Ruang minimalis yang sebelumnya menjadi saksi bisu tangis Hani, kini hanya terdengar suara ketikan dari papan tombol. Asta tampak membaca sekilas tulisan di layar komputer kemudian kembali memusatkan atensinya ke Hani yang terdiam.
“Jadwal terapi selama satu bulan ini sudah aku kirim ke administrasi. Kau bisa mengambilnya saat melakukan p********n nanti, ya.” sahut Asta sembari menyatukan kedua tangannya di atas meja.
Air muka Hani terlihat sangat kusut setelah menumpahkan emosinya tadi. Wajah pucat dengan mata agak kemerahan sehabis menangis, ditambah kantung mata membengkak, bukanlah sebuah kombinasi yang bagus.
“Mengingat riwayatmu sebelumnya, ada baiknya kita menghindari penggunaan obat-obatan, setidaknya untuk saat ini. Kita akan memantau kondisimu selama satu bulan ini terlebih dahulu, baru kita putuskan langkah selanjutnya.” terang Asta.
Hani mengangguk lemah. “Baik, dok.”
“Melihat kondisimu saat ini, sebenarnya aku sangat menyarankan kau untuk tinggal bersama seorang pendamping.” tutur Asta.
Mata Hani bergerak cepat melihat Asta balik. Rambutnya bergoyang ke kiri dan kanan mengikuti pergerakan kepalanya, menolak ide Asta.
Asta menghela napas panjang. “Tetapi melihat kau bersikeras tidak menginginkan hal itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
Raut wajah Hani langsung berubah lega setelah mendengar perkataan Asta tersebut.
“Apa kau ada rencana untuk memberi tahu orang terdekatmu tentang kondisimu?”
Pikiran Hani langsung terbang teringat akan Shaina dan Keanu. Saat ini orang terdekat baginya adalah mereka berdua, namun Hani tak dapat memungkiri ada rasa keraguan di hatinya untuk menceritakan kondisinya saat ini kepada dua sahabatnya itu.
“Mungkin… nanti.” jawab Hani singkat dan penuh nada keraguan. Mendengar jawaban Hani, Asta hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sering-sering latih pernapasan 4-7-8 seperti yang kuajarkan tadi.” ujar Asta mengingatkan Hani.
Hani mengangguk kecil. “Baik.”
“Kau juga bisa menghubungiku melalui aplikasi, tetapi jika kebetulan aku sedang offline, kau bisa menghubungi psikolog lain.” terang Asta.
Hani mengangkat kedua bahunya. “Aku tidak yakin dengan hal itu.”
“Hani.” panggil Asta dengan nada tegas.
Giliran Hani yang menghela napas. “Oke, akan aku coba.”
Setelah itu, baik Asta atau Hani tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Diam di antara keduanya terpecahkan saat Asta menyebut nama Hani.
“Hani.” berbeda dengan nada tegas yang ia gunakan sebelumnya, kali ini Asta memanggil nama Hani dengan nada serius.
“Ya?”
Asta menatap mata Hani dalam. “Bersabarlah. Aku siap mendampingimu, jadi tenang saja, oke?”
Saat itu juga, mata Hani panas mendengar kalimat Asta. Kali ini bukan karena traumanya, melainkan karena pernyataan Asta yang membuatnya merasa tidak sendiri menjalani kehidupannya yang dipenuhi rasa takut.
Setelah diam beberapa menit, Hani membalas dengan suara lirih. “… Terima kasih banyak, dok.”
“Terima kasih kembali.” Jawab Asta dengan senyum lembut di wajahnya.
Sebelum sesi hari itu berakhir, Asta mengingatkan kembali kepada Hani akan beberapa hal, utamanya yang berkaitan dengan cara menangani gejala trauma Hani. Setelah dirasa sudah cukup jelas, Asta menutup sesi konseling hari itu.
“Sekali lagi, terima kasih dokter Asta. Saya pamit pulang duluan, ya.” kata Hani sembari berdiri dari kursinya.
Asta, mengikuti Hani, turut berdiri dari kursinya. “Hati-hati di jalan.” ujar Asta.
Ia melirik jam dinding di ruangannya dan mengerutkan kening setelahnya. Asta ingin melontarkan sepenggal kalimat lagi, namun pada akhirnya, ia memilih untuk menelannya kembali.
“Oke, dokter juga hati-hati di jalan. Sampai jumpa.” pamit Hani lalu segera melangkahkan kaki keluar dari ruang tersebut.
Setelah kepergian Hani, Asta kembali duduk di kursinya dan mempelajari sesuatu di komputernya. Selang beberapa saat kemudian, ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, seperti sedang mempertimbangkan suatu hal.
“Ini tidak akan mudah…”
***
Akhir pekan ini Rendra dan Keanu akhirnya akan berjumpa lagi. Lebih tepatnya, grup pertemanan mereka yang akan berkumpul. Pertemuan ini diinisiasi oleh salah seorang teman yang mengajak untuk bertemu di rooftop kafe Rendra di Jakarta.
Setelah menunggu beberapa hari ini, akhirnya sekitar tujuh orang setuju untuk, yang mana di dalamnya termasuk Rendra dan Keanu.
“Kemana yang lainnya?” tanya Keanu begitu sampai sore itu. Ia melihat masih ada beberapa orang yang belum datang. Keanu langsung duduk di samping Rio, si inisiator pertemuan.
Rio membalas, “Abel, seperti biasa, masih di rumah. Kevin sedang mengantar adiknya. Rendra sedang dalam perjalanan sehabis reading film.”
Wajah Keanu dipenuhi dengan keheranan berpadu dengan kekaguman mendengar pernyataan terakhir. “Di akhir pekan seperti ini dia masih bekerja? Gila.”
Rio tertawa mendengar ucapan Keanu. Setelah itu mereka asyik bersenda gurau. Minuman alkohol dan asap rokok berwarna putih tampak ikut meramaikan pertemuan mereka hari ini. Waktu berjalan begitu cepat karena langit yang tadinya masih tampak oranye sudah berubah menjadi gelap.
Rendra sendiri baru datang saat matahari terbenam. Mengenakan kemeja loose berwarna biru tua dan celana bahan berwarna abu-abu, ia datang sembari membawa sebotol Porto Wine ke rooftop.
“Maaf, aku terlambat. Apa aku melewatkan sesuatu?” ujar Rendra yang kedatangannya disambut ramai oleh teman segrupnya. Entah karena Rendra sudah datang atau karena wine yang dibawa oleh dirinya, tidak ada yang tahu.
“Rendra! Akhirnya kau datang!”
“Ke mana saja kau! Sini, sini!”
“Kau tidak ada lelahnya, ya? Apa mungkin kau itu sebenarnya Terminator?”
Yang terakhir itu adalah sahutan dari Keanu. Rendra tertawa mendengarnya.
“Sayangnya, aku tidak setampan Arnold Schwarzenegger.” balas Rendra sembari duduk di seberang Keanu.
Tak butuh waktu lama bagi Rendra untuk mengikuti alur percakapan teman-temannya dan ikut tertawa bersama mereka. Apa saja mereka perbincangkan mulai dari pekerjaan, isu di sekitar mereka, hingga topik wanita pun tak bisa terhindarkan.
“Semakin hari Mona terlihat semakin cantik, ya.” ujar salah seorang kawan mereka. Mona yang dimaksud dalam ucapannya tersebut adalah Mona Brussel, salah satu aktris yang sedang melejit akhir-akhir ini.
“Setuju. Aku baru saja bertemu dengannya minggu lalu untuk sebuah proyek baru, dia benar semakin cantik.” timpal yang lain.
“Oi, Rendra, bukankah kau pernah satu proyek film dengannya? Bagaimana dia?”
Rendra, yang belum berkata apa-apa sejak nama Mona muncul, hanya mengangkat kedua bahu. “Mona cantik dan baik, tetapi sejujurnya, aku tidak memiliki kesempatan untuk mengobrol banyak dengannya.”
Usai mengatakan hal tersebut, Rendra memilih untuk pergi ke lantai bawah kafenya. Ia bertukar sapa dengan beberapa pengunjung dan mengecek situasi dan kondisi dengan para staf di dapur. Memastikan semuanya aman terkendali, Rendra berinisiatif untuk membuat cemilan ringan bagi kawan-kawannya.
“Apa stok bawang Bombay aman?” tanya Rendra ke salah seorang staf di dapur.
“Aman, pak.”
Rendra mengangguk mendengar jawaban tersebut. “Kalau begitu, aku ambil dua, ya.” ujar Rendra sembari mengambil dua buah bawang Bombay dengan satu tangan.
Dengan lihai, Rendra tampak memotong bawang Bombay tersebut secara vertikal dan membentuknya menjadi seperti cincin. Kemudian ia membuat adonan tepung di wadah terpisah untuk melapisi potongan Bombay tersebut.
Rendra menyalakan kompor khusus untuk deep frying, lalu setelah menunggu beberapa menit, barulah ia menggoreng Bombay tersebut. Tak butuh waktu lama, setumpuk onion ring sudah tersaji di piring besar berwarna putih.
“Tidak buruk.” gumam Rendra mencicipi masakannya. Rendra pun menaiki anak tangga ke rooftop dengan membawa nampan berisi sepiring onion ring dan saus cocolan.
Sesampainya di rooftop, Rendra melihat jika kawannya sudah berkurang drastis, menyisakan hanya Keanu dan Rio. Sungguh berbeda dengan suasana tadi, di mana suara sahutan dan tawa bisa terdengar, kini mereka hanya diam asyik melakukan kegiatannya masing-masing. Rio dengan rokok elektriknya dan Keanu dengan wine di tangannya.
“Ke mana yang lain?”
“Kau habis dari mana?”
Rendra dan Keanu tertawa saat menyadari mereka berdua bertanya di waktu yang bersamaan. Rio menggeleng-gelengkan kepalanya heran lalu menyusul keduanya tertawa.
“Aku habis dari dapur. Yang lain?” ujar Rendra sembari mengangkat nampan yang dibawanya, untuk menunjukkan apa yang ia lakukan.
Keanu mengedikkan bahu. “Mereka sudah pulang.” Rio, mengembuskan asap putih dari mulutnya, menggeleng. “Aku yakin ada yang tidak pulang.”
Berbeda dengan suasana ramai tadi, kini hanya dengan kehadiran mereka bertiga, suasana menjadi lebih sunyi. Hanya sesekali pertanyaan terlontar lalu kemudian hening kembali. Meski begitu, ketiganya tidak merasa canggung. Rendra sendiri asyik menyesap wine sembari melihat langit malam yang tampak begitu gelap. Bintang-bintang tak hadir karena malu dengan kehadiran cahaya mentereng dari para gedung pencakar langit dan baliho.
Beberapa waktu berselang, Rio turut pamit, menyisakan hanya Rendra dan Keanu.
Rendra menoleh ke arah Keanu kemudian teringat dengan pertemuan terakhir di Bandung. Pertemuan yang membuatnya bertemu dengan perempuan pandai menggambar bernama Hani. Salah satu sudut bibir Rendra terangkat saat teringat akan sosok Hani.
“Keanu.”
“Apa?”
“Bagaimana kabar Hani?”
Keanu mengernyitkan dahinya. Sedikit heran dan curiga mengapa sahabatnya itu, tak ada angin tak ada hujan, tahu-tahu menanyakan kabar Hani.
“Mengapa kau menanyakan kabar Hani?” tanya Keanu dengan nada penuh kecurigaan.
Menyadari intonasi tak biasa dari sohibnya itu, Rendra menaruh gelas berisi wine ke meja lalu meluruskan kakinya yang tadinya menyilang. Mengepalkan kedua tangannya, Rendra menyampaikan maksud dari pertanyaannya sebelumnya itu dengan wajah tenang.
“Aku tertarik padanya.”