Kiriman Rendang

1059 Words
RANDITA Aku tidak terlambat berkat dia. Revano. Pelajar berpostur tinggi itu. Tapi,  kali ini tidak menyerobot taksinya. Aku nebeng, numpang taksinya. Karena pas aku mau bayar, Revano menolak. Ya sudah, itu kan rejeki di pagi hari. Masa nggak aku manfaatin.  "Tidur lo nyenyak? Tumben berangkat cepet." Santi baru datang. Menyusul Garan di belakangnya. "Berkat lembur tiap hari, tidur gue jadi lelap. Lo bener. Gue harus berterima kasih pada Pak Kevin nanti," kataku sarkas.  "Ehem! Berterima kasih, modus biar dapat traktiran lagi yah?"  Aku menoleh pada Garan setengah sebal. Aku masih ingat bagaimana dia beralasan sibuk kemarin, hingga aku terlibat percakapan absurd dengan Pak Kevin.  "Ran, lo ditraktir Pak Kevin makan, kok nggak ngajak-ngajak gue sih?" protes Santi. Oh, seandainya dia ada kemarin mungkin akan aku limpahkan semua traktiran itu padanya.  "Oke, besok-besok yang nemenin Pak Kevin meeting di luar, lo aja." "Itu mah nonsens, kalaupun gue yang ikut meeting di luar  , paling langsung balik lagi ke kantor." Aku mengedik dan mulai menyalakan komputer. Aku bisa melihat dengan ekor mataku saat orang yang menjadi obrolan kami tadi memasuki ruangan, Pak Kevin. Kalau menurut sebagian orang Pak Kevin itu tampan. Entahlah dilihat dari mananya, Pak Kevin itu tipe laki-laki muka datar, ekspresinya akan nampak kalau dia marah saja. Selebihnya ya datar saja. Saat orang lain tertawa keras, dia cuma mesem. Lalu, di mana letak tampannya?  "Dia itu cool." Itu kata Santi. Cool? Tolong kasih tahu aku definisi cool yang sebenarnya.  "Pagi, semua," sapa Pak Kevin sepintas lalu. Dia berjalan lurus memasuki ruangannya. Tidak ada senyum atau pun tolehannya. Jelas, mejaku ada penghuninya. Coba kalau meja salah satu stafnya ada yang kosong? Aku pastiin akan segera mengundang perhatiannya. Wajahnya yang menurut Santi cool itu akan berubah jadi cold.  "Siapa yang nemenin lo ke sekolah minggu depan, Ran?" tanya Garan menyandarkan lengannya pada sisi kubikelku.  "Mungkin Erlina dari Humas." "Erlina? Yang mana ya?"  "Lo pura-pura nggak kenal atau gimana? Hampir semua cewek cantik lo kenal kan?" "Jadi, Erlina itu cantik?" Aku memutar bola mataku. Jika mata emak-emak akan berubah hijau kalau lihat uang, mata Garan akan hijau kalau lihat cewek segar.  "Boleh gue ikut acara goes to school kalian nggak?"  "Nggak!" "Pelit amat sih, Ran." "Gue tahu maksud lo pengin ikut, biar lo bisa tebar pesona sama cewek-cewek abg di sana kan?" "Ran, buat apa gue tebar pesona sama mereka? Tanpa itu pun mereka bakal tertarik sendiri sama cowok seganteng gue." Aku langsung ingin muntah mendengar kelakar manusia dengan tingkat kepedean tinggi di hadapanku itu.  "Tapi soal abg itu nggak penting sih, Ran. Yang penting adalah cewek bernama Erlina itu. Gue mau kenal dia lebih deket." "Udah deh, jangan aneh-aneh. Cowok dilarang ikut event ini. Kayak lo nggak ada kerjaan aja. Heran." Aku mengabaikan Garan lalu fokus pada akun i********: Bee Fresh. Salah satu produk andalan perusahaan yang akan mengadakan promo event goes to school. Total akan ada sekitar sembilan sekolah yang akan kami datangi di kota-kota besar. Putaran pertama adalah Kota Jakarta. Kami sudah koordinasi jauh-jauh hari sebelum acara berlangsung. Persiapan lumayan matang. Tinggal pelaksanaannya. Divisi Marketing kami benar-benar melakukan pekerjaan sendiri tanpa menggunakan jasa EO di luar. Perusahaan telah mempercayakan kepada kami sepenuhnya. Sebulan ini mungkin aku akan tour lagi. Melelahkan tapi aku menyukainya.  *** Pukul sepuluh malam aku baru sampai di apartemen. Rasanya aku ingin buru-buru bergumul dengan selimut. Ya Tuhan, badanku pegal semua. Deadline dan event akhir tahun benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Hampir tidak ada waktu untuk bersantai-santai.  Langkahku yang terburu-buru ingin masuk ke unit mendadak terhenti. Aku melihat sosok lelaki berhodie bersandar tepat di samping pintu unitku. Siapa dia? Dengan langkah pelan aku mencoba memperhatikan sosoknya. Kira-kira dia itu orang jahat atau bukan? Kalau ternyata dia itu perampok bagaimana? Astaga! Mendadak jantungku berdetak kencang. Mampus. Mana tidak ada siapa pun lagi.  Aku terkejut saat sosok itu merubah posisinya yang tadi menunduk menjadi tegak. Dengan tetap waspada aku berjalan pelan. Aku tidak mau jika sosok itu tiba-tiba menerjangku atau bahkan melukaiku. Ih, itu terdengar menyeramkan. Bagaimana kalau dia ternyata seorang pembunuh? Aduh, apa yang harus aku lakukan? Mungkin lebih baik aku kembali ke kantor dan tidur di sana daripada nyawaku terancam di sini. Bagaimana mungkin pihak keamanan membiarkan orang misterius seperti itu berada di sini. Aku baru saja putar arah ketika sosok itu menyerukan namaku.   "Randita, Kamu mau kemana?" Apa? Dia mengenalku? Tapi rasa-rasanya aku familiar dengan suara itu. Aku kembali memutar badan. Sosok itu menurunkan hodie yang dipakai hingga tampaklah wajah yang sesungguhnya. Revano? Anak itu ngapain malam-malam di depan unit apartemenku?  "Kamu lama banget pulangnya." Revano menengok pergelangan tangannya lalu mendekat padaku. Ya Tuhan, aku kira siapa? Dia benar-benar bikin jantungan saja.  "Kamu kenapa ada di sini?" tanyaku bingung.  "Nih!" Dia mengacungkan sebuah paper bag. "Apa itu?" "Mamaku baru saja mengirimiku banyak makanan. Kulkasku penuh, jadi aku bagi denganmu. Kamu tinggal memanaskannya kalau mau makan." Meskipun ragu karena menurutku ini aneh, aku menerima paper bag itu. Kenapa harus aku yang menjadi tempatnya berbagi? Apa tetangga unitnya nggak ada?  "Terima kasih." "Sama-sama. Ya sudah masuk gih. Ini sudah malam."  "Oh, iya." Aku berjalan menuju pintu unit dan menekan angka kombinasi. Revano masih berdiri melihatku. Apa anak itu tidak berniat pergi setelah menyampaikan tujuannya?  "Besok kamu berangkat pukul berapa?" tanyanya membuatku sedikit terperanjat. Ini mustahil, tapi aku beneran gugup dilihatin seperti itu. Aneh, aku ingatkan kembali dia hanya pelajar SMA, bagaimana mungkin aku bisa terintimidasi seperti ini?  "Pukul tujuh kayaknya." "Kayaknya?" "Iya, kalau nggak terlambat." Revano mengangguk seakan mengerti. "Jadi,  berapa?"  Berapa? Apanya yang berapa?  "Apa?" "Nomor ponselmu."  Ya ampun! Anak ini nggak jelas banget. Ngapain juga pake minta nomor telepon segala? "Jaga-jaga saja barang kali kamu membutuhkan seseorang untuk membangunkanmu." Iya? Aku nggak nyangka ternyata bocah ini pintar menggunakan kesempatan.  "Kayaknya itu nggak perlu deh. Aku bisa bangun sendiri." "Lalu berakhir dengan menyerobot taksi orang?" "Nggak selalu begitu." "Ya sudah, nggak masalah kalau nggak mau ngasih. Masuk gih." Aku mengedik dan menekan knop pintu. "Oke." "Sampai ketemu besok."  Aku menutup pintu tanpa membalas ucapan terakhirnya. Sampai ketemu besok? Yakin sekali.  Aku meletakkan paper bag pemberian Revano ke meja makan. Berniat mengabaikannya. Namun, baru beberapa langkah  meninggalkannya, aku kembali ke meja itu dan membukanya. Penasaran juga apa isinya. Dua buah kotak besar. Satu berisi rendang daging dan kering tempe. Astaga ini sih aku suka banget. Aku mencicipi daging rendang itu sedikit. Rasanya enak dan dagingnya juga sangat empuk seperti dipresto. Diam-diam aku tersenyum, lumayan bisa untuk berhemat.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD