PP-09

1316 Words
Seperti biasa. Pekerjaan kantor amat sangat memusingkan bagi Nadien. Terlebih dalam kondisinya yang seperti ini. Perusahaan sedang down, serta kehidupan rumah tangganya yang berada di ambang kehancuran. Nadien tidak tahu, apa yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Ia ingin menemui Vania, menjenguk serta memintanya untuk segera buka mulut agar nasib pernikahannya dengan Daniel bisa diselamatkan. Tapi, rasanya ia tak punya waktu untuk itu. Apalagi setelah satu jam lalu ia membaca laporan dari sekretarisnya, tentang beberapa aset perusahaan yang mulai disita bank. Pengajuan kerja sama yang Nadien tawarkan pada beberapa perusahaan juga ditolak. Hanya Daniel dan Rafael Renandi yang mampu menolongnya di saat seperti ini. Tapi itu tidak akan mudah mengingat kesalah pahaman yang sedang terjadi di antara mereka. Lagi pula, Nadien capek menjadi pemeran pengganti dalam kehidupan Vania. Ada rasa malu dan sungkan, untuk meminta bantuan orang-orang di sekeliling Vania. "Jadi Sekar, kira-kira kalau semua aset perusahaan dijual, apakah dananya akan mencukupi untuk melunasi hutang serta gaji pegawai?" tanya Nadien pada akhirnya. Ia tidak punya pilihan lain. Sepertinya ini saatnya dia melepas perusahaan yang sangat ia cintai itu. Ia harus bisa memulai dari awal lagi. Dari pada terlalu memaksakan diri, yang ada hanya akan menambah beban hutang. "Kalau menurut perhitungan saya, cukup, Bu. Tapi, apa Ibu serius mau menjual semuanya? Maksud saya, jika hal itu dilakukan, bukankah itu artinya perusahaan kita akan tutup?" tanya Sekar. "Saya tidak punya pilihan lain. Saya tidak mungkin kembali menahan gaji para pegawai, pajak dan yang lainnya. Mungkin lebih baik saya mulai dari nol lagi, Sekar," balas Nadien dengan nada sendu. "Baik, Bu," jawab Sekar. Setelah itu Sekar pamit keluar dari ruangan Nadien. Nadien memijat pelipisnya. Air matanya tak tertahan lagi untuk meluncur keluar. Hatinya sangat perih. Bagaimana ia harus menjelaskan ini pada ayahnya nanti? Beliau pasti sangat kecewa karena Nadien menyerah secepat ini. Tapi, Nadien bahkan tak punya pilihan lain lagi. "Maafin Nadien, Pa. Maafin Nadien," isaknya. Setidaknya untuk saat ini Nadien masih memiliki beberapa aset pribadi. Jadi ia dan ayahnya tidak akan hidup kekurangan untuk beberapa waktu ke depan. Sekarang, tinggal ia yang harus memutar otak, untuk mendapat pekerjaan baru secepatnya, sebelum tabungannya semakin menipis. "Maaf, Bu." Nadien terpenjat dan segera menghapus air matanya. Ia mempersilakan Nuraini masuk. "Ini, Bu, ada titipan surat dari pengadilan untuk Ibu," ujar Nuraini. Nadien memperhatikan lamat-lamat wajah sekretarisnya itu. "Pengadilan? Maksudnya bagaimana? Ada masalah apa?" bingung Nadien. Nuraini tak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya, seakan tak mampu berhadapan dengan Nadien. Nadien pun segera meraih dokumen yang Nuraini sodorkan padanya, lalu membukanya perlahan. "Surat gugatan cerai??" Suara Nadien terdengar lantang, namun bergetar di saat bersamaan. "Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?" tangisnya dengan tangan bergetar. "Maaf, Bu. Saya juga tidak mengira jika Pak Daniel akan melangkah sejauh ini. Terlebih, saat ini Anda juga sedang sangat membutuhkan dukungan psikologis dari Beliau," ujar Nuraini terdengar sendu. Nadien meremas surat gugatan cerai yang diajukan suaminya itu. Ia menyabet tasnya kemudian segera pergi untuk mencari Daniel. Jika Daniel ingin berpisah, bukan seperti ini caranya. Tidak semudah ini dia bisa pergi setelah membuat Nadien jatuh cinta begitu dalam padanya. * Braakkkk Nadien membanting keras pintu ruang kerja Daniel.  "Oh.. kamu pasti datang untuk menyerahkan surat yang sudah kamu tanda tangani, ya?" tebak Daniel enteng. Hati Nadien mencelos mendengar ucapan laki-laki yang ia cintai itu. "Kenapa? Kenapa kamu jadi seperti ini?" tanya Nadien dengan suara bergetar. "Taruh saja suratnya di meja sekretarisku! Biar dia yang masukkan ke pengadilan sore ini juga," ujar Daniel santai. Bahkan pria itu masih tampak fokus pada dokumen di tangannya. Membuat Nadien merasa tak ada harganya sama sekali di mata laki-laki yang masih berstatus suaminya itu. "Aku tidak mau bercerai," ungkap Nadien. Daniel tampak mulai mengalihkan perhatiannya ke arah sang istri. "Kenapa? Jangan siksa diri kamu sendiri dalam ikatan pernikahan tanpa cinta ini, Nadien! Aku juga tidak mau terus-terusan menjadi alat untuk kamu bisa kembali mendekati Andrea." Nadien menggeleng kuat. Apa yang Daniel katakan salah. Ia tak ada niatan memanfaatkan Daniel. Dan ia juga benar-benar sangat mencintai Daniel. "Kamu bisa menyimpulkan semua itu dari mana? Aku tidak seperti itu, Daniel. Aku mencintai kamu," ucap Nadien melemah. Ia harus menahan emosinya. Ia tidak mau hubungannya dan Daniel malah akan semakin renggang karena dirinya yang terlalu mudah tersulut emosi. Ia harus sabar. Ia harus menjadi pihak yang berkepala dingin di sini, jika tidak mau Daniel emosi dan hanya akan membuat laki-laki itu semakin menjauh darinya. "Aku tidak menerima alasan apapun lagi. Aku juga tidak bisa semudah itu percaya dengan kamu lagi. Semuanya jelas, bahkan kamu sampai menyakiti Dev hanya untuk mencapai ambisimu. Kamu pikir aku akan diam saja? Kamu pikir aku akan bahagia tinggal satu atap dengan wanita jahat sepertimu?" tanya Daniel dengan nada rendah. "Bukan aku, Daniel. Aku berani bersum-" "Buktikan! Bawa buktinya kemari! Jangan cuma omongan doang. Kamu tidak tahu kan, bagaimana kondisi Dev sekarang? Dia depresi, Nadien. Dia bahkan tidak mau bertemu Andrea karena merasa bersalah. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena merasa gagal menjaga janin yang ia kandung. Dan itu semua salah siapa? Salah kamu!" tuding Daniel. Nada bicaranya pun mulai meninggi. Mengintimidasi Nadien hingga wanita itu merasa sesak dan tak sanggup berbicara. Nadien hanya terus menggelengkan kepalanya. Mulutnya terus menyangkal semua yang Daniel tuduhkan padanya. Karena faktanya memang bukan dia yang mencelakai Vania. "Sudahlah, lebih baik kamu pergi dari sini! Segera tanda tangani surat gugatan cerai itu biar semua cepat berakhir! Aku muak melihat wajahmu."  Nadien meremas dadanya yang terasa sesak. Kenapa begitu mudahnya Daniel mengatakan kata-kata yang sangat menyakitkan itu? Apakah benar, laki-laki itu adalah suami yang dulu pernah mencintainya? "Kalau kamu tanya soal cinta, sepertinya sudah jelas. Cinta itu sudah mati, Nadien. Kamu sudah membuatku kecewa, sampai rasanya aku benar-benar membenci kamu," imbuh Daniel yang membuat Nadien semakin terisak. "Aku tidak mau pisah. Aku nggak mau kita cerai, Dan. Tolong beri aku satu kesempatan lagi! Setidaknya sampai aku bisa bertemu Vania dan meminta dia menjelaskan semuanya padamu," pinta Nadien. "Jangan harap kamu bisa menunjukkan batang hidungmu lagi di hadapan Dev!" balas Daniel. "KARTIKA!" Teriak Daniel memanggil sekretarisnya. Kartika pun segera datang dan menawarkan bantuan pada Daniel. "Usir dia! Jangan biarkan dia menginjakan kakinya di kantor ini lagi!" suruh Daniel. Kartika menoleh ke arah Nadien dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Sepertinya ia merasa tidak enak jika harus mengusir wanita yang masih sah berstatus sebagai istri bosnya itu. "T.. tapi, Pak, Bu Nadien kan-" "Usir dia sekarang atau kamu mau saya pecat, Kartika?" ancam Daniel. Kartika segera menunduk dan meminta maaf pada Daniel. "Maaf, Bu sebaiknya Anda pergi," ujar Kartika sungkan. "Daniel-" ucap Nadien terpotong. "KELUAR! ATAU KAMU MAU SATU PEGAWAIKU AKU PECAT KARENA KEKERAS KEPALAANMU ITU?" bentak Daniel. Nadien menggeleng lemah. "Kamu jahat, Daniel!" teriak Nadien sebelum akhirnya berjalan cepat meninggalkan ruangan menyesakkan itu. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin peribahasa itulah yang cocok untuk menggambarkan kehidupan Nadien saat ini. Ia benar-benar kehilangan semuanya. Hidupnya hancur.  "Papa, Nadien butuh Papa," lirihnya sembari menangis saat ia menyetir mobil menjauhi perusahaan Daniel. Ya. Hanya Adam yang Nadien punya. Hanya Adam 'rumah' bagi Nadien. Nadien sangat merindukan laki-laki yang hampir semua rambutnya sudah memutih itu. Tapi, apa yang akan ia katakan jika Adam bertanya tentang apa yang terjadi nanti?  Bagaimana Nadien harus menjelaskan tentang perusahaannya yang bangkrut, dan nasib rumah tangganya yang berada di ambang kehancuran pada laki-laki yang sudah kian menua itu? Nadien tidak mau menjadi beban pikiran bagi ayahnya. Ia sangat khawatir dengan kesehatan ayahnya.  Lalu, apa yang harus lakukan? Harus ke mana Nadien pergi saat ini? Ia bahkan tidak punya siapa-siapa lagi selain ayahnya. *** Bersambung... Good news, Pemeran Pengganti sudah di acc editor. Dan bahkan sekarang sudah signed, guys.. yuk mari doakan aku sekeluarga sehat fisik&mentalnya biar Januari nanti kita bisa setiap hari ketemu Nadien dan Daniel yaaa... :D Yang belum like/love/follow, yuk love dulu pokoknya. Biar semangat ngetik. Dan beneran Januari/Februari bisa tamat :) Terima kasih sudah mampir dan setia menunggu kelanjutan cerita ini. Yang punya ig, boleh follow riskandria06 , atau yg punya sss boleh juga add Andriani Riska :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD