Nomor Cinta

1084 Words
REVANO  Gue berkacak pinggang melihat meja makan penuh dengan makanan yang barusan mama kirim. Mama mengirim makanan sebanyak ini seakan-akan gue bakal mati kelaparan besok. Seperti biasa, setelah makanan berhasil gue terima, mama akan menelepon dan memberikan instruksi-instruksinya agar gue bisa menyimpan makanan itu dengan baik. Kata mama sih itu cukup untuk tiga hari. Tapi ya ampun, sebanyak ini dan di unit hanya gue seorang, mana bisa habis dalam tiga hari? Mama itu ibu yang amazing banget memang.  Gue berpikir untuk membaginya. Awalnya gue keinget Rio. Tapi, kenapa harus jauh-jauh ke Rio kalau di sini ada seseorang yang bisa menjadi target gue buat berbagi makanan. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Randita.  *** Hampir setengah jam gue nunggu Randita pulang. Apa tiap hari dia selalu begini? Pulang malam. Kantornya lumayan jauh dari sini. Apa nggak bahaya? Biar gimana juga dia itu kan wanita. Cantik lagi. Bosnya itu kurang ajar juga sih nyuruh lembur bawahannya tiap hari. Pukul sepuluh sosoknya baru bisa gue lihat keluar dari lift.  Gue langsung balik begitu Randita masuk ke dalam unitnya. Tadi gue nyoba minta nomor ponselnya, tapi gagal. It's ok, bisa gue coba lain hari. Waktu gue bukan hanya malam ini. Dia terlihat sangat lelah. Kasihan.  *** Sudah gue duga, dia bakal telat lagi. Dari sini gue bisa lihat Randita berjalan cepat sembari sesekali melihat pergelangan tangannya. Rambutnya yang di kucir kuda bergoyang-goyang mengikuti irama hentakan kakinya yang panjang. Tidak ada taksi yang bisa dia serobot. Langkahnya lalu menuju keluar gerbang apartemen. Gue mulai menyalakan mesin mobil dan bergerak ke arahnya. Dia berjalan minggir menghindari mobil gue, padahal gue sengaja merapat. Selangkah di depannya gue menghentikan laju dan membuka kaca pintu sebelah kiri.  "Randita! Masuk, aku antar kamu."  Randita hanya menoleh sesaat. Namun detik berikutnya mata bulatnya melebar. Mungkin dia baru sadar kalau yang menyapanya itu gue.  "Revano?"  "Ayo masuk. Nggak ada taksi yang bisa kamu serobot kan?" Wanita itu menggaruk pelipisnya. Apa yang ia ragukan? Padahal gue mau menolongnya. "Kamu udah punya SIM emangnya?" Sial! Gue malas mengaku sebenarnya,  tapi umur tujuh belas sudah lewat jauh di belakang sana. Masa iya gue nggak punya SIM? "Aku tahu aturan dan aku udah cukup umur untuk bisa memiliki SIM." Randita mengangguk canggung. Tapi kemudian dia membuka pintu mobil. Yes! Berhasil, seperti yang gue bayangin.  "Agak cepat ya, aku sudah sangat terlambat," katanya begitu mengenakan seat belt.   "Oke, Tuan Putri. Seandainya semalam kamu mau memberiku nomor ponsel, pasti pagi ini nggak akan telat."  "Kamu nggak lagi modusin aku kan?" "Ya nggaklah, aku serius. Serius bisa diandalkan jadi alarm hidup kamu." "Itu namanya modus Revano."   Dia memutar bola matanya membuat gue nggak nahan ingin tertawa. Ternyata modusin Randita itu menyenangkan. "Apa tiap hari kamu pulang malam?" "Nggak sih. Cuma akhir tahun memang kerjaan lagi banyak-banyaknya. Jadi terpaksa harus lembur." "Kamu jaga kesehatan, jangan lupa minum vitamin biar tetap fit. Aku perhatiin kayaknya kamu kecapean banget. Kalau kamu mau, pulangnya bisa aku jemput."  "Terima kasih, Revano. Tapi nggak perlu, lebih baik gunain waktumu buat belajar. Itu lebih penting." Randita bicara seolah-seolah mengingatkan siapa gue dan siapa dirinya. Tapi bukan Revano kalau gue nyerah gitu aja. Itu intimidasi kecil-kecilan yang sedang Randita lempar. Gue paham.  "Terserah sih. Aku cuma nawarin. Kali aja kan kamu butuh."  Dalam hal ini gue harus still cool. Nggak mau grusak grusuk atau terlalu memepetnya terus-terusan. Yang ada dia bakal lari kalau gue paksa. Gue nggak mau dia berpikir kalau gue cuma abg labil yang lagi kedanan hormon puber. Gue mau nunjukin bahwa gue juga bisa bersikap sebagai lelaki dewasa. Dia nggak boleh mandang sebelah mata ke gue hanya karena masih memakai seragam putih abu-abu.  "Terima kasih ya, Revano. Aku jadi nggak enak tiap hari repotin kamu," katanya begitu mobil gue berhenti di depan gedung kantornya.  "Aku nggak masalah. Jadi, beneran kamu nggak berniat memberiku nomor ponselmu?" Masih berusaha, gue mengangsurkan ponsel padanya. Kali aja berhasil.  Dia menghela napas lalu menatap ponsel gue sesaat sebelum mengambilnya. Dia menekan angka-angka pada layarnya, lalu mengembalikannya padaku. "Ini. Kamu simpan sendiri aja."  Gue menyeringai. "Aku save pake nama Honey, boleh nggak?"  Randita melotot dan itu mengundang tawa gue. "Bercanda."  Gue memastikan nomor yang dia kasih itu benar dengan membuat panggilan. Nyambung. Gue bisa mendengar nada deringnya.  "Itu nomorku, aku rela kalau kamu mau menyimpan pake nama sayang." Randita hanya menggeleng. "Ya udah, aku turun. Belajar yang bener ya jangan main mulu," katanya tersenyum geli, lalu dia beranjak turun.  Dia meledek, kalau nggak cinta udah gue gigit tuh cewek. Akhirnya gue bisa mendapatkan nomornya. Perjuangan selanjutnya akan segera berlanjut.  *** Gue bersiul senang saat memasuki koridor kelas. Di depan sana tepatnya mading berada segerombolan cewek-cewek entah melihat apa. Biasanya kalau sudah seperti itu ada acara menarik bagi mereka. Mungkin acara pencarian bakat, lomba modeling atau sederet acara nggak penting lainnya.  "Lo baru datang? Perasaan lo sering agak siangan ya datang ke sekolah akhir-akhir ini."  Tahu-tahu Rio sudah nongol di depan muka gue. "Gue kan sekarang tinggal di apartemen yang jaraknya agak jauh sedikit. Jadi perjalanannya memakan waktu. Belum lagi kalau terjebak macet." "Kapan-kapan gue main ke sana ya." "Nggak. Gue nggak mau apartemen kakak gue kena najis." "Njirr! Emangnya gue ini kotoran apa!"  "Di depan ada pengumuman apa sih?  Rame bener."  "Oh itu minggu depan ada acara Bee Fresh goes to school." "Acara apa itu?" "Macam-macam sih ada talkshow, seminar kecantikan, pengembangan diri, promosi dll." "Acara khusus cewek ya?"  "Kalau lo mau ikut juga nggak pa-pa hehe." Gue cuma melirik Rio sekilas menanggapi ucapannya, lalu kembali melangkah melewati mading yang masih di kerumuni anak-anak cewek.  "Randita itu yang influencer itu kan." Gue dengar nama Randita disebut Salah seorang dari mereka. Kontan langkah gue terhenti.  "Iya, bakal ada dia entar. Wah gue pengin deh tanya tips jadi selebgram biar dpt follower jutaan itu gimana." Apa yang mereka maksud Randita gue? Gue menoleh pada mereka.  "Acara itu kapan yah?" tanya gue membuat cewek-cewek yang membicarakan Randita menoleh.  "Hari senin Kak, pas classmeeting pertama," jawab salah satu dari mereka.  "Siapa ketua panitia acaranya?"  "Kak Meta. Tapi kalau mau daftar bisa juga sama gue, Kak." Wajahnya berbinar malu-malu. Kenapa jadi begitu? Gue lihat teman satunya menyikut cewek itu.  "Nggak, cuma nanya aja. Thanks infonya." Gue kembali melangkah diikuti Rio yang dari tadi tebar pesona pada mereka.  "Kak Revano ternyata beneran ganteng banget, gue baru kali ini diajak ngomong. Astaga matanya itu loh."  Sayup-sayup suara mereka masih bisa gue tangkap. Gue hanya bisa mengelus d**a. Tanggapan mereka pada umumnya soal gue memang kebanyakan seperti itu. Tapi sayang nggak berlaku buat Randita. Wanita itu benar-benar nggak anggap gue ada. Semakin menambah penasaran saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD