***
Nadien masih termenung. Kali ini ia duduk di ruang tamu rumah Andrea dan Vania. Air matanya terus menetes, mengingat semua perkataan Andrea yang ia dengar pagi ini.
Apa Andrea benar-benar tak mempercayainya lagi? Kenapa rasanya begitu sakit?
Bel rumah itu berbunyi. Namun Nadien masih diam membeku di tempatnya. Hingga tak lama kemudian terdengar suara seseorang yang sangat ia kenali.
"Loh, Dien, kenapa?" tanya orang itu dan segera mendekati Nadien.
Nadien sontak memeluk pria itu dengan sangat erat. Isakkannya semakin menjadi. Akhirnya, bahu tempatnya bisa mencurahkan semua kesedihannya telah datang. Laki-laki itu, adalah Daniel.
"Ada apa? Kamu kenapa kok nangis?" tanya Daniel khawatir sembari membelai rambut Nadien.
"Dev mana?" tanyanya lagi ketika tak kunjung mendapat jawaban dari Nadien.
Nadien malah semakin terisak. Mengingat tentang Vania, otomatis membuat bayangan menyakitkan tadi muncul lagi di benaknya.
"Bukan aku. Kenapa Andrea nggak percaya, Dan? Aku nggak sejahat itu. Aku sudah benar-benar berubah," isak Nadien.
Daniel berusaha melepas pelukannya. Ia merasa perlu mendengar penjelasan Nadien yang sepertinya sangat penting itu.
"Sayang, katakan, ada apa? Ada apa sama kamu, Andrea dan Dev? Di mana mereka sekarang? Mobil Andrea tidak ada di depan," tanya Daniel lembut, sembari menghapus jejak air mata di pipi istrinya.
Nadien menggeleng. Ia masih terus menangis. Kejadian tadi benar-benar membuatnya sangat terpukul.
Setelah melihat Vania yang kesakitan seperti tadi, dan Andrea yang tiba-tiba seperti menyalahkannya.
"Aku mau bertemu Vania dan Andrea. Antar aku, Dan!" pinta Nadien.
"Iya, aku akan mengantar kamu. Tapi katakan, ada apa sebenarnya? Di mana mereka sekarang?" desak Daniel.
"Vania... Vania... Dan, Vania, dia-"
"Dev kenapa?" potong Daniel cepat.
Detak jantungnya menjadi tak beraturan mendengar sang istri menyebut nama itu sembari berlinang air mata seperti ini.
"Vania... dia, jatuh. Aku takut.. aku takut bayinya kenapa-kenapa," masih dengan terisak, Nadien berusaha mengatakannya.
"Apa? Ba.. bayi? Maksud kamu apa, Nadien? Dev hamil? Sejak kapan? Lalu sekarang dia kenapa?" berondong Daniel. Pikirannya benar-benar kacau memikirkan sosok sahabat masa kecilnya itu.
"Dia jatuh. Perutnya sakit. Aku takut," terang Nadien terputus-putus.
BOOM!!!
Rasanya jantung Daniel seperti meledak. Dadanya terasa panas.
"Sekarang dia di mana? Katakan, Dien! Dev mana?" Daniel menggoncangkan tubuh Nadien, berharap wania itu memberikan penjelasan sedetail mungkin agar ia bisa mengetahui keadaan dan keberadaan Vania.
"Aku nggak tahu. Andrea membawanya. Sepertinya ke rumah sakit. Tapi aku nggak tahu rumah sakit mana," jawab Nadien seadanya.
Daniel bergegas mengambil ponselnya untuk menghubungi pegawai rumah sakit yang ia kenal. Beberapa menit kemudian,
"Mereka di Renandy's Hospital. Kita ke sana sekarang!" ajak Daniel, tak lupa menarik tangan Nadien dan berjalan sedikit tergesa-gesa.
Di sepanjang perjalanan, Daniel tak mengeluarkan suaranya. Membuat suasana menjadi mencekam bagi Nadien.
Belum sembuh sakit hati atas perbuatan Andrea tadi, kini Daniel malah menambah dengan sikap laki-laki itu.
Sampainya di rumah sakit, bahkan Daniel bergegas turun dan berlari mencari keberadaan Vania. Bahkan, ia sampai meninggalkan Nadien yang masih berada di dalam mobil.
Hati Nadien terasa nyeri. Apakah Daniel tidak tahu, bahwa saat ini ia sedang rapuh dan juga membutuhkannya?
Tapi, pada akhirnya Nadien ikut turun dari mobil. Ia berusaha menyusul langkah lebar Daniel meski terasa sulit karena panjangnya kaki laki-laki itu.
"Dev gimana, Ndre?" Nadien dapat mendengarnya. Ia pun segera menoleh ke arah kanan, dan mendapati suaminya sedang memegang kedua bahu Andrea.
"Andrea," panggil Nadien sembari menghampiri kedua pria itu.
Andrea memijat pelipisnya. Laki-laki itu tampak frustrasi. Ekspresi yang biasanya dingin itu kini berubah menjadi kusut. Bahkan matanya pun memerah dan berkaca-kaca.
Ada apa? Apa terjadi hal yang benar-benar buruk pada Vania dan bayinya.
"Ndre, Dev gimana? Dia baik-baik saja, kan?" desak Daniel sambil menggoncangkan tubuh Andrea kencang.
"Dia... tidak. Dia nggak baik-baik saja," ujar Andrea lemah.
Pegangan Daniel pada bahu Andrea pun terlepas. Kedua laki-laki itu tampak sangat rapuh, seperti baru saja kehilangan setengah jiwa mereka.
"Andrea, keadaan Vania bagaimana? Lalu bayinya-"
"Tolong hentikan drama kamu, Nadien! Aku benar-benar muak," potong Andrea.
Terdengar pelan, namun sangat menusuk bagi Nadien.
"Drama? Drama apa? Kenapa kamu berkata seperti itu pada istriku?" tanya Daniel merasa tidak terima.
Di sini, sangat kentara jika Andrea sedang berusaha menyudutkan Nadien.
"Ndre, bukan aku. Aku nggak mungkin-"
"Tolong pergi! Aku nggak mau lihat kamu ada di sini. Dan aku yakin Vania juga nggak mau melihat wanita yang sudah membuat bayi kami pergi ada di sini ketika ia sadar nanti!" usir Andrea.
Nadien dan Daniel, keduanya sama-sama membulatkan matanya. Bahkan, Nadien sampai terlonjak kaget mendengar penuturan Andrea.
"Mak.. mak.. maksud kamu, Vania- bayi kalian-"
"Maksud kamu, Dev keguguran?" tanya Daniel cepat.
Andrea mendudukkan dirinya di bangku panjang. Dan dengan segera, Daniel pun duduk di samping suami sahabat terbaiknya itu.
"Jawab, Ndre! Bayi kalian-"
"Iya. Dia sudah pergi. Aku nggak punya pilihan lain. Aku harus memilih salah satu di antara mereka. Dan aku nggak bisa kehilangan Vania," lirih Andrea. Suaranya terdengar begitu parau, menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
"Separah itu? Bagaimana bisa?" Tampaknya Daniel masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Terlebih, bahkan ia baru tahu kalau Vania sedang hamil muda.
"Dia mengalami kehamilan ektopik. Dan itu memang rawan bagi ibu dan bayinya. Ditambah lagi, kita semua telat mengetahui ini dan terlanjur ada kecelakaan seperti ini," terang Andrea.
Daniel mengusap wajahnya kasar, bahkan hingga memerah. Ia bangkit berdiri lalu berjalan gontai dan memukul tembok rumah sakit dengan sangat keras.
"Dan," lirih Nadien, berusaha menghentikan aksi suaminya itu.
"Bagaimana bisa? Kenapa harus Dev?" ujarnya frustrasi.
"Jangan seperti ini, Dan! Vania pasti akan semakin sedih kalau melihat kamu seperti ini," ujar Nadien lembut.
Daniel membalikkan badannya dan bergegas menghampiri Andrea lagi.
"Lalu, apa yang kamu katakan soal istriku tadi? Kenapa kamu bilang dia sedang berdrama? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa Nadien terlibat?" tanya Daniel tak sabaran.
Andrea tak langsung menjawab. Ia memilih diam dan melemparkan tatapannya ke arah lain.
"Nggak, bukan aku. Aku nggak tahu apa-apa, Dan. Tadi waktu aku dat-"
"Ndre, jawab!" desak Daniel mulai tersulut emosi. Bahkan ia sampai memotong ucapan Nadien yang menggantung.
"Aku tidak bisa memastikan. Tapi, hanya ada dia di tempat kejadian. Aku sempat mendengar Vania ribut dengan seseorang, dan yang aku lihat hanya dia," terang Andrea seadanya.
Memang seperti itu keadaannya kan? Hanya ada Nadien dan Vania di sana, saat Andrea datang dan mendapati Vania yang merintih kesakitan di lantai.
Nadien menggeleng cepat. Air matanya kembali menetes dengan deras.
"Bukan aku, Ndre. Aku berani bersumpah jika itu bukan aku. Bukan aku yang mendorong Vania sampai dia seperti ini," elak Nadien.
"Lalu apa? Siapa lagi kalau bukan kamu? Hanya ada kalian di tempat kejadian. Apa kamu pikir Vania yang dengan sendirinya nekat melemparkan dirinya hingga seperti ini?" tanya Andrea cepat.
Nadien menggeleng. Itu terlalu tidak masuk akal. Tapi benar-benar bukan dia pelakunya.
"Tapi bukan aku," lirih Nadien.
"Dan, kamu percaya kan sama aku? Daniel," Nadien mencoba meraih lengan suaminya. Sejak tadi laki-laki itu memilih diam.
Daniel mempercayainya kan? Tidak mungkin kan kalau Daniel juga akan menuduhnya sebagai orang yang sudah mencelakai Vania?
"Lebih baik kamu pergi dari sini!" ujar Daniel dingin.
PIASSSS.....
Rasanya Nadien seperti kehilangan segala kekuatannya. Rasanya, untuk berdiri saja sangat berat.
Daniel juga tidak mempercayainya?
"Dan, aku-"
"Yang aku tahu Dev sangat menginginkan seorang bayi. Jadi tidak mungkin ia melakukan semua ini atas kehendaknya sendiri. Itu berarti apa? Kamu kan pelakunya? Jadi lebih baik sekarang kamu pergi!" bentak Daniel.
"Dan, bukan aku,"
"PERGI! AKU BILANG PERGI, NADIEN! AKU NGGAK MAU MELIHAT KAMU BERADA DI SINI!" bentaknya lagi.
Rasanya sangat sesak. Nadien tak pernah menyangka jika dua laki-laki yang sangat ia kasihi itu akan menuduhnya seperti ini.
Apa itu artinya selama ini mereka juga ragu jika Nadien sudah benar-benar berubah?
Nadien tahu, dulu ia pernah melakukan kesalahan yang tak bisa dikatakan enteng pada Vania. Tapi ia sudah benar-benar berubah dan mengikhlaskan semuanya.
Tapi, pada akhirnya Nadien tahu kalau Daniel dan Andrea masih juga tak mempercayainya. Nadien sudah berusaha melakukan semua yang terbaik, dan dua laki-laki itu tetap tidak bisa mempercayainya.
***
Bersambung...
Nahloh... bagaimana nasib rumah tangga Nadien dan Daniel setelah ini? Ini baru awalnya ya. Baru konflik pembuka. Jadi yang belum love, silakan love dulu biar cerita ini masuk ke pustaka kalian agar nggak ketinggalan setiap update nya.
Yang mau tahu seluk-beluk cerita ini, dan permasalahan-permasalahan yang pernah ada antara Nadien, Daniel, Vania dan Andrea, silakan baca Devania dan Devania 2 yang saat inj sudah tamay. Tidak wajib, karena cerita ini sebenarnya bisa berdiri sendiri dan dimengerti tanpa membaca dua cerita itu. Tapi, kalau kalian membaca Devania dan Devania 2, akan lebih mudah paham dan feelnya juga akan lebih dapet, jadi meminimalisir komen-komen negatif tentang alur cerita ini, dimana pas awal aja udah aku buat panas begini :)))
Terima kasih sudah membaca cerita ini :))