4. Berusaha Tidak Curiga

826 Words
"Ibu, Bapak, maaf, saya gak ikutan ya. Sebenarnya saya sudah masak nasi goreng, sayang kalau tidak ada yang makan. Saya sarapan di rumah saja, Bu, Pak. Maafkan saya hari ini kalau udah bikin Ibu kesal." Esti menunduk, lalu segera berbalik masuk menuju pintu depan. Kulihat mulut suamiku setengah terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. "Okelah, kita jalan sekarang ya. Udah lapar." Masa Galih mengecup pipiku, lalu mulai menekan pelan pedal gas. Ia tidak mengomentari penolakan Esti yang tiba-tiba. Aku merasa terlalu besar mencurigai suamiku, mungkin karena perubahan hormon karena aku belum juga datang bulan. Jika memang mereka menyembunyikan sesuatu, parti Mas Galih keberatan kalau Esti tidak ikut, tetapi ini suamiku bersikap biasa saja. Kami memilih tempat sarapan di daerah Cijantung. Suamiku makan dua mangkuk bubur ayam, sedangkan aku hanya sanggup menghabiskan sepiring lontong sayur. Kami tidak banyak bercakap-cakap karena Mas Galih yang terlalu fokus pada sarapannya. "Kamu kelaparan, Mas? Habis kerja berat?" ledekku sambil menggelengkan kepala. "Iya, aku lapar banget, Sayang. Ini aja masih kurang." Aku tercengang, apalagi saat Mas Galih sudah mengangkat tangan memanggil pedagang ketoprak. "Mas, pesen ketoprak satu ya." "Pedes gak?" "Sedang aja." Suamiku menyuapkan kerupuk bubur yang terakhir ke dalam mulutnya. "Es teh manis dua, Bang!" Serunya lagi pada penjual minuman. "Mas, kamu makannya serem amat! Lambung kamu nanti luka loh, makan jangan berlebihan!" Tukasku mengingatkan. Mas Galih hanya tersenyum, lalu merangkul pundakku dengan mesra. "Aku harus banyak makan sayang, biar aku selalu kuat." Aku menatapnya aneh. "Kuat mencari uang untuk istri tercinta," ujarnya meneruskan. Aku memutar bola mata malas. Ini hari Sabtu dan hampir setengah hariku hanya menemaninya makan semua jenis makanan yang dijual di food court pinggir jalan itu. "Mas ke mall yuk!" Aku mengguncang tubuhnya yang tengah berbaring di kamar. Ia kekenyangan karena banyak makan, sehingga matanya berat. "Kamu aja, Sayang. Aku ngantuk. Makan hari ini enak sekali semuanya. Sampai-sampai aku gak sanggup untuk duduk. Apalagi harus keliling mall. Ambil ATM-ku di dompet. Kamu memang punya penghasilan, tetapi uang suami adalah uang istri. Beli apa yang mau kamu beli." Aku tersenyum senang. Lekas aku bangun untuk mengambil ATM dari dompet Mas Galih. "Makasih, Mas. Aku siap-siap dulu." Setelah rapi, aku baru ingat akan obat milik Esti, tetapi baru saja aku berbalik badan ingin memberitahu suamiku, ternyata Mas Galih sudah tidur dengan sangat lelap. "Esti, aku keluar sebentar. Mungkin jam empat baru pulang," kataku pada Esti yang sedang menyetrika di kamarnya. "Iya, Bu, siap. Hati-hati di jalan." Aku mengendarai mobil suamiku menuju mall. Tidak perlu ada yang aku curigai di dalam rumahku karena semua berjalan seperti biasanya saja. Aku memperhatikan Esti dari spion seperti tengah mengunci pagar. Ya, mungkin karena dia menyetrika dan suamiku tidur, sehingga ia merasa lebih aman kalau dia mengunci pintu pagar. Aku menghela napas lega. Setelah ada banyak pikiran buruk muncul di kepala, kini benar-bemar ditepis dengan keadaan di depan mataku. Esti perempuan baik-baik dan obat yang kemarin mungkin memang obat kolesterol, hanya saja bungkusnya yang mirip. Aku tentu saja menggunakan ATM Mas Galih dengan sebaik mungkin dan sebanyak mungkin. Beberapa baju mahal, make up, casing ponsel apel digigit, makan, bahkan aku membeli cincin emas model lingkar tipis. Bukan lagi jam empat, tapi aku pulang jam tujuh malam. Klakson kutekan dua kali, tidak lama Esti keluar dengan rambut yang terbungkus handuk kecil. Baju kebesaran dan juga celana bahan kaus motif kotak-kotak. "Baru mandi, Es?" "Iy, Bu, gerah banget. Tapi gosokan dua gunung akhirnya selesai semua," jawabnga sambil menutup kembali pintu pagar. "Baguslah." "Ibu mau makan?" "Tidak, saya sudah kenyang belanja dan makan di mall tadi." Esti tersenyum tipis sambil mengangguk. "Biar saya bawakan, Bu!" Esti mengambil empat totte bag di tangan kananku, sedangkan aku memegang dua totte bag di tangan kiri. Aku langsung masuk ke dalam kamar, tetapi Esti menaruh belanjaanku di depan pintu. "Bu, saya mau rebahan ya. Sayur udah saya panaskan kalau bapak mau makan. Pinggang saya mau copot karena kelamaan duduk." Aku mengangguk. Esti pun melangkah pergi meninggalkanku dan aku baru saja menyadari ada yang aneh dengan langkah Esti. "Esti, kaki kamu kenapa?" tanyaku berseru. Wanita itu berbalik dengan terkejut. "Kenapa, Bu?" "Itu, jalan kamu aneh sekali. Kamu sakit pinggang apa sakit kaki?" "Oh, ini, kaki saya keram, Bu. Keasikan gosok baju sambil dengar ceramah, malah kaki saya gak gerak-gerak. Udahannya keram. Gitu, Bu. Mari, Bu, saya mau rebahan dulu." Ia langsung pergi tanpa mendengar komentarku. Aku pun menekan kenop pintu. "Kamu baru mandi, Mas?" tanyaku heran. "Iya, Sayang. Baru bangun tidur, rasanya gerah sekali. Nunggu kamu pulang, lama sekali. Jadi aku mandi deh. Gimana belanjanya, dapat? Kayaknya info M-banking aku tembus tiga puluh lima juta." Aku tertawa sambil mengangkat semua belanjaanku. "Spesial for you my queen." Mas Galih mendaratkan ciuman di bibirku. Namun, aku tidak membiarkan dia melepasnya. "Aku pengen, Mas." Wajah suamiku mendadak kaku. "Aku capek, Sayang. Besok aja ya." Aku menunduk kecewa, tetapi aku baru sadar di bawah kakiku ada bungkusan yang sangat aku hapal. "Apa ini? Mas, kamu pakai alat pelindung ini? Gila, isinya sama siapa kamu pakai? Esti, iya?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD