpikir, Arumi gadis aneh dan tidak tau rasanya jatuh cinta.
Kenyataan bahwa Arumi memang tidak menginginkan dicintai oleh orang lain selain keluarganya. Arumi tidak butuh kasih sayang dari lawan jenis selama kasih sayang dari keluarganya tidak berkurang.
Meski sakit, David berhasil melakukannya selama ini dengan menyukai Arumi dalam diam.
Tok.tok.tok.
Ketukan dari luar membangunkan Arumi yang sempat tertidur sebentar tadi.
"Anty?"
"Hellow… it's me."
A-apa harus menyanyi? Me-merdu sih, sopan banget malahan dengernya. Tapi, tetap saja Arumi tidak langsung bergerak dari tempatnya.
"Ada apa? Uncle butuh sesuatu?"
Sekedar basa-basi sebelum pelan-pelan turun dari kasur berjalan lebih pelan lagi ke arah pintu dan mendekatkan telinga di daun pintu menguping lebih tepatnya.
"Kalo soal sakit, hati saya sakitnya bukan main wkwkwk."
Ckh. Masih sempatnya bercanda soal sakit hatinya. Arumi jadi… makin tidak peduli juga. Yakin?
"Baiklah, jangan marah."
Siapa yang marah woi!? Arumi memutar bola matanya masih dengan posisi menguping.
"Tadi orang kantor Jay Hyung datang bawa barang saya, terus dia bilang kita mesti jemput Ruby soalnya Jay hyung sama Lintang lagi ngurus sesuatu. Kalau nggak percaya, periksa ponselmu."
"Saya tunggu dibawah.".
Habis itu, tidak terdengar apapun lagi. Dirasa Kookie benar-benar sudah pergi, Arumi langsung meraih handphone dan disana beberapa panggilan dari Jayden dan Lintang serta pesan wassap. Rata-rata mereka minta Ruby di jemput.
Arumi menghela nafas sudah pasti dia dan Kookie harus jalan berdua lagi. Kenapa harus dia?
"Oh? Emangnya ada apa sama dia? Gak ada apa-apa kan? Iya dong, ngapain susah. Dasar Umi bego."
Mengetuk keningnya tertawa sendiri meraih blazer cardigan nya tak lupa tas kecil dan dompet sudah pasti.
Melepas kacamata bulatnya, melihat tatanan rambut sedikit tak enak dipandang, ia meraih headband tali biar bisa di kepang dua.
Arumi menggeleng melepas headband dari kepala, memilih mencepol asal rambutnya setelah itu keluar dari kamar.
Simpel dan santai malah terkesan lebih menyegarkan enak dipandang tidak menye-menye, itulah yang Kookie lihat dari penampilan Arumi.
Benar-benar pemikat. Batinnya melirik Arumi sekilas sebelum mobil meninggalkan pekarangan rumah.
"Menunggu di sana atau ingin kemana dulu?" tanyanya mencoba tetap fokus ke depan. Takutnya kalau keseringan nengok samping, perasaannya tidak bisa dikontrol.
Tak dipungkiri, Kookie deg deg an jalan berdua doang sama Arumi. Ini seperti sedang ngedate. Maunya sih begitu, sayang dia punya anak dan istri yang selingkuh. Waw… perfek marriage sekali bukan? Rasanya ingin tertawa bagaimana dia harus menahan diri untuk berpura-pura polos.
Arumi berdehem. "Sebelum bertanya sama saya, uncle harusnya nanya sama diri sendiri mau kemana? Ya siapa tau uncle mau nenangin diri, siapa yang tau." Ucapnya menarik perhatian Kookie. Pria itu tersenyum tipis melihat Arumi lewat ekor mata.
Dengan Arumi mengatakan itu, sudah pasti dia merasa dikasihani. Ya emang sih, diselingkuhi begitu menyedihkan. Siapa saja bisa mengasihaninya termasuk gadis yang pernah menjadi korban.
"Saya bukan kasihan, nggak ada yang perlu dikasihani juga. Cuma ya… ngasih tau aja, pura-pura itu butuh tenaga dan siapa tau dengan uncle seneng-seneng disini bisa jadi tenaga buat senyum nanti terutama untuk baby Ha Neul."
Arumi mengulas senyum manis. Sungguh, wajahnya terlihat sangat cantik. Terasa candu jika terus memandangnya.
"Apa saya bisa?"
Kookie tidak mengelak kalau dia tidak menyangka rumah tangga akan seperti ini, dia pesimis bisa bertahan.
"Bisa. Seperti daddy. Jadikan anak uncle sebagai kekuatan dengan begitu apapun yang terjadi, semuanya bakal berjalan dengan baik. Lupakan sebentar prinsip hidupmu, supaya kamu bisa mengerti jalan pikiran orang lain. Dengan begitu kamu bisa mengerti semuanya dan paham apa yang harus dilakukan kedepannya."
"Nggak mudah sih, syukur-syukur seseorang bisa mendukung kita biar bisa lebih kuat, lebih teguh lagi buat bertahan."
Raut wajah Kookie nampak berubah, helaan nafasnya terdengar berat. Arumi sudah menduganya jika Kookie mungkin tidak nyaman dengan pembahasan ini. Hanya saja, Arumi juga tidak mau menyimpan pengetahuannya.
Bukan sok tau, sok mengajari orang yang lebih tua darinya, pengalaman masa lalu memberikan kesempatan untuknya belajar bagaimana cara bertahan dari keegoisan seseorang.
Arumi berharap bisa se tegar mommy nya dalam menghadapi semua halangan untuk bisa merasakan kebahagiaan. Siapapun wanita itu, bagaimanapun dia bertahan, Arumi tidak peduli. Sejak kecil itulah janjinya meski dulu sama sekali tidak tahu secara kasar pekerjaan sang mommy seperti apa, selama kasih sayang wanita itu tidak berubah.
Sampai sekarang sang mommy sudah membuktikan hal tersebut. Nggak ada sebutan ibu sambung atau membedakan dia sama adik-adiknya, semua sama rata. Dan Arumi sangat sangat bersyukur karena Tuhan mempertemukan mereka.
Kookie diam sesekali menunduk, memalingkan wajahnya ke lain arah. Mencoba menutupi perasaan di hadapan Arumi juga percuma, umur Arumi memang jauh lebih muda darinya tetapi pengalaman patut diacungi jempol. Kookie mengerti maksud Arumi, hanya hatinya belum siap untuk melakukan keterpura-puraan demi anaknya.
Kali ini Arumi melihat Kookie tersenyum, entah apa makna di balik senyuman itu karena tiba-tiba Arumi merasa ada kehangatan yang terpancar di wajahnya. Kehangatan yang terasa abu-abu.
David bilang dia hanya perlu mengurangi Alkohol, dia tidak mengatakan neurokimia seperti dopamin dan oksitosin membanjiri wilayah di otak yang berhubungan dengan rasa senang juga bisa menjadi masalahnya saat ini.
David dokter spesialis jantung, seharusnya lelaki itu tak hanya menyalahkan alkohol, karena bisa saja banyak penyebab debaran jantungnya yang berdegup kencang ketika melihat pria disampingnya ini.
Sejujurnya dia senang melihat Kookie tersenyum seperti dulu saat pria itu memilih mengalah demi kebahagiaan pujaan hatinya.
Soal bagaimana dia bisa tak sadarkan diri malam itu… ia pun bingung tidak biasanya bakal ambruk hanya karena mabuk sampai melakukan hal bodoh dengan… ah sial.
"Panas? Mau saya tambah pendingin udara nya?" Tanya Kookie melihat Arumi membuka jendela mobil.
Arumi menggeleng kecil tanpa melihat Kookie tengah mengulas senyum kemudian menggigit bibir bawah melihat semburat merah mudah di pipinya.
Sepertinya Arumi lagi-lagi harus konsultasi dengan dokter. Kali ini, dokter Dermatologi adalah tujuannya. Dia memang dokter, tapi untuk mengurus soal pembuluh darah di wajah juga mesti ditangani oleh spesialisnya sendiri. Dokter masing-masing punya kelebihan dan kekurangan bukan, seperti dia yang merasa bodoh jika berhubungan pria lain selain anggota keluarga.
Ini sangat mengganggu. Kenapa aku terus memikirkan orang ini?
Sibuk mempertanyakan dirinya sendiri, Arumi terpaksa memalingkan wajah ke arah Kookie kala mobil berhenti di sebuah kastil tua.
"Pura-pura polos juga butuh tenaga bukan, ayo turun."
Oke itu benar, soalnya omongan itu darinya. Tapi, lagi-lagi cara pria ini tersenyum membuatnya sesaat tertegun.
"Thanks."
Ucapan terima kasih atas perlakuan Kookie membuka pintu untuknya, hanya dibalas cengiran.
"Satu setengah jam sebelum kita jemput Ruby, saya mau ngajak kamu ke tempat tempat indah disini termasuk kastil ini."
Mendengar itu Arumi bertanya, "Kenapa?"
"Kamu juga butuh healing biar bisa konsentrasi di meja operasi. Benarkan?"
"I-iya sih."
"Ya udah, ayo."
"Eh!"
Arumi tersentak dalam keterkejutan merasa tercekat ketika Kookie begitu santai meraih pergelangan tangannya dan menariknya pergi. Sedari tadi mata bulat Arumi tak bisa lepas dari tangannya.
Apa yang sebenarnya Kookie pikirkan sampai melakukan hal ini, kalau cuma mau jalan-jalan tidak perlu digandeng kali, dia juga bisa jalan… bukan lagi. Kali ini jari-jari mereka saling mengunci.
Dengan langkah sedikit terseret, Arumi berhenti tak sengaja dahinya mengenai punggung keras Kookie yang tiba-tiba berhenti tepat di depannya.
Arumi menaikkan pandangan membalas tatapan lembut Kookie. Tangannya terasa melayang, mengikuti arah tatapan Kookie saat pria itu mengangkat tautan jari mereka.
Tanpa merasa bersalah, Kookie hanya berkata.
"Nggak nyaman? Kalau gitu seperti ini saja."
Meski jari tidak saling berpaut Kookie kini mengubah cara gandeng mereka dengan mempertemukan kedua telapak tangan.
"Bagaimana, sudah lebih baik?"
Entah Arumi polos atau loading di kepalanya masih on proses, dia mengangguk pelan, Kookie semakin melebarkan senyumnya.
"Ayo masuk. Ah, sebelum itu kita beli minum sebentar takut kamu mabuk. Di luar sini terlihat nggak terlalu padat, beda kalau udah di dalam pengunjung sedikit berdesakan."
"Mau minum apa?"
Arumi langsung memundurkan kepalanya melihat wajah mereka sedikit lebih dekat begitu Kookie berbalik bertanya padanya. Ia melihat sekitar van coffee shop tak sedikit terlihat berpasangan, atau bersama keluarga mereka.
Ini sedikit ambigu sih buat dia. Bersama seorang pria saling bergandengan tangan, di tempat keramaian lagi. Aduh… ini sebenarnya ada apa?
"Hei, kok malah bengong celingak-celinguk sih, kasian yang lain."
Itu juga gara-gara anda tuan. Ckh.
"Es teh aja." Celetuknya mendapat tatapan menyipit oleh Kookie.
"Salahnya dimana? Kan tadi tanya mau apa, ya saya maunya__"
."Tidak dengan es teh. Kamu kira ini warung pinggir jalan di Indonesia? Bukan dokter cantik." Kookie segera memotong sebelum Arumi semakin ngawur dan tentunya menyebalkan
"Nggak usah ngomong kalo saya memandang mereka rendah, udah hafal otak sama mulut cantikmu itu. Udah ah, nanya kamu yang ada tutup nih tempat." Omel nya memesan Cold Brew tanpa melihat kini Arumi tengah mencebikkan bibir gemas mau gigit tangan Kookie.
Menit berikutnya, Arumi ditarik lagi dan kali ini mereka berjalan ke arah pintu masuk kastil.
"Nggak usah manyun begitu, ini minumnya. Ucapan terima kasih nya mana cantik?"
Senyum menyebalkan tercetak sempurna di kedua sudut bibir Kookie. Seketika Arumi ikut tersenyum lebar lebih tepatnya senyum paksa.
"Terima kasih uncle atas minumannya. Patut di contoh lho ini, seorang paman jajanin ponakannya pake digandeng malahan hehe."
Senyum menyebalkan itu pudar digantikan muka datar.
"Benar juga ya, biarpun kamu tinggi bak model, tapi masih kelihatan kecil pendek dari saya. Jadi, sebagai paman yang baik harus menjaga keponakannya takut hilang kasian soalnya. Ayo nak."
"Haish. Bisa pelan-pelan nggak nariknya."
Arumi melontarkan protes saat Kookie menariknya masuk sedikit keras. Dan jawaban Kookie hanya…
"Nggak."
"Menyebalkan."
"Tidak peduli pun."
"Dasar tua-tua keladi."
"Umur boleh tua, urusan muka saya menang. Lagian itulah gunanya baby face, banyak pengetahuan apalagi urusan gadis-gadis cantik seksi apalagi hot, yahuud sis."
Plak. Arumi melotot spontan memukul bahu Kookie. Sayangnya Kookie cuma nengok meletin lidah Arumi masa bodoh.
Waahh… Arumi gigit bibir berdecak kesal tangannya gatel pengen menjahit mulut pria tua ini. Omongannya bikin Arumi kena darah tinggi, mau marah aja pokoknya.
"Huft, sabar Arumi sabar… anggap aja om om butuh perhatian. Mungkin aja dia juga butuh belaian ditinggal pergi."
Bodo amat Kookie tersinggung atau gak dengan omongannya, kali ini dia beneran gondok. Udah dari tadi di tarik sana sini, malah ngomong nggak jelas. Bukan apa-apa gak suka aja denger dia santai ngomong gitu. Terus masalahnya dimana? Itu juga tidak ada hubungannya dengan dia 'kan, lalu apa? Arumi jadi takut Kookie marah karena tersinggung.
Langkah Arumi mundur meski pegangan tangan tak ada tanda-tanda di lepas, malah semakin erat. Buru-buru memalingkan muka melirik Kookie yang terdiam melempar tatapan lekat, dia jadi gugup.
"Ngomong apa barusan?"
Kan marah. Suaranya saja dingin dan tajam seperti itu, sedikit merinding sih dengernya.
"Ayo jawab. Arumi lihat kemari matanya jangan kelayapan seperti itu. Dengar saya ngomong 'kan, saya lagi tanya tadi kamu menyinggung dengan kalimat apa?"
"I-itu… anu… ma__"
"Kalau begitu bagaimana kalau kamu yang memberikan saya perhatian sekaligus belaian. Otte?" Lontar Kookie polos menaik turunkan alis. Jangan lupakan cengiran kelincinya itu.
Matilah kau kelinci tua sialan!
Ps. Hyung ( abang ), Otte ( bagaimana )