1. Obat Kuat di Laci Lemari
"Esti, baterai jam dinding kamu simpan di mana?" tanyaku pada Esti yang tengah memasak sarapan.
"Oh, ada di laci kamar saya, Bu. Sebentar saya ambilkan."
"Biar aku saja. Kamu lagi goreng ayam, nanti malah ayamnya gosong." Aku tersenyum. Pembantu yang sudah setahun bekerja di rumahku ini menurutku sangat baik dan patuh. Tentu saja aku cocok dan aku berharap Esti mau lama bekerja padaku.
"Maaf, jadi merepotkan Ibu," balasnya dengan setengah membungkuk. Aku mengibaskan tangan. Pintu kamar belakang tempat Esti tidur, aku buka perlahan. Aroma pewangi setrikaan langsung masuk ke hidungku. Esti memang menyetrika di kamarnya, karena ada kipas angin yang menempel di langit kamarnya. Gak gerah jadinya, itu kata Esti.
Aku membuka laci lemari untuk mencari baterai jam. Namun, aku mengerutkan kening saat melihat ada satu papan kapsul dan juga dua jenis tablet. Esti sakit apa? Kapsul isi sepuluh itu, tersisa lima lagi. Berarti Esti sudah meminumnya. Begitu juga dengan dua jenis obat lainnya yang angkat tidak familiar namanya.
Baterai jam dinding yang aku perlukan sudah aku dapatkan. Esti sedang mengulek sambal favoritku dan juga suamiku, saat aku menghampirinya
"Ketemu gak, Bu?" tanyanya.
"Ketemu." Aku memperlihatkan dua buah baterai di tanganku.
"Kamu sakit ya, Es?" gadis itu berhenti tiba-tiba. Lalu berbalik menatapku.
"Gak, Bu, kenapa?"
"Ada banyak obat di laci lemari kamu. Itu obat apa?" mulut Esti setengah terbuka dan bola matanya pun ikut membesar. Aku bisa membaca raut keterkejutan pembantuku itu.
"Kalau sakit, harusnya kamu bilang aku," kataku lagi. Esti menggelengkan kepalanya.
"Bu, i-itu vitamin dan obat k-kolestrol."
"Oh, vitamin dan obat kolesterol. Aku kira kamu punya sakit serius. Kalau kamu sakit, kamu bilang aku ya. BPJS kamu udah aku bayarkan gak pernah telat loh."
"Iya, Bu, terima kasih banyak. Saya memang umurnya aja yang muda, Bu. Tapi tenaga saya jompo." Aku tertawa mendengar komentarnya.
"Ya sudah, siapkan cepat ya. Aku dan suamiku mau berangkat ke kantor bareng hari ini." Esti mengangguk paham. Aku pun masuk ke dalam kamar untuk mengganti handuk piyama ini dengan baju kerja. Suamiku keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang segar. Tubuhnya atletis dengan tinggi dan berat proporsional.
"Apa kamu gak bosan merhatiin aku sampe gak kedip?" tanya mas Galih sambil memeluk pinggangku.
"Suamiku terlalu tampan. Sampai-sampai aku gak berani pasang foto kamu di status." Mas Galih tertawa. Ia melepas pelukannya setelah mendaratkan kecupan tipis di bibirku.
"Mas, tolong baterai jam dinding diganti dulu sebelum kamu berangkat ya?" Mas Galih mengangguk. Suamiku berganti pakaian dengan cepat.
"Mas, tadi aku menemukan banyak obat di laci lemari Esti."
Byur!
Suamiku menyemburkan teh hingga mengenai seragam kerjaku.
"Mas, bajuku kotor lagi nih! Kamu kenapa?" aku setengah kesal. Entah kenapa aku malah duduk di depannya, sehingga menjadi sasaran semburan air teh.
"Apa kamu bilang tadi? Aku gak denger." Mas Galih memukul dadanya berkali-kali, hingga aku tidak tega dan memberikan segelas air putih untuknya.
"Ada banyak obat di laci lemari Esti. Aku baru tahu kalau itu vitamin dan obat kolesterol."
"Huk, i-iya, terus masalahnya apa?"
"Esti gak terlihat kayak sakit, ternyata di sakit, Mas. Untunglah gak serius! Ck, aku ganti kemeja lagi nih, tungguin ya." Suamiku mengangguk. Aku bergegas masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Lalu keluar lagi dan melihat mas Galih sudah selesai sarapan. Aku melanjutkan sarapan yang tadi sampai isi di piringku habis. Mas Galih juga gak berkomentar lagi soal obat Esti. Suamiku memang terkenal dingin pada wanita lain.
"Esti, aku dan suamiku berangkat!"
"Oh, iya, Bu. Hati-hati di jalan." Esti menunduk. Ia memang seperti itu bila di depan suamiku. Sungkan katanya, sehingga ia tidak berani mengangkat wajahnya. Bicara juga seperlunya saja. Gadis berusia dua puluh tahun itu pun menutup pintu pagar setelah mobil suamiku keluar dari pekarangan.
Jalanan ibu kota selalu saja padat merayap. Apalagi pada jam kerja seperti ini. Mau lewat tol atau jalan biasa, rasa gemas dan kesalnya sama saja. Sama-sama melelahkan menghadapi kemacetan.
"Hari ini aku ada meeting sampai jam sembilan, Mas. Kalau kamu juga lembur, kamu jemput aku ya."
"Oke, Tuan Putri. Semangat kerjanya ya." Mas Galih mencium bibirku sebelum aku keluar dari mobil. Ia menurunkan aku di lobi utama kantor, setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke kantornya yang searah dengan kantorku. Hanya berjarak dua kilometer saja.
Hari ini aku memimpin rapat laporan keuangan per tiga bulan perusahaan. Sejak pagi hingga siang, aku terus bicara di depan orang banyak hingga kehabisan energi. Timku sudah lebih dulu makan siang, karena salah satu anggota kami adalah yang pengantin baru dan baru saja kembali dari cuti menikah.
"Bu, bagaimana?" tanya Sarah.
"Kalian ini, masa senang-senang gak ajak saya," kataku dengan wajah cemberut.
"Maaf, Bu, soalnya jam makan udah kelewat he he he ...." jawaban Rubi membuatku tertawa. Aku pun memesan makan siang sambil bercakap-cakap ringan dengan timku.
"Dapat kado dari mana, Rubi?" tanyaku pada sang Pengantin baru. Di tangannya, Rubi memegang sebuah kotak yang dibungkus kado.
"Ini, Bu, dari temen-temen. Udah saya buka. Pada iseng banget mereka." Aku mengerutkan kening sambil ikut tertawa.
"Kadonya apa?" Rubi mengeluarkan isi kotak yang bungkusnya sudah setengah ia buka.
"Apa ini?" tanyaku heran, tetapi aku seperti tidak asing dengan benda yang kini ada di tanganku. Mirip dengan kapsul yang ada di laci Esti.
"Kalian kasih kado pengantin obat kolesterol?" tanyaku sambil terkekeh geli.
"Bu, itu bukan obat kolesterol, tapi obat kuat pria. Rubi pengantin baru, jadi suaminya pasti butuh ini. Ini juga ada macam-macam, Bu. Apa Ibu mau juga buat ayang di rumah?"
"Hah, apa? Obat kuat pria?" saat itu juga aku merasa jantungku berhenti berdetak. Kapsul berwarna peach itu persis dengan kapsul obat milik Esti.
Bersambung