PP-11

1366 Words
Sekali lagi, Nadien memeluk sang ayah. Bi Inah sampai menatap haru pasangan anak dan ayah itu. Terlihat begitu hangat, membahagiakan. Apalagi keadaan sang ayah juga sudah mulai membaik pasca operasi beberapa waktu lalu. "Bi, titip Papa ya! Pokoknya Papa harus banyak istirahat dan jangan sampai telat makan," ujar Nadien. "Iya, Non. Pasti," jawab Bi Inah. Wanita itu tampak begitu berbinar menatap Nadien. Seperti merasa begitu kagum dengan wanita muda itu. "Papa, jangan banyak pikiran ya! Papa santai-santai aja. Kan Papa masih dalam masa pemulihan," pesan Nadien pada Adam, ayahnya. "Iya iya. Kamu juga jangan sampai melewatkan jam makan siang ya, walau sedang sesibuk apapun!" balas Adam. Nadien mengangguk. Setelah itu ia pamit pergi. Nadien mengendarai mobil ayahnya dengan kecepatan sedang. Yup, hari ini ia menggunakan mobil ayahnya. Dan mungkin akan untuk seterusnya. Setelah belokan pertama dari rumahnya, Nadien menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan. Ia menangis. Rasanya sangat menyesakkan ketika ia harus bermain drama di depan ayahnya. #flashback "Papa kenapa bisa seperti ini sih, Bi?" tanya Nadien ketika menunggu ayahnya yang sedang menjalani operasi. Pikirannya sangat tidak tenang. Ayahnya di dalam sana sedang berjuang melawan maut. Persentase keberhasilan operasi ini imbang dengan risiko kematiannya. Dan Nadien masih belum tahu juga apa yang membuat ayahnya seperti ini. "Saya hanya dengar sekilas, ada yang menelepon Pak Adam dan membahas perusahaan, Non. Memang perusahaan Non sedang ada masalah, ya?" tanya Bi Inah balik. Nadien mengusap wajahnya kasar. Harusnya ia bisa memprediksi kalau hal seperti ini akan terjadi. "Non, memang sedang ada masalah besar ya? Soalnya, tentang krisis sepertinya Pak Adam sudah tahu. Berarti ada hal lain yang lebih besar yang membuat Bapak sampai droup seperti ini," selidik Bi Surti. "Aku gagal, Bi. Semuanya hilang," lirih Nadien. "Mak.. maksudnya, Non?" "Aku bangkrut. Semua aset saat ini sedang dalam proses penjualan untuk melunasi semua tunggakan pajak, gaji pegawai dan yang lainnya. Aku tidak punya pilihan lain. Karena nyatanya tidak ada seorangpun yang mau membantu perekonomian perusahaan kita," terang Nadien. Bi Inah menutup mulutnya karena kaget. Setahunya, perusahaan yang dibesarkan langsung oleh Adam itu adalah perusahaan yang sangat besar. Rasanya seperti mimpi mengetahui perusahaan itu benar-benar hancur. "Tapi Papa nggak boleh tahu. Ketika Papa sadar nanti, kita harus meyakinkan Papa kalau semua baik-baik saja ya, Bi! Aku nggak mau Papa stres," pinta Nadien. "Tapi bagaimana caranya, Non? Oh iya, hubungan Non Nadien dengan Mas Daniel-" "Kami sudah berakhir. Sudah jangan bicarakan dia lagi! Kita tidak punya banyak waktu dan tenaga untuk membicarakan hal yang tidak penting," potong Nadien. Rasanya ia muak mendengar nama itu, setelah laki-laki itu membiarkannya berjuang sendirian di saat-saat sesulit ini. "Aku sudah meminta orang untuk menjual semua perhiasan dan barang pribadiku. Termasuk mobil. Aku sudah menjualnya untuk tambahan biaya Papa. Rumah... aku terpaksa menggadaikan rumah Papa untuk mencukupi kebutuhan hidup kita untuk beberapa bulan ke depan. Tapi Bibi jangan sampai keceplosan, ya! Kita berpura-pura saja hidup seperti biasa. Nanti aku akan pindah ke rumah Papa. Soal mobil, aku akan bilang kalau mobilku dipinjam teman dan mengalami kecelakaan, jadi harus masuk bengkel. Selain itu, kita jalani semua seperti biasa," terang Nadien. Bi Inah memandang Nadien sendu. "Non, Bibi boleh peluk Non?" tanya Bi Inah. Nadien tak menjawab. Melainkan langsung memeluk wanita yang sudah puluhan tahun merawatnya itu. Ia menangis. Akhirnya, ia menemukan bahu untuk dia bisa menumpahkan segalanya. "Semua datang bertubi-tubi, Bi. Rasanya aku nggak kuat. Andai saja aku tidak mengingat kondisi Papa, entah seperti apa aku jadinya," tangis Nadien. "Non harus kuat, Non! Pak Adam sangat membutuhkan Non," ujar Bi Inah sembari mengusap punggung Nadien. #flashback off Nadien menatap kosong ke arah sudut ruangannya. Tinggal menghitung hari gedung ini akan berpindah tangan. Tapi, rasanya masih saja seperti mimpi. "Bu," Nadien terpenjat saat suara Sekar membuyarkan lamunannya. "Semua tugas saya sudah selesai, Bu. Kalau begitu, saya mau pamit ya, Bu. Semoga Ibu bisa segera bangkit dari keterpurukan ini dan fokus memulai semuanya," pamit Sekar. Nadien berdiri kemudian memeluk salah satu pegawai setianya itu. "Makasih ya, Sekar. Kamu sudah ikut berjuang sejauh ini. Semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di luar sana," ujar Nadien. Setelah kepergian Sekar, Nadien kembali menyusuri setiap titik ruang kerjanya itu. Hanya tinggal ada AC, meja dan kursi saja. Semua barang elektronik dan perabot lainnya sudah terjual sejak beberapa hari lalu. Mungkin, bagi Nadien inilah hari terakhirnya berada di sini. Setelah cukup puas menghabiskan waktunya bernostalgia di ruangannya, Nadien pun memutuskan untuk pergi. Tak lupa ia membawa berkas berisi beberapa lamaran pekerjaan yang sejak beberapa hari lalu ia buat. Baru saja mobilnya keluar dari area parkiran, Nadien dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang menghalangi jalannya. Nadien segera memundurkan mobilnya dan memutar arah. Namun orang itu masih saja berusaha mengejar dan menghalangi mobil Nadien. Citttt Nadien menghentikan laju mobilnya saat orang itu nekat memotong jalannya. Tapi, Nadien masih enggan beranjak. Kaca mobilnya juga masih ia tutup rapat. "Nadien, kita perlu bicara," ujar orang yang terus mengetuk kaca mobil Nadien itu. Nadien tersenyum miring. Kemudian meraih selembar kertas yang ada di mapnya sebelum akhirnya ia membuka kaca mobilnya. "Ini," ujar Nadien menyerahkan kertas itu. Laki-laki itu menerimanya dan menatap sengit selembar kertas yang baru saja Nadien serahkan padanya. "Aku tunggu panggilan sidangnya," lanjut Nadien. Sreeeekk sreeekk.. Nadien mendelik saat melihat laki-laki itu merobek kertas yang tadi ia berikan. Ditambah lagi, laki-laki itu nekat menelusupkan tangannya melalui jendela dan membuka pintu mobil yang Nadien kendarai. "Aku tidak akan menceraikanmu," tegasnya. Yup. Dia adalah Daniel. Sejak tiga hari lalu, Daniel selalu berusaha mendekati Nadien kembali. Vania sudah menjelaskan semuanya, kalau bukan Nadien penyebab ia keguguran. Daniel menarik tangan Nadien begitu keras hingga Nadien keluar dari mobil. "Apa sih mau kamu?" tantang Nadien. "Aku mau kamu pulang. Yang kemarin itu hanya salah paham, Nad. Kamu tahu itu, kan?" ujar Daniel lembut. "Sejak awal aku katakan itu salah paham. Tapi, apa kamu mau dengar? Kemana aja kamu selama ini saat aku berjuang untuk terus bisa bertahan hidup, Dan? Dan dengan seenaknya sekarang kamu datang dan bilang itu semua salah paham?" bentak Nadien. "Nadien sayang, aku-" "Kemana kamu saat perusahaanku hancur dan tak satu pun orang mau membantuku? Kemana kamu saat Papa berjuang di antara hidup dan mati karena shock mendengar aku kehilangan perusahaan, hah?" potong Nadien. Wanita itu sudah berderai air mata. Rasanya sangat sesak ketika ia mengingat kembali semuanya. "Aku bisa bantu kamu. Kita bisa mulai membangun perusahaan kamu dari awal, oke?" bujuk Daniel. Nadien menggeleng, "perusahaanku sudah hancur tak bersisa. Kalau pun aku mau membangunnya kembali dari awal, itu tanpa kamu, Daniel," tolak Nadien. Nadien hendak masuk kembali ke dalam mobil. Tapi Daniel kembali menariknya dan memeluknya erat. "Maafkan aku! Aku akan melakukan apapun asal kamu mau memaafkanku. Aku mohon, sayang. Kamu pulang ya!" ujar Daniel sembari mempertahankan pelukannya di tengah Nadien yang terus berontak. "Lepas! Lepas, Dan! Aku nggak mau balik sama kamu lagi," kesal Nadien. "Nggak. Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu janji akan pulang sama aku," tolak Daniel. Nadien mengerahkan semua kekuatannya untuk mendorong Daniel, hingga akhirnya pelukan laki-laki itu terlepas. 'Plakkkk' Nadien menampar Daniel dengan sangat keras. "Kamu pikir aku semurahan itu, mau dipeluk oleh laki-laki yang sudah mengirimkan surat gugatan cerainya padaku?" tantang Nadien dengan nada sengit. Daniel baru saja akan mendekat. Namun Nadien sudah lebih dulu mendorongnya dengan penuh amarah. Lalu, Nadien menggunakan kesempatan itu untuk masuk kembali ke mobil. Ia memundurkan mobilnya dan berbalik arah. Teriakan Daniel masih terus menggerayangi telinganya untuk beberapa saat. Tapi Nadien tak peduli. Baginya, semua hal tentang ia dan Daniel sudah benar-benar berakhir. Ia harus menata kembali hidupnya dari awal. Dan sekarang, ia harus kembali fokus mencari pekerjaan untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan ayah tercinta. "Kamu bisa. Anggap saja ini awal, Nadien. Ini adalah awal hidup kamu yang baru. Kamu harus bisa menjadi lebih kuat dari kemarin. Selamat datang di lembar kehidupanmu yang baru, Nadien Elena," gumam Nadien untuk menyemangati dirinya sendiri. *** Bersambung... Yang belum love/follow, silakan love dan follow dulu. Pastikan gambar hati di bagian depan (halaman kover dan blurb) sudah berwarna putih. Itu artinya cerita ini sudah masuk pustaka kalian, dan akan lebih mudah tahu kalau ceritanya sudah up. Karena bulan ini aku akan berusaha update setiap hari, hanya saja jamnya yang tidak tentu :) Terima kasih sudah setia menunggu cerita ini. Jangan lupa follow ig riskandria06 dan sss Andriani Riska :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD