Chapter 12

1393 Words
Bersama jajaran pemain lainnya, Rendra baru saja menutup pertunjukan teater yang digelar di salah satu gedung kesenian di Jakarta. Tidak cukup hanya dengan memberikan penghormatan kepada penonton, kini Rendra sibuk berfoto dan berbincang dengan para tamu penonton. “Rendra! Penampilan kamu tadi bagus sekali! Saya menangis ketika menyaksikan penderitaan Werther tadi!” puji salah seorang penonton sembari memberikan sebuket bunga. Rendra merasa tersentuh sekaligus bangga mendengar pujian tersebut. Dengan hati lapang, ia menerima buket bunga tersebut. “Terima kasih banyak, mbak!” seru Rendra. Lalu berdatangan penonton yang ingin berbicara dengan Rendra.  “Selamat Rendra, pertunjukannya sukses!” “Kak Rendra! Tadi aktingnya sangat menjiwai! Rasanya kakak seperti menjelma jadi Werther!”  “Rendra!”    Itulah salah satu pesona seni teater. Usai pertunjukan, para pengunjung yang masih tinggal di kursi dapat bertemu dan berbincang langsung dengan para pemain. Tidak sedikit dari mereka kerap memberikan hadiah seperti bunga atau bingkisan kepada para pemain. Kedua tangan Rendra kini penuh dengan buket bunga dan hadiah dari penonton. Setelah berinteraksi dengan penonton, barulah Rendra kembali ke backstage. “Laku keras, nih?” sahut Ben, salah satu lawan main Rendra di pertunjukan teater hari ini. Dari lima pemain yang menempati ruang tersebut, hanya Ben yang terlihat. Ben sudah tampil rapi dengan baju santainya. Wajahnya juga sudah bersih dari make up khas teater yang tebal. Rendra hanya tersenyum menanggapi ucapan Ben. Ia meletakkan hadiah yang diterima ke meja di sudut ruangan, lalu mulai mengganti bajunya ke setelan pribadi miliknya. “Aku pulang, ya. Terima kasih untuk kerja samanya hari ini.” pamit Ben. Rendra mengangkat tangan kanannya. “Terima kasih untuk kerja samanya hari ini. Sampai jumpa.” Kelar dengan pakaian, Rendra berjalan ke meja rias dan menghapus produk kosmetik di wajahnya. Dengan telaten pria berkaki panjang itu membersihkan wajahnya. Dikarenakan penonton harus dapat melihat wajah pemain dari segala penjuru arah, maka tata rias pemainnya pun cenderung lebih tebal dari seharusnya. Suara pintu dibuka memberi tahu Rendra jika seseorang memasuki ruang tunggu yang tidak terlalu besar itu. Namun Rendra tidak memiliki energi lebih untuk memeriksa siapa gerangan yang datang. Dipikirnya, orang tersebut pasti adalah rekan pemain lainnya. Rendra terkejut saat tiba-tiba seseorang memeluk dirinya dari belakang. Ia menengok dan menemukan Rebecca, seorang aktris dan juga tamu VIP di pertunjukan hari ini, memeluknya erat dari belakang. “Ada apa?” tanya Rendra, sembari masih menghapus kosmetik di wajahnya. Rebecca sendiri bukan sosok asing di mata Rendra. Mereka baru beradu peran satu kali di sebuah film, namun mereka beberapa kali bertemu di luar pekerjaan karena lingkup pertemanan mereka yang cukup berdekatan. Rebecca mengeratkan pelukannya sesaat. “Aku dengar kau tidak pernah mengecewakan saat diajak bersenang-senang.” “Dengar dari siapa?” “Dari siapa itu tidak penting.” timpal Rebecca. “Yang penting adalah, aku sedang mengajakmu bersenang-senang. Kau tidak akan menolakku ‘kan?” Tangan Rebecca mulai menelusuri bahu bidang Rendra. Kemudian, perlahan tangan tersebut turun ke tubuh Rendra. Rendra menahan napas. Sejujurnya, ia lelah dan ingin beristirahat saja di rumah. Namun melihat perempuan bertubuh molek tersebut aktif merayunya, tak ayal, Rendra merasa tergoda. Mana mungkin ia melewatkan santapan menggairahkan ini. “Di mana? Aku ingin mengisi perutku terlebih dahulu.” pungkas Rendra. Rebecca tersenyum lebar. “Di apartemenku. Kalau begitu, aku akan memesankan makananmu sekarang. Kau mau apa?” Rendra tertawa dalam hati melihat perempuan di belakangnya ini sudah tak sabar untuk segera ‘bermain’. Namun di kehidupan nyata, Rendra hanya tersenyum, lalu menyebutkan makanan apa yang diinginkannya. “Pulanglah terlebih dahulu. Masih ada yang harus kuselesaikan di sini. Kau tahu kontakku, bukan? Kirimi aku alamatmu, aku akan menyusulmu.” tukas Rendra usai memastikan wajahnya sudah bersih dari kosmetik. Rendra pun berdiri lalu mengecup bibir merah perempuan di depannya itu. Rebecca membalas kecupan tersebut dengan agresif. Mereka berdua akhirnya sempat berpadu bibir di ruangan tersebut, sebelum akhirnya Rendra menarik dirinya. “See you there. Aku harap ‘makananku’ sudah siap saat aku datang.” ujar Rendra sembari tersenyum menggoda. Rebecca membalas dengan kecupan sekali lagi, baru kemudian pergi meninggalkan Rendra. Setelah Rebecca pergi, Rendra segera berbenah membereskan barang-barang miliknya. Tak lupa, ia menghubungi manajernya, Rian, dan memberi tahu jika pekerjaannya sudah selesai. Rendra berjalan menuju parkiran mobil sembari membawa hadiah-hadiah yang ia terima hari ini. “Selamat, Rendra. Pertunjukanmu sukses hari ini!” seru Rian sembari menghampiri Rendra dan membantunya membawa hadiah dari penonton. Rendra tersenyum tulus. Sembari menaruh semua hadiah yang diterimanya hari ini, Rendra berkata, “Mas, tolong taruh semuanya di apartemenku, ya. Aku tidak pulang hari ini.” Rian mengerutkan dahi, bingung. “Lalu kau mau ke mana?” “Ada yang mengajak bermain.” jawab Rendra seraya mengayun-ayunkan ponselnya. Manajer Rendra tersebut langsung mengerti dan tidak dapat menahan diri untuk tidak bersiul. “Dasar b******k. Hati-hati, dan jangan lupa, besok siang ada pemotretan.” pesan Rian. Rendra mengacungkan jempolnya. “Siap, bos. Aku pergi dulu ya.” pamit Rendra. Selang beberapa menit kemudian, terlihat sebuah taksi datang dan Rendra menaikinya. Melihat perilaku Rendra, Rian kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Antara kagum dan heran bercampur menjadi satu. “Aku tidak bisa membayangkan dia berhenti bermain dengan wanita, ckckck…” decak Rian. *** Hani bisa merasakan keringat membasahi punggungnya. Ia sendiri juga tak ingat sudah berapa kali ia naik-turun tangga. Sesekali Hani duduk beristirahat di anak tangga. Ketika ia sampai di lantai empat untuk kesekian kalinya, Hani melihat pintu ruang konseling terbuka. Mata Hani melebar. Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke depan ruangan tersebut. Tangannya sibuk sendiri mencari kertas antrian di dalam tas. “Kau habis olahraga?” Hani terperanjat mendengar ada suara cukup keras menegurnya. Hani mendongakkan kepalanya dan menemukan Asta, psikologyang berusia hanya beberapa tahun lebih tua darinya, membuka pintu ruang konseling lebar-lebar. “Selamat pagi. Kau pasienku selanjutnya ‘kan?” sapa Asta sembari berjalan menuju mejanya. Hani diam, tidak membalas pertanyaan Asta. Kakinya masih menancap kokoh di depan pintu. “Tunggu, aku masih mencari tiket antrian milikku, dok.” ujar Hani. Asta mengayunkan tangannya ke arah Hani. “Tidak perlu. Kau pasien terakhirku hari ini. Duduk.” Mendengar hal itu, Hani akhirnya melangkahkan kakinya ke ruang konseling. Masih sama seperti beberapa bulan lalu saat Hani bertandang, ruang konseling tersebut tampak minimalis dengan paduan dinding berwarna putih dan mebel berwarna hitam. “Kalau membawa air, minumlah. Tubuhmu bersimbah keringat.” celetuk Asta. Hani menuruti ucapan Asta dan segera menenggak air dari botol minum yang selalu dibawanya saat bekerja. Usai Hani memasukkan kembali botol ke dalam tas, Asta tersenyum seraya menyapa Hani sekali lagi. “Selamat pagi.”   “Pagi, dok.” balas Hani Asta menaikkan sebelah alisnya. “Kau tidak akan bertanya mengapa aku menggunakan kata pagi padahal sekarang sudah malam?” “Aku sudah tahu alasannya.” jawab Hani datar. Asta tertawa mendengar respons Hani. “Mau menggambar?” tawar Asta. Hani menggeleng. Setelah beberapa menit membisu, Hani akhirnya membuka suara. “Akhir-akhir ini aku teringat kejadian itu terus.” Hani menarik napas. Tampak kerutan dalam muncul di dahi Hani.  “Rasanya… seperti ada video-” Hani menundukkan kepalanya. “-yang diputar terus-menerus di kepala saya.” Dengan tangan saling bergumul satu sama lain, Hani mulai menceritakan peristiwa saat ia melihat segerombol orang mabuk di Here ‘n There. Bagaimana bayang-bayang orang mabuk tersebut membuatnya ketakutan dan bagaimana cara ia mengatasinya. “Aku menonton film atau siaran apapun yang bisa mengalihkan pikiranku dari memori buruk itu. Aku mencoba fokus hanya pada film,” Hani menggigit bibirnya kuat-kuat, “dan tahu-tahu, langit sudah terang.” Jari-jari Hani tampak putih, menunjukkan betapa kencang Hani menekannya. “Jujur, mataku terasa berat sekali tapi aku juga takut.” Hani melirik ke Asta sekilas, lalu menurunkan pandangannya. Wajah perempuan berambut sepunggung itu terlihat pucat. “Berulang kali kukatakan pada diriku sendiri, ‘Sekarang sudah aman, tidak ada yang menyentuhmu lagi.’” Setetes air mata mengalir dari mata kiri Hani. “Tetap saja, aku takut.” Tetes air mata lain jatuh mengikuti temannya yang terlebih dahulu keluar. Bibir pucatnya itu bergetar. “Mau gila.” aku Hani. Air muka Hani kini tampak seperti sudah tidak peduli lagi dengan sekitarnya. “Aku mau gila, setiap hari ketakutan karena hal itu.” ungkap Hani. Hani mengangkat kedua tangannya ke atas meja. Matanya, yang masih mengeluarkan butir demi butir air mata tersebut, menatap Asta dalam. “Apa mungkin aku bisa menjalani hidupku dengan tenang untuk selamanya? Aku capek.” seloroh Hani. Setelah itu, suara tangis Hani pecah memenuhi seisi ruang konseling.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD