BAB 7
PAGI ini, Jingga tetap pada pendiriannya, yaitu ingin masuk sekolah. Padahal Aga sudah melarangnya berkali-kali. Istirahat satu hari lagi, itu pinta Aga sedari tadi.
"Pokoknya nggak mau tahu, hari ini Jee mau sekolah, titik nggak pakai koma!"
"Siapa juga yang mau ngomain," celetuk Aga.
"Kok, nyolot!"
"Suka-suka gue lah," balasnya Aga lagi--tak mau kalah.
"Ih, nyebelin. Aku bilangin Bunda!"
"Sana bilang! Lagian Bunda nggak ada di sini. Dasar tukang ngadu!" cibir Aga, yang membuat emosi Jingga naik ke ubun-ubun.
"Tuh kan malah ngatain!"
Jingga menghentakkan kakinya kesal, kemudian membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar.
"Woyy! Mobil kesayangan gue ini jangan digituin!" bentak Aga sambil mengelus-elus mobilnya.
"Tu kan pakai ngebentak juga!" Manik mata Jingga mulai berair. Bibirnya mulai bergetar, sebentar lagi gadis itu akan mengeluarkan jurus andalannya, menangis.
Aga yang melihat Jingga akan menangis pun jadi kalang kabut. "Ehh, kok lo malah nangis?"
Jingga terisak di sepanjang jalan. Mungkin efek sakit jadi emosinya tidak stabil.
"Jangan nangis lagi, lo mau diliatin satu sekolah? Entar gue yang disalahin."
Jingga hanya memalingkan wajahnya dan tidak memperdulikan Aga. Setelah membuka pintu mobil, Jingga pun langsung ke luar meninggalkan Aga. Sedangkan Aga hanya bisa menghela napasnya--sabar.
****
Jingga berjalan menuju kelas dengan menundukkan kepala. Jingga tahu semua orang tengah memperhatikannya namun, Jingga mencoba tidak memperdulikannya dan terus berjalan menuju kelasnya.
Jingga memasuki ruang kelasnya, matanya yang sembab membuat ketiga temannya bingung.
"Lah, lo nangis, Jee?" tanya Tata yang melihat Jingga dengan tatapan kebingungnya.
"Lo diapain Rendy? Bilang sama gue!" Ayaa langsung duduk di hadapan Jingga.
"Biar kita yang sikat tuh orang," tambah Lintang.
Jingga menggeleng, "Nggak ada hubungannya sama Rendy. Ini gara-gara Bang Aga."
Ayaa, Tata, dan Lintang pun hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O'. Karena kalau Jingga menangis disebabkan oleh Aga, maka jangan ditanya alasannya. Sudah pasti masalah tak jauh dari kelakuan Jingga sendiri.
Bel masuk berbunyi, Ayaa dan Lintang kembali ke tempat duduknya masing-masing.
Hari ini jam pelajarannya Bu Fitri, Biologi. Bu Fitri adalah guru yang selalu tepat waktu, jadi jangan heran kalau beliau selalu berada di depan pintu kelas saat bel masuk berbunyi.
"Baik anak-anak, buka buku kalian masing-masing. Materi hari ini tentang Sistem Pencernaan Makanan pada Manusia," jelas Bu Fitri sambil menuliskan judul materi pembelajaran hari ini di papan tulis.
"Sebelumnya saya mau nanya, terdiri dari apa saja saluran pencernaan?" tanya Bu Fitri.
Jingga mengangkat tangan kanannya, "Saluran pencernaan terdiri dari mulut (kavum oris), tekak (faring), kerongkongan (esofagus), lambung (ventrikulus), usus halus, usus besar, rektum, dan a**s, Bu." Jingga mendapat tepuk tangan dari seisi kelas, jawabannya sangat tepat.
"Tepat sekali jawaban kamu, Jingga."
"Sudah disebutkan oleh Jingga, kalau di saluran pencernaan ada usus halus dan usus besar."
"Taufik," panggil Bu Fitri. Taufik yang merasa namanya dipanggil pun langsung menegakkan badannya.
"Saya, Bu?"
"Pencernaan secara apa yang dilakukan di usus halus?" tanya Bu Fitri pada Taufik.
Taufik yang tidak tahu pun dengan cepat membolak-balik lembaran kertas buku Biologi miliknya--mencari jawaban dari pertanyaan Bu Fitri.
Bu Fitri yang melihat mimik wajah Taufik sudah hafal sekali, pasti anak itu tidak dapat menjawab pertanyaan yang ia berikan lagi.
"Ucup," panggil Bu Fitri. Ucup adalah teman sebangku Taufik, yang mempunyai kelakuan tidak jauh berbeda dari kelakuan Taufik.
"Pencernaan secara apa yang dilakukan di usus halus?" Bu Fitri mengulangi pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang diajukan kepada Taufik tadi.
"Kimia .... kimia ... pokoknya kimia-kimia aja gitu, Bu." Ucup menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Otaknya benar-benar buntu saat ini.
Bu Fitri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jadi, pencernaan yang dilakukan di usus halus adalah pencernaan secara kimiawi, karena usus halus berfungsi mencerna makanan dengan enzim-enzim yang berasal dari kelenjar usus, pankreas, dan empedu yang dihasilkan oleh hati."
Semua murid mengangguk paham. Bu Fitri menjelaskan selalu beserta gambarannya. Alasannya agar semua siswa-siswi dapat mengenali macam-macam saluran pencernaan.
****
Setelah sekian lama menunggu bel istirahat berbunyi, akhirnya bel istirahat tersebut berbunyi. Jingga dan teman-temannya segera menuju kantin.
Kebetulan hari ini, Jingga juga membawa bekal. Aga melarang keras Jingga makan makanan sembarangan, karena kondisi Jingga masih belum pulih sepenuhnya.
"Ta, pesenin gue bakso, ya," pinta Jingga.
"Tapi kan, lo bawa bekal, Jee."
"Gue pinginnya bakso," ucap Jingga yang menampilkan muka memelasnya.
"Hmm ... okelah. Kalian mau apa?" tanya Tata kepada Ayaa dan Lintang.
"Samain aja," ujar Ayaa dan diangguki oleh Lintang.
Baru saja ingin melangkah, tetapi langkah Tata terhenti, karena ada tiga orang yang tengah menghalangi jalannya.
"Sekalian kita, Ta," pinta Rendy dengan menaik turunkan alisnya. Tata mengerutkan bibirnya.
"Jelek amat muka lo kek gitu," cibir Angga.
Tata melotot tajam ke arah Angga. Dan langsung berjalan melewati Angga dan teman-temannya.
"Gue siomay," teriak Rendy.
Tata terus berjalan tanpa menoleh ke arah Rendy.
"Nih makan bekal lo." Rendy mendorong bekal itu kehadapan Jingga menggunakan jari telunjuknya.
Melihat Jingga yang tidak meresponnya, akhirnya Rendy membuka penutup bekal itu, berisi nasi goreng. Dari baunya saja sudah jelas sekali kalau rasa nasi gorengnya enak.
Jingga menggeleng. "Aku nggak mau makan nasi goreng, Kak. Lagi nggak pingin makan itu."
"Tapi gue maksa, gimana?"
"Aku tetap nggak mau."
"Kenapa?"
Rendy menyendok nasi gorengnya--berniat ingin menyuapi Jingga, tetapi Jingga tetaplah Jingga. Si gadis keras kepala. Dia hanya diam dan tidak sama sekali membuka mulutnya. Jingga malah asik dengan ponselnya.
Rendy yang melihatnya langsung bertindak merebut benda pipih itu. "Mau gue aduin ke Aga?" Ancam Rendy dan alhasil Jingga pun langsung membuka mulutnya.
"Anak pinter," ucap Rendy sambil mengelus puncuk kepala Jingga. Sedangkan Jingga hanya memutar bola matanya malas.
"Yang, lo gak iri sama mereka?" tanya Aldo kepada Ayaa.
"Idih. Ngapain juga gue iri, Do," jawab Ayaa yang masih sibuk dengan ponselnya.
Berbeda dengan Lintang dan Angga. Mereka asik dengan dunianya berdua, yaitu bermain game.
Pacaran itu kayak Angga dan Lintang. Pacar serasa temen, bukan malah sebaliknya.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Tata menghampiri meja teman-temannya dengan Mang Udin yang membantu membawa beberapa makanan pesenan mereka yang lain.
"Yah, aku udah kenyang terus baksonya gimana?" tanya Jingga.
"Yaudah kasih ke Angga aja, kan dia sering porsi makannya banyak." Jingga mengangguk.
"Nah, bener tuh." Angga bertepuk tangan dengan wajah yang terlihat cerah, karena mendapat makanan lebih.
"Lah, kok dikasih ke Angga? Buat gue aja," timpal Ayaa seraya merebut mangkok bangsonya.
"Jangan Yang, entar kamu tambah gendut."
Ayaa melotot. "Jadi aku gendut? Gitu?" kesalnya yang tidak terima dirinya dibilang gendut.
Aldo menepuk jidatnya pelan. "Salah ngomong gue," batin Aldo sambil meringis.
****
Hari ini, Jingga pulang sendirian karena Bang Aga ada les tambahan lagi. Pandangan Jingga terarah pada ponselnya yang bergetar beberapa kali. Matanya terbelalak saat melihat siapa yang tengah menelponnya.
"Halo?"
"..."
"Gue nggak bisa."
"..."
"Yaudah."
Seteleh panggilan telponnya terputus Jingga langsung pergi. Kafe Mocca, itulah tempat tujuan yang akan didatangi Jingga. Jingga hanya berjalan kaki karena jarak kafe Mocca lumayan dekat dari sekolahnya.
Sesampainya di Kafe Jingga langsung mencari meja nomer empatbelas.
"H-hai, Yo," sapa Jingga diiringi dengan senyum tipisnya.
Rio. Dialah seseorang yang ingin ditemui oleh Jingga.
"Hai, Jee. Ayo duduk." Rio mempersilakan Jingga duduk berhadapan dengannya.
"Mau ngomong apa?" tanya Jingga to the point.
"Soal kita, Jee."
"Soal kita?" Jingga menyatukan alisnya.
"Iya, soal kita yang belum selesai," katanya seraya menggenggam tangan Jingga.
Jingga menghela napasnya dan menarik tangannya dari genggaman Rio. "Kita sudah selesai, Yo. Dan lo yang sudah menyelesesaikannya." Jingga membenarkan kata-kata Rio yang mengatakan bahwa hubungan mereka belum selesai.
"Gue mau memperbaiki semuanya."
"Untuk apa?"
"Untuk kita."
Rio benar-benar merasa bersalah karena sudah meninggalkan Jingga dulu. Sekarang ia sadar bahwa cintanya hanya untuk Jingga bukan cewek lain.
Jingga menatap Rio heran, "Kita, Yo?"
"Iya, tentang kita. Gue mau kita kayak dulu lagi, Jee," ucap Rio dengan mimik wajah penyesalannya.
Jingga ketawa kecil. "Kenapa baru sekarang? Kemarin-kemarin ke mana aja?" tanya nya masih dengan nada yang standar.
"Maaf. Gue tau gue sudah membuat hati lo sakit. Gue tau dengan maaf nggak akan bisa balikin hati lo kembali. Tapi, gue mau memperbaiki semuanya." Rio kembali menggenggam tangan Jingga.
Ya, penyesalan lah yang tengah dirasakan Rio saat ini. Rio begitu menyesali dengan yang ia lakukan dahulu. Dia salah, oleh sebab itu dia kembali untuk memperbaiki semuanya.
Jingga tertawa lagi seraya melepaskan genggaman Rio.
"Kenapa ketawa? Gue serius, Jee. Gue mau memperbaiki semuanya," lirih Rio.
"Ini lucu, Yo. Lo dengan gampang muncul di hadapan gue waktu di taman dan meluk gua. Yo, perasaan gue bukan permainan yang bisa lo mainkan sesuka hati lo."
"Gue nggak bermaksud permainin perasaan lo, Jee."
Jingga kembali menghela napasnya. "Terus kenapa waktu itu lo ninggalin gue, demi cewek itu?" Rio terdiam.
"Kenapa diam? Bukannya lo udah mendapatkan yang sempurna?"
Jingga sangat mengingat betul kejadian di mana dirinya mengalami jatuh sejatuh-jatuhnya saat Rio meninggalkannya dulu. Tidak ada hujan dan panas, tiba-tiba saja semuanya terjadi.
Percayalah karma pasti berlaku!
"Lo yang terbaik, Jee."
"Perlu lo tahu, Yo, saat lo mengejar yang sempurna maka lo akan kehilangan yang terbaik."
"Apa sekarang lo membenci gue?"
"Gue sama sekali nggak pernah membenci lo, bahkan terpikir untuk melakukan hal itu pun gue nggak pernah, Yo."
"Apa lo masih marah sama gue, Jee?"
Jingga menggeleng, "Gue sudah mengubur rasa itu setahun yang lalu, Yo. Dan gue nggak akan pernah menggalinya kembali."
"Lupakan kenangan buruk itu, Jee. Kita mulai semuanya dari awal lagi. Gue janji nggak bakal nyakitin lo lagi."
"Lo tau gak, Yo, ibarat barang yang sudah pecah, meski disatuin lagi, tetap gak akan sempurna."
"Maafin gue," lirihnya dengan wajah sendu.
"Gue sudah maafin, jauh sebelum lo memintanya."
Ya, cuman memaafkan yang membuat Jingga sedikit demi sedikit melupakan kejadian itu. Bukan melupakan, tetapi hanya tidak mengingatnya kembali.
"Tapi, gue liat lo masih belum bisa maafin gue. Apa lo masih sakit hati sama gue?"
"Jangan tanya bagaimana hati gue. Lo tanya sakit? Ya tentu jawabannya, iya. Perih? lebih parah dari itu. Sakitnya gak bisa dirangkai dengan kata-kata."
Mata Jingga memanas dan mulai berkaca-kaca.
"Gue kayak orang bodoh yang terus mikirin elo, Yo. Sedangkan elo gak sama sekali menoleh ke arah gue. Lo tetap sibuk mempertahankan orang baru itu." Jingga merusaha tersenyum sekali lagi.
Rio menyapu dengan lembut air mata yang mendarat mulus di pipi Jingga.
"Gue tahu gue salah. Sebab itu gue datang lagi untuk memperbaiki semuanya, Jee."
"Belajar saling memahami, Yo, sebab memahami tanpa dipahami itu bikin lelah sendiri."
"Jangan terus memainkan ego. Lo pasti tahu kalau yang sedang berjuang sendiri itu bisa lelah dan akhirnya pilihan tetap sama, meninggalkan."
Rio tau betul tentang itu. Tapi kini dirinya benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Apa itu salah?
"Apa yang harus gue lakuin biar lo percaya sama gue?" kata Rio dengan suara yang melemah.
"Gue nggak tahu, Yo."
"Tapi gue mau kita balik kayak dulu."
"Stop menjadikan orang lain robot, yang bisa lo atur sesuka hati. Bukan cuman elo yang sakit, tapi orang lain juga. Lo cuman perlu mengerti dan berusaha menyesuaikan diri lo dengan diri orang lain."
Ini yang paling dibenci Jingga. Rio masih sama seperti dahulu, selalu egois. Tidak pernah memikirkan orang lain, yang terpenting baginya hanyalah kebahagiaannya.
"Gue sayang dan cinta sama lo. Jangan egois Jee, gue tahu hati lo masih sayang sama gue kan? Cuman hati lo takut sakit lagi kan? Gue sudah janji sama lo, gue nggak akan mengulangi kesalahan gue lagi. Lo percaya kan?"
Jingga tersenyum tipis. "Kadang lo berpikir kalau gue yang paling egois, lalu apa kabar dengan lo?"
"Kadang lo berpikir kalau gue nggak mengerti semua tentang lo, sedangkan lo bisa nggak ngerti gue?"
Rio diam. Jingga benar, mungkin dirinya lah yang terlalu egois selama ini.
"Gue ngaku gue salah. Tapi kali ini tolong percaya sama gue, Jee. Gue mau memperbaiki semuanya. Gue mau memperbaiki hati lo yang udah gue hancurin. Beri gue kesempatan sekali lagi, Jee," mohon Rio.
Jingga lagi-lagi menghela napasnya, kali ini sangat berat. "Lo lupa? Sudah berulang kali lo nyakitin, berulang kali juga udah gue maafin. Tapi apa pernah lo mikirin perasaan gue? Lo selalu meminta maaf dan selalu melakukan kesalahan yang sama."
"Biarin gue berhenti, Yo, jangan pernah berpikir buat kembali. Gue capek."
Rio benar-benar merasa tertampar dengan ucapan Jingga. Rio benar-benar bersalah saat ini. Bukankah semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua?
"Gue janji bakal belajar berubah, Jee."
"Jangan ukir janji kalau lo nggak bisa menepatinya," jawab Jingga.
"Lo menyesal sekarang sama seperti melukis di atas air. Nggak berguna." Skak! Rio tidak dapat berkata-kata lagi. Ia sadar bahwa kesalahannya sangat fatal.
"Maaf."
Hanya kata itulah yang mampu dia ke luarkan dari mulutnya.
Jingga hanya menatap Rio dengan sendu. Dan setelah itu pergi meninggalkan tempat itu. Rio sama sekali tidak menahan Jingga untuk tidak pergi, karena dia tahu Jingga perlu sendiri.
"Maaf, Jee. Maaf sudah membuat suasana hati lo menjadi buruk," gumam Rio.
Ada beberapa hal yang akhirnya membuat suatu hubungan tidak berjalan dalam jangka waktu yang panjang. Memperjuangkan segala harapan sendirian, berjalan tidak searah, dan selalu mementingkan keegoisan masing-masing.
Hal-hal semacam itu mampu menghancurkan dua hati yang saling mencintai. Tetapi, perlu kita tahu kalau memperjuangkan tanpa diperjuangkan itu sangat menyakitkan dan melelahkan.
*****