Terpukau

1038 Words
RANDITA Hari ini benar-benar lelah. Menjelang akhir tahun tim marketing mengerahkan tenaga habis-habisan. Momen pergantian tahun akan selalu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh perusahaan untuk meningkatkan penjualan produknya. Terlebih promo cuci gudang. Customer akan banyak menyerbu hal-hal yang berbau diskon. Sampai saat ini grand sale masih menjadi cara ampuh untuk menarik daya beli masyarakat. Perusahaan memang tidak terlalu mengambil untung besar seperti penjualan biasanya. Tapi dengan banyaknya permintaan, perusahaan tetap meraih untung yang lumayan besar. Wajar jika bonus akhir tahun kemudian cair kepada kami para karyawan yang sudah bekerja sangat keras.  "Jangan ditutup dulu!" teriakku saat melihat pintu lift nyaris tertutup sempurna. Tapi memang belum beruntung, tetap saja aku ketinggalan. Padahal aku ingin cepat-cepat rebahan di kasurku yang empuk.  "Ayo masuk."  Aku mendongak, saat sebuah suara masuk ke pendengaranku. Ternyata pintu lift terbuka kembali. Aku tersenyum bahagia mengingat ternyata masih ada keberuntungan yang mengiringiku. Tapi.... Dia bukannya anak berseragam sekolah tadi pagi yang tidak sengaja aku tabrak ya? Seragamnya kini tertutup sebuah jaket hitam. Dia jadi seperti bukan anak sekolah lagi.  "Kok malah bengong?" Aku terkesiap saat tanganku ditarik olehnya. Bodoh banget sih, kenapa aku malah melongo?  "Lantai berapa?"tanyanya.  "Dua puluh." Dia menekan nomor lantai apartemenku. Di kotak ini hanya kami berdua ternyata. Anak sekolah seperti dia kenapa jam segini baru pulang? Anak jaman sekarang bukannya langsung pulang habis ke sekolah malah ngelayab.  "Aku Revano."  "Ha?" "Namaku Revano. Tadi pagi kita belum sempat kenalan." Aku mengangguk canggung. Ini aneh kenapa aku merasa canggung dengan seorang bocah yang bahkan belum lulus sekolah menengah? Aku yang biasa bertingkah konyol dan blak-blakan di kantor dibuat menciut hanya karena seorang bocah.  "Ooh, aku Randita." "Sudah tau." "Eh?" Aku dibuat terkejut dengan pengakuannya.  "Nama kamu cukup terkenal untuk aku ketahui." Apa dia salah satu followerku? Ehem! Bukannya aku sombong tapi sebagai influencer yang memiliki follower jutaan tidak heran sih kalau orang gampang mengenaliku. Tapi sumpah targetku padahal bukan anak sekolahan sepertinya. Target marketku tentu saja orang yang terjun di dunia bisnis. Atau dia sebenarnya anak sekolahan yang suka berbisnis? "Aku bukan follower kamu."  Mataku mengerjap. Sepertinya pikiranku mudah ditebak.  "Aku hanya sekilas melihat iklanmu di instagram." "Ooh." Aku mengangguk paham. Jadi dia memang bukan orang yang menggeluti bisnis online. "By the way aku minta maaf untuk kejadian tadi pagi ya. Kamu nggak telat sekolah kan?"  "Nggak. Aku berterima kasih berkatmu aku bisa merasakan naik bus umum." "Apa?"   Tidak mungkin kan dia belum pernah sama sekali naik bus? Mustahil. Dia tidak menanggapi responku, mungkin aku terlalu berlebihan. Sebagian kecil orang bisa saja memang ada yang tidak pernah naik bus kan? Randita, please deh jangan terlihat bodoh di hadapan seorang bocah SMA.  Pintu lift terbuka di lantai unitku. Aku keluar dan Revano juga ikut keluar. Apa dia tinggal di lantai yang sama? "Aku duluan ya." "Kita sama-sama saja." Sepertinya dugaanku benar. Dia menempati salah satu unit di sini? Tapi kenapa aku tidak mengenalnya?  "Berapa nomor unitmu?" tanya Revano tepat saat kakiku berhenti melangkah di sebuah pintu. "Ini pintunya." "Di sini?"  Aku mengangguk. "Kalo kamu nomor berapa?"  "Aku ada di lantai bawah sebelum ini." "Apa?" Kedua kalinya aku dibuat terkejut. Jadi untuk apa dia malah ke sini?  "Aku hanya memastikan kamu sampai ke unitmu dengan selamat."  Eh? Aku sukses bengong di tempat. Dia tersenyum tipis tapi itu jenis senyuman termanis yang pernah aku lihat pada seseorang. Astaga otakku!  "Kalo gitu, sampai ketemu lagi."  Dia melambaikan tangan dan melangkah mundur. Hingga dia memasuki lift kembali, aku masih berdiri di depan unitku dengan pandangan mengarah pada tempat terakhir dia menghilang.  Aku tersentak saat menyadari posisiku masih belum berubah sejak tadi. Astaga itu tadi apa? Apa aku baru saja dimodusin seorang bocah? Dan anehnya, aku hanya bisa terpaku dungu. Ini tidak masuk akal.  *** Sesampainya di dalam apartemen aku tidak habis pikir pada diriku sendiri. Ketika masih di kantor, aku punya rencana begitu sampai apartemen langsung mandi air hangat dan tidur. Di luar kebiasaanku,  aku malah mengambil gawai dan membuka aplikasi i********:. Aku  langsung mengetik nama Revano di kolom pencarian dan hasilnya ada puluhan nama Revano berderet-deret. Ya ampun, apa untungnya aku melakukan ini? Aku biasa dibayar mahal untuk sebuah endorse. Waktu yang aku gunakan untuk membuka i********: berharga. Tapi seakan mengabaikan semua itu, aku malah penasaran dengan nama seorang bocah.  Aku bingung memilih nama Revano-Revano hasil penelusuran yang i********: tahu. Namun, akhirnya aku memutuskan membuka semua profil satu per satu. Oh My God. Ini sungguh di luar kebiasaanku.  Dari puluhan nama yang aku buka, tidak ada satu pun akun yang bisa aku duga milik anak itu. Mungkin saja dia tidak menggunakan namanya sebagai username. Ah, sial. Tapi kemudian aku mengecek notif. Mungkin saja ada namanya pada deretan like atau komen terbaru. Namun, itu malah membuat kepalaku pusing karena terlalu banyak like dan komen yang masuk. Lupakan, aku tidak ingin terlihat lebih bodoh lagi dari pada ini. Akhirnya aku keluar dari aplikasi itu dan memutuskan pergi mandi.  *** REVANO  Gue nggak bisa menyembunyikan senyum saat kaki gue sudah jauh meninggalkan Randita. Wajah terkejutnya saat gue tahu siapa dia, sangat menggemaskan. Katakanlah gue gila. Meskipun nggak tahu berapa tepatnya, tapi gue yakin Randita berumur lebih tua dari pada gue. Tentu saja, gue masih sekolah sedang dia sudah sibuk jadi wanita karir plus selebgram. Bisa jadi dia seumuran Kak Iza.  Entah apa yang membuat gue tertarik dengan Randita, yang jelas dari pertama kali melihatnya gue merasa... Itu dia yang gue cari. Iya cewek seperti itu yang gue cari. Semangat dan energiknya nggak dibuat-buat. Dan satu hal yang pasti, dia cantik. Cantik menurut persepsi gue tentunya. Bisa saja kan pendapat Rio berbeda? Sial, kenapa gue bawa-bawa Rio? Itu hanya mengingatkan gue tentang obrolan tadi siang.  Randita sepertinya bukan perempuan yang gampang terpesona dengan lelaki ganteng. Kata Rio gue bisa bikin klepek-klepek saat pertemuan pertama. Respon seperti itu tidak aku lihat pada Randita. Jadi? Jadi fix Rio ngaco dengan teorinya yang nyleneh. Tapi, bisa-bisanya kepercayaan diri gue muncul hanya karena kata-kata dari Rio.  Lantai sembilan belas. Lagi - lagi gue tersenyum sendiri saat ingat muka bengong Randita. Dia menyangka gue tinggal si lantai yang sana dengannya. Gue cuma mau nunjukin kesan pertama yang bagus di matanya. Dengan mengantarkan perempuan saat pulang kerja ke tempat  tinggalnya tepat di depan pintu, bukankah itu tindakan lelaki gentle.  Dia pasti nggak nyangka seorang anak SMA bisa melakukan ini padanya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD