Makan Siang Vs Makan Malam

1071 Words
RANDITA "Siapa yang bertanggung jawab event pameran di lapangan?" Aku mendongak saat suara Pak Kevin terdengar. "Santi, Pak. Tapi bukannya dia sedang ada di sana sekarang?" "Kalo gitu,  kamu ikut saya bertemu klien Randita." "Kenapa nggak ajak Garan saja?" "Sorry, Ran. Gue lagi ngerjain ini." Garan menunjukkan setumpuk berkas yang entah berisi apa. Sok sibuk sekali tuh anak. Sebenarnya aku lagi malas ikut meeting di luar. Hari ini aku ingin bekerja di balik meja saja. Duduk kalem dan tenang tanpa mondar mandir seperti biasanya. "Kamu keberatan, Randita?" tanya Pak Kevin lagi. Aku mendesah. Memang ada yang berani menolak titah bos? "Kalau begitu bersiaplah,  sepuluh menit lagi kita berangkat." Pak Kevin berjalan kembali ke ruangannya. Aku menoleh sebal pada Garan. Dari tadi aku tahu dia sedang menyembunyikan senyum liciknya. "Kenapa sih nggak lo aja. Gue yakin kerjaan lo sekarang nggak urgent-urgent banget." "Emang enggak. Gue lagi berbaik hati aja sama Pak Kevin dengan ngebiarin kalian jalan berdua." "Sialan. Lo pinter banget ya ngejorogin gue ke lubang masalah." Garan cekikikan. Dia tidak bisa tertawa keras, karena dia yakin si bos bakal mendengarnya. "Pssst,  doi datang tuh. Lumayan kan makan siang gratis." Gundulmu! Benar saja, Pak Kevin terlihat berjalan ke arahku. "Ayo, berangkat, Randita." "Baik, Pak." Pak Kevin mendahuluiku berjalan. Masih bisa kulihat Garan mengangkat dua jempolnya sembari menyeringai lebar. Kubalas dia dengan mengacungkan jari tengah. "Randita, buruan!" "Ah, iya, Pak!" Aku lari mengejar Pak Kevin yang udah masuk ke dalam lift. Sialan itu si Garan. *** Aku terdampar di PIM bersama Pak Kevin. Ini yang aku hindari sebenarnya. Setelah meeting bersama klien selesai, Pak Kevin mengajakku makan siang di salah satu restoran jepang di PIM. Aku tidak munafik, siapa sih yang tidak suka makan gratis? Aku mungkin akan sumringah jika yang mentraktirku makan siang bukan si bos ganteng yang satu ini. "Pak? Serius Bapak pesan makanan sebanyak ini? Harusnya tadi Bapak ajak Garan sekalian. Dia pasti nggak malu buat habisin ini makanan." Pak Kevin berdeham. "Saya maunya ngajak kamu. Garan biar saja makan di kantin. Sudah nggak usah mikirin dia. Makan aja." Makanan itu memang sudah sejak tadi minta dijamah. Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil piring dan sumpit. Pak Kevin sudah mulai memanggang irisan tipis  daging sapi di tappan yaki  yang sebelumnya sudah dia celupkan ke dalam saos . Dia juga memesan yakiniku. Aku hanya memerhatikan dia membolak balik daging sapi dan cumi, setelah matang dia meletakkannya pada piringku. Aku kemudian mengambil sushi bersamaan dengan itu. Pak Kevin tersenyum melihatku makan dengan lahap. Jenis senyuman yang manisnya bikin diabetes. Meskipun aku tidak suka sekarang berada bersamanya, perutku nyatanya memberontak minta diisi. "Setiap akhir tahun kamu pasti closed endorse. Apa itu nggak apa-apa?" "Kan kantor lagi sibuk-sibuknya. Saya bakal keteteran." "Kan bisa sambil jalan aja." "Gimana bisa? Tiap hari aja pulang malam terus." Pak Kevin nyengir. "Sebenarnya kalau kamu tidak bekerja sekali pun, uang akan tetap mengalir dari pekerjaanmu sebagai selebgram." Aku mencondongkan badan. "Apa saya pensiun dini saja ya, Pak?" "Saya nggak nyuruh kamu pensiun. Kamu masih dibutuhkan di perusahaan." Aku menarik diri lagi, dan menyuap potongan daging ke mulut. "Kan Bapak sendiri yang bilang tanpa bekerja uangku bisa mengalir sendiri." "Tapi kamu nggak harus resign." "Sedang saya pikirkan kok, Pak." "Kamu serius???" Reaksi Pak Kevin terlalu berlebihan. Bola matanya hampir keluar padahal aku menjawab asal tadi. Apa sekalian aku kerjai saja ya. "Iya dong. Jadi kaum rebahan dengan duit yang terus mengalir sendiri kayaknya menyenangkan." "Saya nggak setuju, Randita. Kamu mau jadi kucing garfield?" "Lucu juga." Pak Kevin menggeleng. "Mungkin kamu bisa rencanain resign kalo sudah mau menikah." "Sayangnya,rencana nikah saya masih lama." Aku tahu Pak Kevin sedang menggiringku ke arah pembicaraan yang lebih sensitif. Aku pura-pura sibuk dengan makananku. "Lamanya itu berapa tahun?" "Bisa saja lima tahun kemudian." "Apa? Apa itu tidak terlalu tua?" Aku berdecak sebal. "Umur saya sekarang saja masih 24 tahun, Pak. Lima tahun lagi umur saya baru 29 tahun. Umur 29 tahun terbilang masih produktif. Nah Bapak baru ketuaan kalo harus nunggu lima tahun lagi." Aku hampir menyemburkan makanan melihat wajah Pak Kevin yang kini nampak memerah karena ucapanku. Aku memang pegawai kurang ajar. Dia meletakkan sumpitnya dan menatapku. "Lima tahun lagi usiaku baru 34 tahun. Itu nggak terlalu tua, Randita. Kamu jangan asal bicara." "Oke,sorry kalau buat Bapak tersinggung. Silahkan Bapak lanjutkan makanannya." "Dan umur kita saat itu sangat pas jika dipasangkan." Kali ini aku sukses tersedak. Tanpa bisa ditahan, aku terbatuk-batuk. Sialan. Pak Kevin langsung mengambil minumanku dan menyerahkannya padaku. "Kamu nggak apa-apa, Randita? Kalau makan hati-hati." Akhirnya aku memilih diam saja dan menikmati sisa makananku. Aku tidak mau mendengar Pak Kevin bicara aneh lagi. Itu membahayakan. *** Jam delapan malam aku baru tiba di tower apartemen. Sama seperti hari sebelumnya, sangat melelahkan. Aku tidak langsung menuju unit karena perutku lapar. Aku makan malam di restoran yang ada di lantai satu. Tidur dengan perut kosong itu menyiksa. Dan saat aku sedang menyantap makan malamku, aku melihatnya. Dia anak sekolah yang aku temui waktu itu. Memakai kaos berkerah dan celana santai seperti itu dia jadi tidak nampak seperti anak sekolahan. Tubuhnya tinggi dan lumayan berisi tidak akan ada yang tahu jika anak itu berumur belasan tahun. Astaga! Dia melihat ke arahku. Aku buru-buru melanjutkan makan. Entah dapat insting dari mana, sepertinya anak itu akan menuju ke arah mejaku.  "Boleh aku duduk di sini?" See? Dugaanku tak pernah meleset. Aku mendongak untuk melihatnya. Dia terlihat lebih menjulang dari kemarin, atau hanya perasaanku saja? "Oh, ya boleh," jawabku. Dia duduk tepat berada di hadapanku. "Kamu masih ingat aku kan?" Aku tersenyum canggung. "Ya, tentu saja ingat." "Sering makan di sini?" "Kadang-kadang aja sih. Kamu nggak makan?" "Pesananku sebentar lagi datang." Dan ya, benar saja seorang pelayan terlihat membawa makanan ke arah kami. Itu pasti pesanan Revano. Aku melirik ke mangkuknya. Dia memesan udon. "Kamu makan di sini cuma untuk memesan ini? Padahal ini bisa kamu buat sendiri di tempat tinggalmu. Itu lebih hemat." "Sayangnya, stok di apartemen lagi habis. Atau kamu punya? Boleh dong bagi-bagi denganku lain kali." "Nggak janji." Serius, dia masih terlalu bocah untuk modusin seorang Randita. Aku buru-buru menghabiskan makananku. Gelagat bocah ini mulai aneh. Dia seolah tidak sadar ada perbedaan menjarak di antara aku dan dirinya. Umur. Terlibat hubungan emosional pada seorang laki-laki jauh di bawah umurku tidak ada dalam daftar rencanaku. Terima kasih. Aku bergegas pergi meninggalkan restoran. Beruntung makananku sudah habis ketika dia muncul, jadi aku tidak perlu berbasa-basi lebih lama lagi dengan bocah itu. Bocah yang sempat membuat otakku sedikit oleng kurasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD