Malam ini akan terasa panjang. Itulah hal terpikirkan oleh Kanna saat melihat rembulan dari balik kaca mobilnya. Ia menoleh ke arah manajernya yang sibuk menyetir dan terkadang mengumpat, memaki kisah Ibukota dengan kemacetan yang serpertinya tidak ada habisnya.
Kanna tertawa kecil.
Manajernya, Andre, hanya melirik Kanna lalu mendengus. “Tidurlah. Sepertinya kita baru akan sampai ke lokasi sekitar satu setengah jam lagi,”
Kanna menggeleng. “Tidak perlu. Kau butuh teman berbincang di saat seperti ini,”
“Terima kasih atas kebaikanmu, Kanna. Tetapi tidurlah karena sejujurnya aku ingin mendengarkan radio kesukaanku dengan tenang tanpa harus melihat tingkahmu,” jelas Andre.
Kanna tergelak.
Kanna merasa dia tidak banyak bertingkah saat Andre memutar saluran radio kesukaannya, yaitu musik klasik. Kanna hanya sedikit jahil saat musik klasik diputar seperti berpura-pura menjadi konduktor, pemain biola, pemain piano, dan sebagainya. Andre merasa tingkah Kanna mengganggu ketenangannya untuk menikmati musik klasik.
Andre berlebihan. Pikir Kanna.
“Baiklah, aku akan tidur agar waktu tenangmu tidak terganggu olehku. Tolong bangunkan aku 30 menit sebelum kita sampai ke lokasi ya,”
Andre mengangguk-angguk tidak sabar. “Iya, iya! Aku sudah hapal. Cepatlah tidur!”
Kanna geli melihat tingkah Andre. Setelah menemukan posisi yang dirasa cukup enak untuk tidur di bangku penumpangnya, Kanna mengambil penutup matanya dan terlelap.
***
Aku memperhatikan saudara kesayanganku satu-satunya yang saat ini diam di kasur. Entah tidur atau pingsan, aku tidak tahu. Aku menggigit bibir cemas. Lalu sebuah ide muncul di kepalaku.
“Dion, Dion! Ayo jalan-jalan ke Braga!” seruku. Aku sibuk menepuk-nepuk badannya agar ia bangkit.
“Sebentar lagi… Dian…” jawab Dion. Tidak terlihat niat kalau ia akan bangkit dari kasurnya.
“Ayoo!! Pemilik hotel berkata kalau malam ini akan ada pertunjukan cosplay menarik di Braga. Aku ingin melihatnya lalu setelahnya kita pergi makan malam,” jelasku panjang lebar. Aku sudah mulai lelah menepuk-nepuk badannya yang kurus itu.
Dion mengerang malas lalu membalas, “..aku tidak nafsu makan malam…”
Mendengar perkataannya itu, aku langsung menelan ludah. Takut. Tetapi aku mencoba untuk bersikap wajar. “Lagi? Tetapi aku lapar, Dion. Aku belum makan lagi setelah sarapan tadi pagi,”
Mata Dion mulai terbuka. Ia melirikku. Aku mencoba memelas-melaskan wajahku, barangkali ia luluh.
Dion menghembuskan napasnya. Ia lalu akhir bangkit dari tidurnya dan mengambil jaket tebal miliknya. “Apa kau masih perlu berdandan? Aku tunggu di luar. Jangan membuatku menunggu lama jika kau mau berias dahulu,”
“Tenang saja, aku sudah siap! Ayo segera berangkat!” ujarku riang.
“Kenapa kau bersemangat sekali huh…” gumam Dion.
Aku tertawa sembari mendorong badannya dari belakang, menuju pintu keluar. Diam-diam aku melirik n****+ di atas meja nakas samping tempat tidur Dion. n****+ itu kuberikan kepadanya sebagai hadiah ulang tahun belum lama ini.
Terpampang jelas kata ‘BELENGGU’ di sampul n****+ itu.
***
“Kau baik-baik saja?”
Kanna menolehkan kepalanya ke samping. Andre, yang setia duduk di kursi sopir, tidak langsung melesat pergi pulang seperti biasanya. Tampak jelas kerutan di dahi Andre.
Meneguk ludah perlahan, Kanna menjawab, “Aku baik-baik saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?”
Andre tidak langsung menjawab pertanyaan Kanna. Ia memerhatikan dengan seksama raut wajah Kanna. Setelah itu Andre mendesah pelan.
“Aku tidak tahu apa sedang kau pikirkan saat ini, tetapi aku merasa kau tidak tampil seperti biasanya,” terang Andre. Ia tidak mengalihkan pandangan matanya dari Kanna walau sebentar saja.
“Sebenarnya aku hanya mengira-ngira saja. Sudah empat tahun aku menjadi manajermu, tentu aku bisa membedakan kapan kau merasa senang dan kapan kau merasa sedih,”
“…”
“Aku tidak akan memaksamu bercerita kepadaku apa yang mengganggu pikiranmu. Tetapi tolong ingat, jika kau membutuhkan seseorang untuk mendengarkanmu, aku siap mendengarkanmu kapan saja dan di mana saja,” ujar Andre.
Hening menyelimuti keduanya. Hanya terdengar suara halus mesin mobil di antara Kanna dan Andre. Kanna dapat melihat keseriusan dan ketulusan dari mulut Andre. Di saat itu pula, Kanna dalam hati bersyukur memiliki manajer seperti Andre.
“Terima kasih, Andre. Terima kasih banyak,” ucap Kanna memecah keheningan di antara mereka.
Terima kasih banyak untuk kebaikanmu selama ini.
Seulas senyum terpatri di wajah Kanna.
Kanna berharap Andre mampu menangkap pesan yang tersirat darinya itu.