PP-18

1435 Words
Seperti yang Nadien rencanakan. Ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari hari biasanya. Waktu masih menunjukkan pukul 15.40. Tapi Nadien sudah seperti dikejar setan. Ia juga sudah menyiapkan alasan agar diizinkan pulang lebih cepat. Setelah memastikan bahwa layar komputer di depannya benar-benar mati, Nadien bergegas menyabet tas dan kunci mobilnya. "Kamu mau pulang, Nad?" tanya Novi. Nadien mengangguk sembari tersenyum tipis. "Aku ada janji bawa Papa check up. Janji sama dokternya jam empat karena dokternya sibuk," dusta Nadien. Novi mengangguk mengerti kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. Sementara itu, Nadien bergegas ke ruangan Bu Sarah sembari membawa beberapa laporan yang telah ia selesaikan. "Selamat sore, Bu," sapa Nadien sembari membuka pintu ruangan Bu Sarah. "Iya, Nadien? Masuk!" Beliau mempersilakan. Nadien pun masuk dan mendekat ke arah meja Bu Sarah. "Pekerjaan saya hari ini sudah selesai, Bu. Boleh tidak kalau saya izin pulang lebih cepat? Soalnya saya ada janji mengantar ayah saya check up," ujar Nadien meminta izin. Bu Sarah menerima laporan Nadien, kemudian mengecek isinya sekilas. "Oh.. iya tidak apa-apa kok, Nad. Yang penting mah pekerjaan sudah selesai," balas Bu Sarah. Nadien tersenyum lebar lalu mengucap terima kasih pada Bu Sarah sebelum akhirnya ia pamit keluar. Nadien berjalan cepat ke arah parkiran. Sesekali, ia melirik jam di tangannya. Ia harus cepat, sebelum Daniel sampai sini dan kembali mengusik ketenangannya. Kondisi parkiran masih cukup kondusif. Nadien cepat-cepat masuk ke dalam mobilnya. Tapi, baru saja berjalan sekitar satu meter, Nadien merasakan ada yang aneh dengan mobilnya. Ia segera keluar dan mengecek apa yang sebenarnya terjadi. "Sial! Sejak kapan roda mobilku kempes?" umpat Nadien. Ia memeriksa ke sisi sebelah kiri. Dan ternyata, kempes juga. Begitu pun dua roda belakangnya. Nadien menendang roda mobilnya kesal. Ia yakin, pasti Daniel dalang di balik semua ini. "Butuh tumpangan, Nyonya cantik?" Suara itu berasal dari arah belakang Nadien. Nadien pun refleks menoleh dan langsung menunjukkan ekspresi masamnya. Seperti dugaannya, ini semua pasti ulah Daniel. Dan kini dengan sangat percaya dirinya, laki-laki itu berdiri di depan Nadien, bahkan memasang senyum manis seolah tak punya salah apapun. Nadien menghela napas panjang. Jangan sampai ia terlihat emosional di depan laki-laki yang masih sah berstatus sebagai suaminya itu. Nadien tidak mau, Daniel semakin merasa menang jika melihatnya frustrasi. "Kamu sengaja kan kempesin roda mobilku?" tuduh Nadien dengan nada dingin. "Loh, roda mobil kamu kempes? Kok bisa?" Nadien tahu, Daniel hanya sedang menggodanya. Dan Nadien berusaha agar emosinya tidak semakin terpancing. "Hh... terserah," balas Nadien kemudian hendak berjalan meninggalkan parkiran. Tap Ternyata Daniel jauh lebih cekatan daripada Nadien. Ia berhasil menahan lengan wanita itu. "Lepas!" kesal Nadien. "Tidak akan," tolak Daniel sengit. "Iya. Aku yang kempesin roda mobil kamu. Sekarang kamu butuh tumpangan untuk pulang kan? Ayo pulang denganku!" ajak Daniel santai. Tangannya masih mencengkram lengan Nadien dengan sedikit keras, karena Nadien terus berontak. "Lepas nggak?" Nadien menatap tajam ke arah Daniel. Namun Daniel seakan tak peduli dengan tatapan itu. "Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu ikut aku," balas Daniel yang masih keras kepala. Nadien masih terus berusaha berontak. Namun, bagaimanapun juga ia tetap seorang wanita biasa yang memiliki sisi lemah lembut "Aku nggak mau ikut sama kamu. Aku bilang lepasin!" pinta Nadien, masih dengan terus berusaha lepas dari jeratan suaminya. Daniel menunduk, mencari wajah istrinya itu. Ia mendengar suara wanitanya itu bergetar seperti menahan tangis. Di saat merasa cengkraman Daniel mengendur, Nadien pun memanfaatkannya untuk melepaskan diri. Ia menghempaskan kasar tangan Daniel yang ada di lengannya. "Kamu.... nangis?" tanya Daniel ragu. Nadien memalingkan wajahnya. Ia berusaha menghindar dari tatapan Daniel yang seolah sedang mengejarnya. "Sayang, kamu-" "Aku bilang jangan panggil aku seperti itu lagi!" bentak Nadien. Suaranya masih bergetar. "Apa aku tadi menyakitimu?" tanya Daniel khawatir. Ia menyentuh lengan Nadien yang tadi ia cengkram. Ia berniat membuka kancing lengan kemeja yang Nadien kenakan. Namun, Nadien kembali berontak hingga niatnya itu gagal. "Aku cuma mau cek lengan kamu. Aku takut kamu terluka. Apa cekalan tanganku tadi terlalu keras?" tanya Daniel hati-hati. Daniel memperhatikan lamat-lamat sang istri yang masih enggan menatapnya. Ia melihat, bagaimana tangan Nadien terangkat ke arah wajahnya, laku bergerak seperti mengusap sesuatu. Nadien menangis? "Sayang, kamu nangis?" tanya Daniel lagi. Kali ini ia nekat memegang kedua bahu Nadien. Ia memutar tubuh Nadien agar mengharap ke arahnya sepenuhnya. Tap.... Mata wanita itu merah. "Jauhkan tangan kamu dari tubuhku!" pinta Nadien. Kali ini, Daniel memilih mengalah. Ia segera menurunkan kembali tangannya. "Aku cek lengan kamu, ya? Aku takut kamu kenapa-kenapa," Daniel meminta izin. Nadien menggeleng lemah. Rasanya, ia tidak tahan jika harus bertatapan empat mata terlalu lama dengan Daniel. Batinnya tersiksa. Terkadang, Nadien merasa luluh dengan perlakuan Daniel padanya. Ia merindukan sisi manis Daniel yang seperti ini. Tapi.... tiba-tiba bayangan suram itu hadir setiap Nadien menatap mata laki-laki itu. Ia teringat kembali dengan apa yang sudah Daniel lakukan padanya. Dan Nadien tidak bisa memaafkannya begitu saja. "Kamu yang seperti ini cuma bikin aku tambah benci sama kamu," gumam Nadien. Sekuat tenaga, ia menahan mulutnya agar tak bergetar. Ia tidak mau suaranya terdengar lemah di telinga lelaki yang telah mencampakannya itu. "Aku minta maaf. Aku bahkan sudah minta maaf berkali-kali, Nadien. Aku akan lakuin apa saja yang kamu mau. Tapi kenapa kamu nggak bisa maafin aku?" protes Daniel. Nadien tersenyum tipis. Senyum itu lebih senyum meremehkan. "Kamu pikir semudah itu, setelah apa yang kamu lakukan padaku? Memangnya, kemana telinga kamu saat aku dulu bilang puluhan kata 'maaf', bahkan atas kesalahan yang tidak aku lakukan?" Pertanyaan itu cukup menohok bagi Daniel. "Tapi, apa aku tidak layak mendapat kesempatan kedua? Aku mencintai kamu, Nadien. Aku berjanji akan berubah dan-" "Bahkan janji suci kita saja tidak sanggup kamu pegang. Untuk apa kamu menebar janji lagi di depan mataku? Apa menurutmu aku bisa mempercayaimu?" potong Nadien. Biasanya, Daniel akan sangat senang saat Nadien mau bicara terbuka padanya. Karakter wanita itu terlalu lembut. Terkadang Daniel sampai khawatir jika Nadien menyimpan emosinya sendirian. Tapi, ketika kini Nadien mulai mengungkapkan curahan hatinya, kenapa Daniel merasa sesak, seperti diserang bertubi-tubi? "Aku tahu aku salah. Aku nggak tahu lagi harus berbuat seperti apa, Nad," ujar Daniel. "Ingat, bagaimana kamu meragukan perasaanku? Ingat, saat kamu mengira aku mencelakai Vania agar Andrea bisa kembali padaku? Ingat, saat kamu menuduhku menjalani pernikahan kita hanya agar bisa selalu dekat dengan Andrea?" tanya Nadien bertubi-tubi. Nadien tak butuh jawaban Daniel. Ia hanya mau mengingatkan Daniel dengan apa yang pernah laki-laki itu katakan dulu. "Kamu pikir perasaanku semurah itu? Kamu pikir perasaanku seperti mainan yang bisa aku mainkan sesuka hatiku? Nggak, Daniel," imbuh Nadien. "Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya takut kalau ternyata-" "Jadi benar, kan? Kepercayaan itu sejak awal tidak ada. Lalu, untuk apa kita saling bertahan?" Sepertinya Nadien sama sekali tak membutuhkan tanggapan laki-laki itu. Nadien lebih suka Daniel diam, menjadi pendengar yang baik dari curahan hatinya. "Bukan kamu yang harusnya ragu. Tapi aku. Aku yang harusnya sadar, kenapa kamu mendekatiku dulu. Harusnya aku tahu hal seperti ini akan terjadi, agar aku bisa menghentikan hatiku dan tidak jatuh terlalu dalam dengan perasaan ini," lanjut Nadien. "Nggak.. kamu nggak seharusnya ragu. Apa yang kamu ragukan? Aku mencintaimu," balas Daniel. "Kamu pikir aku akan percaya? Perlakuan kamu padaku beberapa waktu lalu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya," ujar Nadien dengan nada dingin dan menusuk. "Tapi aku jujur. Aku benar-benar mencintai kamu saat aku melamarmu dulu. Kamu mau kan kembali sama aku? Kamu mau kan, memberikan kesempatan kedua untukku?" bujuk Daniel. "Pergi!" usir Nadien dengan suara yang dalam. "Nad, please,-" "Aku bilang pergi!" "..." "Aku akan semakin membencimu kalau kamu masih keras kepala dan tidak mau pergi dari sini," ancam Nadien keras. Tampak Daniel mengembuskan napasnya panjang. "Oke. Tapi aku pesankan kamu taksi dulu, ya? Atau kamu pulang dengan mobilku dulu," usul Daniel. Nadien tersenyum miring, "nggak perlu. Lebih baik kamu pergi sekarang! Aku bisa mengurus masalahku sendiri," Nadien melihat, bagaimana tangan Daniel mengepal erat, seperti sedang menahan emosi. Yang Nadien ketahui, lelaki itu bukan tipe orang yang tempramental. Ia bisa dikatakan cukup baik dalam mengelola emosinya. Kecuali saat menyangkut orang-orang yang ia cintai. Bukan Nadien maskudnya. Tapi Vania. Ingatkan, bagaimana Daniel mengkhawatirkan Vania sampai-sampai menuduh Nadien secara sepihak? "Kali ini aku akan pergi. Tapi aku pastikan kamu akan tetap menjadi milikku, Nadien. Permainan baru saja akan dimulai," Daniel mengakhiri kalimat terakhirnya dengan cukup lirih, seperti bisikan di telinga Nadien. Nadien bergedik ngeri. Langkah suara ketukan sepatu Daniel yang menjauh pun seketika terdengar menyeramkan, seperti mengintimidasi Nadien. 'Ke.. kenapa perasaanku jadi tidak enak? Apa lagi yang akan dia lakukan setelah ini?' *** Bersambung.... Jangan lupa ramaikan kolom komentar. Terima kasih sudah mampir :) Kali ini lumayan panjang loh... semoga kedepannya bisa segini juga :D Happy weekend. Jangan lupa selalu jaga kesehatan. Lagi musim penyakit :'l
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD