Tidak Terduga

1289 Words
Para pelayan sedari tadi sibuk berkeliaran mengikuti perintah sang tuan sejak suara ayam jantan berkokok hingga jam menunjukkan pukul 7 pagi, tidak ada yang istirahat barang sedetikpun. Sang tuan muda belum, lebih tepatnya tidak terpenuhi kemauannya. Dari baju yang akan dipakainya hingga makanan yang menjadi bekalnya. Sang kepala pelayan yang sudah tak lagi muda hanya bisa mengurut keningnya yang akan pecah, sudah lebih dari 8 tahun dia bekerja disini tak masih belum paham apa kemauan sang tuan. Menurutnya dari ayah dan anak ini tidak ada yang bisa dipilih, entah itu sifat maupun perilakunya. “Kau ingin menyajikan telur mentah kepadaku?” Mendengar pertanyaan yang sudah ke 4 kali di pagi ini membuat para pelayan menggeleng takut. Mereka sudah berusaha sebaik mungkin dengan sang tuan, sekarang apa lagi? “Ti-tidak Tuan Muda, i-ni sudah seperti yang Tuan min-minta.” Melihat para pelayanan yang sudah mulai kelelahan meladeni sikap anaknya, membuat Mark menghela nafas. Diliriknya sang anak yang duduk diam tanpa menyentuh sarapan miliknya, matanya bergulir menatap banyaknya makanan yang tersaji di meja. Apa yang diinginkan Almeron? Tangannya mengibas kecil memerintahkan semua pelayan untuk pergi, setelahnya dia menaruh ayam goreng di piring sang anak. “Al mau sarapan apa? Bukankah ayam goreng kesukaan Al?” Almeron hanya mendengus kecil, matanya menatap malas piring di depannya yang telah diisi penuh dengan berbagai macam lauk pauk dari pria dewasa di sampingnya. “Bosen, setiap hari makan itu.” Mark dengan santai menyesap teh miliknya dan menyilangkan tangan di d**a. “Sekarang kamu mau apa? Kamu tahu papa sibuk?!” Mendengar nada dingin dari sang ayah membuat Almeron mendengus kecil. “Nggak ada Pa, kalau Papa sibuk yaudah berangkat kerja sana. Al udah nggak laper.” Kakinya melangkah meninggalkan meja makan tanpa memperdulikan sang ayah. Kulit putih pucatnya terlihat memerah di bawah sinar matahari, mata coklatnya mengamati datar para pelayan yang berlalu lalang di hadapannya. Ada yang menunduk hormat dan ada pula yang menghiraukannya karena pekerjaan yang banyak. Dia tidak perduli, toh mereka hanya pelayan. Tangannya melempar asal batu yang ada di sampingnya ke kolam ikan, entah itu besar ataupun kecil. Bahkan dia tidak perduli jika ada ikan yang mati karena terkena batu. Mood-nya sangat buruk hari ini, dia hanya ingin sang ayah memperhatikannya, tahu apa yang dia inginkan. Bahkan ayahnya saja tidak tahu jika di sangat membenci kulit ayam. Dia ingin diperhatikan seperti teman-temannya. Dibawakan bekal oleh sang bunda dan diantar sekolah oleh sang ayah. Tidak seperti dirinya yang tidak dapat keduanya. Pernah dia memukul teman sekelasnya karena menghinanya tidak punya orang tua, hingga masuk BK dan di skors selama seminggu. Ayahnya tahu? Tentu tidak, pekerjaannya melebihi semuanya, termasuk anaknya sendiri. “Eh keponakan tante ternyata ada disini, dari tadi tante cari juga.” Almeron tersenyum kecil melihat sang bibi yang baru datang dari Kanada, kapan dia sampai di rumah? “Kapan Tante sampai?” tanya Almeron setelah melepas pelukannya. “Tadi malam, kamu udah tidur jadi nggak tante bangunin. Makin ganteng aja, wah bahkan sekarang tingginya hampir sama.” Almeron hanya tersenyum kecil menanggapi, wajahnya kembali murung. Melihat perubahan air muka pada Almeron membuat sang bibi tersenyum kecil. Tangannya mengambil makanan yang sengaja Ia bawa dari dalam, dia yang sedari tadi berdiri di ujung tangga mendengar berbagai keluh kesah para pelayan membuatnya ikut pusing. Dia paham bahwa sebenarnya sang keponakan hanya mencari perhatian dengan sang ayah, dia hanya ingin diperhatikan sang ayah. “Ayo sarapan, aaaa….” “Aku nggak laper Tante Ellen.” “Beberapa suap aja, masak nggak mau?” Hanya gelengan tegas yang didapat Ellen membuatnya menghela nafas, kenapa siat anak ini sangat sama dengan kakaknya? “Yaudah Al mau kemana? Mau makan apa, kita makan di luar aja kali ini.” “Enggak mau.” Ellen berdecak pelan. “Tidak ada penolakan, Tante jamin makanan kali ini enak sampai bikin kamu ketagihan! Ayo cepat sana ganti baju.” Ellen menarik paksa tangan Almeron hingga anak yang tingginya sekarang melebihinya itu segera berganti pakaian. Mendorong masuk ke rumah besar sang kakak, bagaimanapun caranya dia harus mendekatkan Almeron dengan sang calon Mama. ~~~~~ “Ini nanti tinggal masuk ke gedung terus naik ke lantai tiga, udah kamu taruh aja di meja yang pak satpamnya tunjuk. Di tinggal, sekitar jam empat sore diambil lagi waahnya. Oke?” Pemuda itu mengangguk paham dan mengacungkan jempol, menandakan bahwa Ia paham dengan ucapan sang bos cantik dihadapannya ini. “Langsung berangkat ya mbak?” Sasti mengangguk mengiyakan pertanyaan Randu, pegawai barunya yang bertugas mengantarkan katering. “Nanti kamu langsung balik ke sini ya, bantu-bantu disini. Nanti gajinya mbak tambahin kalau kamu rajin.” Randu mengangguk dan tersenyum lebar. Siapa sangka dia akan mendapat atasan yang baik hati seperti ini. “Hati-hati bawa mobilnya!” Joko berteriak memperingati Randu, jawaban Randu membuatnya menggelengkan kepala heran. “IYA-IYA MAS.” Joko berdecak pelan. “Ck ck, anak zaman sekarang nggak ada sopan-sopannya.” Sasti menahan tawanya, dia menggeleng sebentar dan masuk ke dalam kafe miliknya. Pengunjung hari ini lumayan banyak, padahal ini hari kerja. “Mbak-mbak kenapa lari-lari? Ada apa?” Pelayan tadi menatapnya panik, sedangkan Sasti mundur ke belakang dan mengelus dadanya. Dia terlalu kaget melihat ekspresi pegawainya. “Ada apa mbak?” “Gawat Bu Bos, gawat! Stok udang di penyimpanan habis!” Sasti menyuruh pegawai itu mengambil nafas. “Tenang, tenang. Di lemari penyimpanan bukannya ada?” “Nggak ada Bu Bos, nggak ada! Saya lupa beli stoknya, terus ini gimana Bu Bos?” “Beli sekarang aja mbak, biar aku bantu di dapur.” “Nggak bisa Bu, pasar ikan udah tutup sekarang. Ini bagaimana Bu, mana yang pesen mukanya julid lagi.” Pegawai itu berucap secara menggigiti kuku jarinya. Sasti ikut tertawa melihatnya. “Udah sekarang mbak bilang kalau ada pesanan udang, udangnya kosong. Soal pelanggan yang sekarang, biar aku yang bawa sekalian sama pesanannya yang lain. Meja nomor berapa?” “I-itu meja nomer tujuh belas Bu, hati-hati ada bule galak.” Sasti mengangguk, matanya beralih ke arah nampan yang penuh dengan makanan. Baru 2 langkah, kakinya berhenti dan menatap sang pegawai yang juga mengikutinya. “Lho ini pesanannya juga?” Sang pegawai mengangguk. Sasti mengerutkan kening bingung, meja nomor 17 hanya berisi 2 orang. Mampukah mereka menghabiskan ini semua? Bukan apa-apa, hanya saja Sasti tidak suka membuang makanan. Maka dari itu mereka harus bisa menghabiskannya. “Enak kan suasananya?” Almeron hanya mengangguk pelan, matanya fokus ke arah ponsel terbaru miliknya pemberian sang ayah. Dia tidak memperhatikan sekitar karena benar-benar lelah. Makanan yang dikira sarapan menjadi makan siang karena sang bibi ada acara mendadak dengan temannya. “Tante minta maaf Al, jangan marah.” “Al nggak marah Tan, memang aku kayak gini.” Ellen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ini kesalahannya karena telah mengulur waktu hingga makan siang. Perut anak di depannya ini masih kosong hingga jam makan siang, dia yang patut di salahkan. “Itu makanannya udah dateng.” Ellen mencoba mengalihkan perhatian Almeron dari ponsel, tetapi tidak berhasil. Bibirnya tersenyum ketika melihat Sasti yang dibalas juga dengan perempuan yang selalu memakai hijab pasmina itu. “Sorry for the pevious, shrimp run out. Would you change your order?” tanya Sasti setelah meletakkan semua pesanan yang ada. Maaf sebelumnya, udangnya habis. Minta diganti apa? “Its okay, don’t worry,” ucap Ellen. Oke, jangan khawatir. Sasti belum sadar bahwa anak laki-laki yang berada di sampingnya ini Almeron, matanya fokus ke arah Ellen. “Memang pelayanan disini sangat buruk, bagaimana dengan rasanya.” “Al!” Ellen membentak Almeron dengan keras. Sedangkan Sasti tersenyum menatap anak berambut coklat yang masih fokus ke arah ponsel. Siapa anak kecil yang menghina masakannya ini?! Almeron mengangkat kepala melihat pelayan tadi, matanya membulat dengan mulut sedikit terbuka. Dia telah melakukan kesalahan, dia telah melakukan kesalahan dengan melukai hati sang calon mamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD