BAB 5
Malam ini, Jingga menginap di rumah Ayaa bersama yang lainnya juga. Kebetulan malam ini orang tua Ayaa sedang mengurus beberapa pekerjaan di luar kota.
"Bosen. Mending main apa kek gitu," kata Tata yang menutup kembali laptopnya.
"Cari makan, gimana?" usul Jingga.
Ketiganya mengangguk setuju, terlebih lagi dengan Ayaa. Gadis itu nampak yang paling bersemangat dengan yang namanya makanan.
Makanan adalah salah satu yang paling utama dalam kehidupan Ayaa.
"Kita makan di pinggir jalan depan sana aja, ada penjual nasi goreng favorite gue," kata Ayaa antusias.
Sesampainya di sana, masing-masing dari mereka mengambil tempat duduk. Sedangkan Ayaa, dia akan memesan makanannya.
"Kang, nasi gorengnya empat, ya. Semua original, kecuali saya. Saya seperti biasa."
"Iya, Neng. Sebentar, ya." Ayaa mengangguk.
"Muka lo asem banget, Jee," tegur Lintang yang sedari merasa tidak nyaman dengan kondisi wajah Jingga yang terlihat lebih murung dari biasanya. Jingga bukanlah seseorang yang pintar menyembunyikan masalahnya.
"Iya, asem kayak ketek lo," sindir Tata, sedangkan Lintang hanya memutar bola matanya malas. Ingin rasanya Lintang menjitak kepala sahabatnya itu, tapi diurungkannya.
"Gue abis ketemu Rio tadi."
"Hah? RIO?!" tanya Ayaa yang terdengar histeris. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya dari benda pipih miliknya.
Disela-sela obrolan mereka, ternyata ada Kang Joko datang, membawakan nasi goreng pesanan mereka.
"Makasih, Kang," ucap Ayaa dan diangguki oleh Kang Joko.
"Bener, Jee?" tanya Ayaa sekali lagi.
Jingga hanya mengangguk sambil memakan nasi gorengnya. Entah apa, kali ini perasaan Jingga campur aduk. Kenangan yang dia kubur, sekarang perlahan kembali tergali. Kebahagiaan sekaligus kesedihaan pada saat itu seolah terputar otomatis di kepala Jingga.
Memang benar, kita tidak akan bisa melupakan sebuah kenangan, yang perlu kita lakukan hanyalah mencoba untuk tidak mengingatnya kembali.
Sama halnya dengan melupakan seseorang, itu juga tidak mungkin bisa. Hanya saja ada kalanya kita memilih untuk tidak mengingatnya.
"Terus dia ngomong apa?" tanya Tata penasaran. "Jangan bilang dia minta balikan. Gue bunuh juga tuh anak setan!" Ayaa dan Lintang setuju dengan ucapan Tata.
Rio, cowok yang sangat dibenci oleh Ayaa, Tata, dan Lintang. Seseorang yang sudah meninggalkan Jingga--dengan alasan memuakkan, memilih orang baru.
"Eh, nggak. Gue juga mikir kali mau balikan sama dia," jawab Jingga. Yakin, Jingga yakin sekali kalau hal itu tidak akan pernah terjadi, di mana dirinya harus kembali dengan seseorang yang sudah mengecewakannya.
"Nggak usah deket-deket sama dia, Jee. Manusia kayak dia nggak pantas dikasih hati," kesal Ayaa.
"Hmm. Bener tuh mending kasih ke gue hatinya. Gue suka hati apalagi hati ayam. Sedapppp!!!" ucap Lintang dan langsung mendapat jitakan dari Tata.
"Ini bukan waktu yang tepat buat bercanda, Lintang!"
"Kapan lo pinternya sih, Lin." Ayaa geleng-geleng kepala.
****
Alarm dari ponsel Jingga berbunyi menunjukkan pukul 05:00.
"Bangun ... bangun ... bangun ...," ucap Jingga seraya memukul b****g Ayaa, Tata dan Lintang.
Jingga yang melihat tidak mendapat respon dari ketiga pun akhirnya bangkit, segera menuju kamar mandi. Setelah beberapa menit, Jingga pun ke luar lengkap dengan seragam sekolahnya.
Alis kanan Jingga terangkat, dan menatap bingung ke arah kasur. "Pada ke mana mereka?" tanya Jingga, entah itu pertanyaan ditujukan untuk siapa.
Setelah menyisir rambut, dan memasukkan buku ke dalam tasnya. Jingga langsung turun ke lantai bawah.
"Pagi, Bi," sapa jingga kepada Bi Murti--asisten rumah tangga Ayaa.
"Pagi, Neng. Mau sarapan sekarang?" tanya Bi Murti.
"Nunggu yang lain dulu, Bi. Oh, iya, mereka pada ke mana, Bi? Kok nggak ada di kamar?"
"Mungkin Non Ayaa masih mandi di kamar Ibu, Neng. Kalau teman-teman M yang lain, lagi mandi di kamar mandi belakang," jawab Bi Imah dan diangguki oleh Jingga.
Jingga akhirnya memutuskan untuk membantu Bi Imah memnyiapkan sarapan sambil menunggu teman-temannya selesai bersiap-siap.
"Pagi ...," sapa Ayaaa, kemudian disusul oleh Tata dan Lintang.
"Aduhh asisten rumah tangga gue sekarang ada dua orang, ya," ledek Ayaa yang melihat Jingga membantu Bi Imah.
"Bisa tuh masakin gue juga entar di rumah," goda Lintang.
Jingga menatap datar ke arah dua temannya tersebut. Kenapa orang-orang terdekatnya menyebalkan semua?
****
Kelas X-1 sangat ramai. Karena guru-guru sedang rapat. Semuanya asik dengan dunianya masing-masing. Ada yang lagi membaca buku, main kartu UNO, bahkan dipojok sana ada Taufik si ketua kelas yang lagi nonton bokep. Memang tidak sepadan dengan jabatan yang sedang dia pegang. Bayangkan saja mempunyai ketua kelas yang kelakuannya belok seperti itu. Bahkan anak-anak yang lain juga ikut menonton karena ulah si Taufik yang juga tak segan untuk menghasut mereka dengan embel-embel 'Refresing otak.'
Kantin, satu-satunya tujuan yang akan dikunjungi oleh Jingga dan teman-temannya.
Mata Jingga membulat sempurna, pada layar ponselnya tertera dengan jelas nama siapa yang tengah mengirimkan pesan padanya.
RioNandiasta: Gue mau ketemu sama lo. Sore ini di taman, tempat biasa. Gue harap lo dateng:)
Jingga hanya membaca pesan chat dari Rio. Dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Nonton, yuk," tawar Ayaa.
"Kapan?" tawab Tata dan Lintang bersamaan.
"Boleh. Tapi, jangan hari ini, gue gak bisa," ucap Jingga.
"Lusa, gimana?" tanya Tata dan semuanya mengangguk setuju.
Disela-sela obrolan mereka tiba-tiba keadaan hening, tiga curut datang dan gabung bersama mereka.
"Hai, Yang," sapa Aldo kepada Ayaa.
"Jijik gue, Do, dengernya." Aldo hanya menyengir kuda.
"Makan yang banyak biar cepet gede," ucap Angga kepada Lintang dan diangguki manja oleh Lintang.
"Pulang bareng, yuk," ajak Rendy kepada Jingga.
"Eh, gausah repot-repot, Kak. Aku pulang bareng Bang Aga aja."
"Gue udah izin, kok, sama Aga buat nganterin lo pulang hari ini." Jingga tersedak air minumnya.
"Sabar, sabar," ucap Aldo terkekeh.
Mau tidak mau Jingga harus mau. Jingga tidak habis pikir dengan kelakuan Rendy yang seenaknya saja.
"Makan itu jangan belepotan. Kayak anak kecil aja!" cibir Rendy seraya membersihkan saos di ujung bibir Jingga.
Pipi Jingga merona merah. Jingga hanya diam, karena tidak bisa berkutik apa-apa lagi.
"Sikat ae, Ren, nunggu apa lagi?" goda Aldo, dan mendapat tatapan tajam dari Jingga.
Rendy hanya ketawa kecil.
"Liat aja nanti," batin Rendy
****
Rendy bergegas merapikan buku-bukunya ke dalam tas dan segera ke luar kelas.
"Gue duluan, Bro," pamit Rendy kepada Angga dan Aldo.
"Yoi, Bro," ucap Angga dan Aldo bersamaan.
Rendy sekarang sedang berdiri di samping pintu kelas X-1 untuk menunggu Jingga dan teman-temannya ke luar dari ruang kelas mereka.
"Ayo, pulang!" ucap Rendy seraya menggenggam pergelangan tangan Jingga.
"Iya, tapi nggak dengan pegangan tangan. Malu diliatin, entar dikira ada apa-apa." Jingga langsung melepaskan genggaman Rendy.
Sudut bibir Rendy terangkat. Dia pun kembali menggenggam pergelangan tangan Jingga, dan menariknya meninggalkan Ayaa, Tata, dan Lintang.
"E--busyet, anak setan main nyelonong aja," ucap Tata kesal.
Rendy masih bisa mendegarnya. Rendy membalik badan, dan kemudian melambaikan tangannya ke arah Ayaa, Tata, dan Lintang.
"Temen gue bukan anjing yang pake diseret-seret!" teriak Lintang.
"Ehh, b**o. Siapa yang lagi nyeret? Anjing juga nggak ada yang diseret," ralat Ayaa sedikit kesal kepada Lintang.
"Ditarik sama diseret itu beda Lintang," jelas Tata dan mereka hanya menggelengkan kepala.
Lintang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
****
Sesampainya di parkiran Rendy memakai helmnya, dan menyalakan motornya. Setelah Jingga naik, Rendy segera melajukan motornya meninggalkan area sekolah.
"Mau makan dulu?" tawar Rendy sambil melirik ke kaca spionnya.
"Apa?" tanya Jingga. Bukannya tuli, tetapi Jingga memang tidak terlalu jelas mendengarnya, kerena menggunakan helm.
"Mau makan dulu nggak?" ulang Rendy dengan nada yang lebih keras.
"Gak deh, Kak. Lain kali aja, soalnya hari ini aku ada janji ketemu temen," jawab Jingga dan diangguki oleh Rendy.
Ya, Jingga sudah memikirkan hal ini. Jinga akan menemui Rio, sepertinya ini bukan keputusan yang baik. Tapi, entahlah hati Jingga yang memintanya untuk mengiakan ajakan Rio.
Rendy melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. "Pegangan, entar jatuh."
Sebelum Rendy menceramahinya lagi Jingga langsung menurut, dan meletakkan kedua tangannya di bahu Rendy.
Rendy hanya tersenyum melihat Jingga yang mau saja menuruti perintahnya.
****
17:30
Hari ini, taman sangat ramai. Banyak sekali pengunjung yang dateng.
Di sinilah Jingga, duduk di bangku panjang yang berada di bawah pohon besar. Jingga sedang menunggu Rio, di tempat di mana dulu sering Jingga kunjungi bersama Rio.
Jingga beberapa kali melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu. Namun, Rio tak kunjung datang.
"Lo niat dateng gak sih, Yo?" tanya Jingga pada angin.
Langit sudah terlihat mendung, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Tapi, Jingga sudah berjanji kepada Rio sebelum Jingga pergi tadi, bahwa Jingga akan menunggu Rio di tempat ini jika dia terlambat datang.
Mungkin macet. Pikirnya berusaha positif, padahal ingin sekali menjuru ke hal yang negatif.
Jinggan menghembuskan napasnya gusar. Perasaannya campur aduk. Bukan kah dia yang membuat janji? Tapi, dia juga yang mengingkarinya? Atau gue yang terlalu bodoh? Ah, entahlah.
Hujan deras turun mengguyur Ibu Kota Jakarta. Semua orang berteduh, tapi tidak dengan Jingga. Dirinya masih setia menunggu Rio di tempat itu. Jingga khawatir kalau dia pergi, Rio datang dan kecewa setelah tahu kalau di tempat itu tidak ada dirinya.
"Apa lo bohongin gue lagi, Yo?" ucap Jingga yang tengah menahan air mata yang hampir jatuh.
Tapi, cairan bening itu tidak bersahabat dengannya, dan malah mengalir begitu saja di pipi mulus Jingga.
Hujan turun dengan sangat deras. Memang ini cara Tuhan agar semua orang tidak mengetahui kalau dirinya sedang menangis saat ini.
Jingga menatap ke arah langit, dan menutup matanya sambil merasakan tetes demi tetes air hujan yang gugur tepat di wajahnya.
Saat Jingga menikmati tetes demi tetes air hujan, tiba-tiba ia merasa tidak ada lagi tetesan air yang gugur mengenai wajahnya.
"Yah, hujannya sudah berhenti," ucapnya yang masih menutup matanya.
Jingga diam. "Tapi, bukannya ini suara hujan?" Jingga mendengar dengan sangat jelas kalau ini suara hujan, bahkan lebih deras dari sebelumnya.
Lalu kenapa air hujannya tidak ada lagi? batinnya.
Jingga membuka matanya perlahan. Saat Jingga membuka matanya yang pertama dia lihat adalah sebuah payung berwarna hitam yang berada tepat di depan matanya.
Payung?
Jingga menoleh ke samping kirinya, dan ternyata ada seseorang yang tengah duduk di sampingnya-- membawa sebuah payung. Rendy. Ya, dia Rendy, cowok yang baru saja Jingga kenal seminggu belakangan ini.
Rendy tersenyum manis ke arah Jingga. "Ngapain lo di sini?" tanya Rendy dengan nada yang tinggi karena menyetarakan dengan suara guyuran hujan yang semakin deras.
"Nungguin temen," jawabnya dengan menundukkan kepalanya.
Rendy menatap heran ke arah Jingga. Bodoh! Satu kata untuk Jingga.
"Angkat kepala lo! Liat gue sekarang!" Jingga menggeleng dan masih menundukkan kepalanya.
"Jee, tatap gue sekarang!"
Jingga memberanikan diri menatap manik mata Rendy. "Dengerin kata-kata gue!" Jingga mengangguk. "Kalau dia emang peduli sama lo, dia pasti datang, dan nggak bakal biarin lo kehujanan di sini."
Jingga menatap sedih ke arah Rendy. Dia membenarkan perkataan Rendy. Dirinya memang bodoh menunggu hal yang tidak pasti seperti ini.
"Tapi, dia sudah janji bakalan datang ke sini, Kak," lirih Jingga dengan cairan bening yang mengalir di pipinya.
Ya, Rio memang sudah berjanji datang, saat Rio menelponnya tadi sebelum dia pergi ke taman.
Dengan cekatan ibu jari Rendy menghapus cairan bening itu. "Jangan buang air mata lo buat dia yang belum tentu mikirin perasaan lo."
Jingga tidak bisa berbuat apa-apa, dia tahu kalau dirinya salah.
"Kenapa mau hujan-hujanan di sini?" tanya Rendy yang memasangkan jaket ke punggung Jingga.
"Aku suka hujan."
"Jangan suka main hujan, mungkin awalnya lo bahagia tapi liat akhirnya lo bakal jatuh sakit."
Jingga menatap manik mata Rendy yang begitu tulus. Bukankah kebanyakan anak seperti Rendy tidak akan sepeduli itu sama cewek? Mungkin faktor alam.
"Kenapa hujan tetap mau datang? Padahal dia sudah tahu rasanya jatuh berkali-kali."
"Karena hujan nggak punya perasaan," jawab Rendy sekenanya. Jingga menatap ke arah Rendy yang sedang tertawa.
"Ganteng."
"Gue tahu, emang udah dari dalam perut gue ditakdirin ganteng." Rendy terkekeh. Sedangkan Jingga, hanya bisa menutup mulutnya, memalukan.
"Ayok, pulang. Jangan lama-lama di sini entar lo sakit." Jingga mengangguk.
****