PP-08

1326 Words
Nadien merasakan seluruh tubuhnya pegal-pegal. Khususnya bagian punggung dan lehernya. Nadien meraih ponselnya, kemudian menekan tombol di bagian samping hingga layarnya menyala. "Sudah jam sepuluh lebih?" kagetnya. Yang terakhir kali ia ingat adalah, ketika sekretarisnya izin pulang duluan sekitar jam sembilan tadi. Itu artinya, Nadien sudah tertidur satu jam lebih. "Aku harus pulang," cepat-cepat Nadien bangkit, meski kesadarannya belum kembali benar. Bahkan ia sampai berkali-kali hampir terjatuh karena bangun dalam posisi kaget dan langsung melesat pulang. Sembari menyetir, sesekali Nadien melihat jam tangannya. Ia cukup terburu-buru hingga mengendarai mobilnya di atas kecepatan normal. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Daniel. Apakah laki-laki itu sudah pulang? Tapi, melihat jarum jam yang sudah hampir menunjuk angka sebelas itu, harusnya sudah sejak tadi Daniel sampai di rumah. Tanpa sadar, senyum tipis terbit di bibir Nadien. Ia sangat merindukan Daniel. Dan ia amat sangat tidak sabar bertemu dengan suaminya itu nanti setelah sampai di rumah. "Aku harus lebih cepat," gumam Nadien sembari memperdalam injakkan kakinya pada gas. Gelap. Itulah kata yang dapat menggambarkan suasana ruang tamu Nadien ketika wanita itu mulai memasuki rumah. Tak mau membuang-buang waktu, Nadien pun bergegas naik ke lantai dua. Kreeekk.. Nadien berusaha membuka pintu kamarnya dengan sepelan mungkin. Ia takut akan mengusik tidur Daniel kalau sampai menghasilkan kegaduhan. Nadien mneyalakan lampur tidur di dekat ranjangnya. Namun kondisinya masih sama, kosong. "Daniel nggak pulang? Apa dia masih marah? Apa itu artinya Vania belum sembuh? Aku harus bagaimana setelah ini?" monolog Nadien. Akhirnya, dengan langkah gontai ia menuju ke tempat tidurnya. Ia tak langsung tidur. Melainkan membuka beberapa pesan masuk di ponselnya. Namun, sama saja. Daniel sama sekali tak menunjukkan keresahan atau kekhawatiran akibat Nadien yang pulang terlambat. "Rasanya tetap sama saja sakit," tulisnya, kemudian iseng ia kirimkan pada Daniel. Selama ini, Nadien tak pernah mempermasalahkan sikap Daniel yang selalu mengutamakan Vania dibandingkan dirinya. Yang terpenting hanya Daniel selalu ada di sampingnya. Dan bersikap layaknya suami pada umumnya. Tapi kali ini saja, bolehkah Nadien egois, berharap suaminya ada di sini, di sampingnya dan meninggalkan Vania supaya dijaga oleh keluarganya sendiri? Saat ini, Nadien sendiri. Nadien merasa butuh Daniel. Sementara Vania, setidaknya ia masih punya suami dan keluarga besar yang selalu mencintainya. Nadien memejamkan matanya erat-erat. Bersamaan dengan itu, air matanya mulai mengalir. Hatinya terasa sesak. Ia merasa beban yang ia tanggung beberapa hari ini terlalu berat untuk ia pikul sendiri. Dan lagi, tak ada seorang pun yang mau peduli atau sekadar menjadi tempatnya berbagi. * Rasanya, baru saja Nadien terjun ke alam mimpi. Namun, suara bising dan pergerakan di sisi kasurnya yang lain berhasil mengusiknya. Seingatnya, bukankah ia hanya di rumah sendiri saat hendak tertidur semalam? Perlahan, Nadien membuka matanya. Samar-samar, ia melihat Daniel yang sedang sibuk berkemas. Rasanya seperti mimpi. Secepat kilat, ia langsung bangkit. "Kamu sudah pulang?" tanya Nadien setengah sadar. Ia melihat ke arah jam dinding. Pukul tiga dini hari. "Kamu mau ke mana?" tanya Nadien lagi. "Pergi," jawab Daniel singkat. Nadien berjalan mendekati suaminya. Perasaannya mulai diliputi ketakutan. "Pergi ke mana? Sini aku bantu packingnya," ujar Nadien. Daniel menghentikan aktivitasnya. Ia menghadap ke arah Nadien hingga wanita itu tersenyum. "Aku bantu packingnya, ya? Kamu mau dinas ke luar kota? Atau-" "Aku mau kita pisah untuk sementara waktu," Piassss Nadien yang baru saja meraih satu kemeja Daniel dan hendak melipatnya pun segera mengurungkan niatnya. Ia kembali berdiri dan menatap wajah tampan sang suami. "Mak.. maksud kamu? Apa terjadi sesuatu dengan Vania?" tanya Nadien. "Dev keguguran, dia sempat tidak sadar dan begitu sadar dia depresi. Lalu menurut kamu aku bisa, tinggal seatap dengan orang yang sudah membuat Dev seperti itu?" bentak Daniel. Laki-laki itu kembali memasukkan bajunya ke dalam koper. Nadien menggeleng. Ia berusaha menghalang-halangi Daniel yang tengah berkemas. "Enggak. Bukan aku, Dan. Kamu harus percaya sama aku! Bukan aku yang mencelakai Vania. Tolong jangan pergi!" pinta Nadien dengan air mata yang mulai menetes. Tolong, kali ini saja. Ia benar-benar membutuhkan Daniel untuk berada di sampingnya. "Nggak, Nad! Sudah kamu tidur lagi saja! Aku sudah mau selesai juga kok," tolak Daniel. Nadien menggeleng kuat. "Nggak bisa begini, Dan!!" teriak Nadien frustrasi. Braaakkk Daniel membanting kopernya geram. Lalu ia bangkit dan menatap Nadien dengan tatapan tajamnya. "Kenapa nggak bisa? Kamu tahu, kan? Dev adalah orang yang sangat berharga buatku. Aku tidak mungkin bisa bersikap biasa saja dengan orang yang sudah menyakitinya. Meskipun itu kamu," ujar Daniel tajam. "Tap.. tapi bukan aku, Dan. Aku berani bersumpah, itu bukan aku," cicit Nadien. "Buktikan! Kamu punya bukti apa? Kalau memang bukan kamu pelakunya, buktikan! Kalau kamu bisa membuktikannya, aku tidak akan pergi. Sekarang mana buktinya?" Nadien memejamkan matanya. Ia berusaha berpikir. Dengan cara apa ia bisa membuktikan pada Daniel bahwa bukan ia yang bersalah. "Gimana? Mana buktinya?" Nadien menggeleng. Ia ingat betul kalau di rumah Andrea dan Vania tidak memiliki CCTV. "Aku berani bersumpah jika bukan aku pelakunya, Dan," ujar Nadien. Daniel tersenyum miring, "hanya dari ucapan? Dan kamu pikir aku akan percaya? Kamu jangan berlagak seperti kamu korban, Nadien! Kamu pikir kamu saja yang paling disakiti di sini? Bagaimana dengan Dev dan Andrea? Mereka bahkan kehilangan anak yang sudah tujuh bulan ia tunggu!" "Lalu bagaimana denganku? Aku suamimu. Dan kamu ternyata masih belum menyerah mendapatkan Andrea? Kamu pikir aku ini apa?" Nadien menggeleng, "tidak seperti itu. Bukan aku. Aku mohon percayalah, Dan!" rengek Nadien. Daniel memilih tak mengindahkan rengekan istrinya. Ia kembali mengemasi barangnya. Lalu, segera menutup kopernya sebelum Nadien kembali menghalanginya. "Daniel," Nadien berusaha mengejar Daniel yang berjalan cepat keluar dari kamar. "Bagaimana kalau kita ke tempat Vania sekarang? Aku bisa meminta Vania menjelaskan semuanya," usul Nadien. "Kamu pikir keluarga Dev akan membiarkanmu menemui Dev? Dengan mereka tidak menjebloskan kamu ke penjara saja seharusnya kamu banyak bersyukur, Nadien," tolak Daniel. "Tapi bukan aku pelakunya. Kita harus bertemu Vania, agar dia yang menjelaskan semuanya," ujar Nadien. Daniel menoleh, "Dev depresi. Dia stres mengetahui anaknya meninggal. Dan sekarang, pembunuh anaknya ingin bertemu dengannya? Kamu mau Dev jadi gila? Belum puas kamu menghancurkan Dev sampai seperti ini?" bentak Daniel. "Bukan aku-" "Sudahlah! Kalau memang bukan kamu pelakunya, cukup buktikan! Sekarang semua bukti mengarah ke kamu. Kalau memang bukan kamu, harusnya tidak sulit untuk kamu membuktikannya. Dan selama kamu belum bisa membuktikannya, jangan pernah muncul di hadapanku, dan juga Dev," ujar Daniel telak, kemudian segera masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan pekarangan rumahnya dengan Nadien. Nadien meremas dadanya yang terasa sesak. Ia menangis menatap mobil hitam yang kian menjauh dari rumahnya itu. "Aku butuh kamu, Daniel. Aku butuh kamu. Aku tidak mau kita seperti ini. Jangan tinggalkan aku!" lirih Nadien. Kali ini Nadien sadar. Ternyata, bagi Daniel ia sama sekali tak ada artinya. Di saat seperti ini, begitu mudahnya Daniel pergi, tanpa mau mendengar penjelasan Nadien sama sekali. Apakah itu yang dinamakan dengan cinta? Lalu, apakah benar Daniel mencintainya? Kenapa Nadien menjadi ragu? Selama ini ia selalu baik-baik saja Daniel selalu mengutamakan Devania Putri Renandi. Karena memang wanita itu sangat istimewa. Bahkan seorang Andrea Wira Sakti yang sedingin es pun bisa mencintainya sedalam itu. Tapi, bagaimanapun juga Nadien sudah sah menjadi istri Daniel. Tidak bisakah Daniel sekali saja mengutamakan Nadien di atas Vania? Nadien tidak membenci Vania. Hanya saja, Nadien kini merasa seperti setitik kecil partikel yang tak berarti di kisah hidup Vania. Ia baru sadar, orang-orang di sekelilingnya kini adalah orang-orangnya Vania. Orang-orang yang juga mencintai Vania. Jadi, apakah selamanya Nadien hanya akan menjadi pemeran pengganti dalam kisah Vania? Tidak bisakah ia memiliki kisah sendiri, dimana ia lah pemeran utamanya? Bolehkah Nadien bermimpi menjadi pemeran utama dalam sebuah cerita yang akan dicintai banyak orang seperti Vania? *** Bersambung.. Satu patah dua patah kata untuk chapter ini ... Jangan lupa klik love di pojok kanan bawah di halaman kover dan ramaikan kolom komentar, ya :) Terima kasih sudah mampir. Kalau berkenan, bisa mampir ke ig riskandria06 atau sss Andriani Riska. Selain di Innovel, aku juga menulis di 2 platform lain. Bagi yang mau berkunjung, silakan. Semua info ada di ig dan sss. Karena aku sering update story di sana untuk menginfokan ke pembaca tentang semua ceritaku di platform lain :))
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD