Sejak kejadian tidak mengenakan yang menimpanya beberapa minggu yang lalu membuat Sasti paranoid berlebih, ditambah Joko yang selalu memprovokasinya setiap ada kesempatan. Memang kejadian sudah berlangsung lebih dari sebulan. Anehnya, setiap malam Jum’at dia selalu berziarah, tetapi anak itu juga tidak ada. Jika memang anak kecil itu adalah hantu, Sasti bersyukur karena bertemu hantu yang tampan dan rupawan. Jarang-jarang ada hantu yang seperti itu.
“Hayoo, ngelamunin apa? Cowok nih pasti.”
Sasti memutar bola matanya malas, disampingnya berdiri Ariyani, biasa dipanggil Yani teman barunya di Bali ini. Yani merupakan orang Bali asli dan beragama Hindu. Memang Yani dikenal dekat dengan kedua orangtuanya, dan temannya sekaligus disaat Ia berkunjung di Bali.
“Eh Yani, kamu tahu nggak aku ketemu hantu beberapa minggu yang lalu.”
Yani mengangkat satu alisnya ke atas. “Beneran? Masa?”
“Iya kemarin aku masak mie hantu super pedas.”
Plak
“Diajak bicara serius kok, bercanda mulu.”
Sasti mengelus lengannya yang dipukul Yani dengan wajah tertekuk. “Eh tapi ini beneran, sumpah kalau nggak percaya tanya aja juru kuncinya!”
Terlihat Yani yang menimang-nimang perkataan Sasti. Selama 20 tahun hidupnya di Bali, tidak pernah sekalipun dia bertemu dengan hal-hal yang berbau mistis.
“Jangan bohong ya Sasti, lo orangnya nggak bisa dipercaya,” ucap Yani di akhiri dengan menarik ujung hijab yang dikenakannya.
“Heh Yani!”
Tidak lama setelah itu terjadi aksi kejar-kejaran antara mereka berdua. Joko yang melihat di bangku yang tidak jauh ditempatinya hanya menggeleng. “Sungguh sangat kekanakan anak zaman sekarang.”
“Permisi.”
Joko bangkit dari duduknya dan berdiri melayani pelanggan. “Ya, ada yang bisa saya bantu?”
“Disini bisa pesan makanan?”
Tercetak kerutan di dahi Joko, bukankah sekarang mereka ada di kafe ressort, kenapa orang ini menanyakan hal yang sangat? “Bisa, silahkan duduk.”
“Bukan bukan, maksud saya bisa catering? Karena perusahaan Bos saya kehilangan tempat langganan, bisa?”
Joko menimang, ini kesempatan bagus untuk menambah penghasilan. Tapi bagaimana dengan Sasti? Bagaimanapun dia yang bertanggung jawab atas ini.
“Hei Sasti! Kesini cepat!” Joko berteriak cukup keras karena kedua remaja yang menuju dewasa tadi juga belum berhenti dari aksi kejar-kejaran.
Dengan tergesa-gesa Sasti membenarkan penampilannya, mengikat hijab miliknya dengan cepat. “Ya? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nafas terengah.
Mereka mempersilahkan duduk, dan Joko mulai menjelaskan alasan orang tadi kesini. Sasti menganggukkan kepala paham, matanya menilai pria di depannya dari atas sampai bawah. Dia orang kaya, terbukti dari jas yang dipakainya. Tanpa pikir panjang, Sasti menyanggupi membuat Joko membulatkan matanya, pasti dia juga yang akan repot dengan ini.
“Terimakasih atas kerja samanya.”
Uluran tangan yang mengarah ke Sasti diambil oleh Joko dan memberi sedikit remasan disana. Setelah orang yang terbilang cukup tampan tadi pergi, Joko mulai berdebat dengan Sasti siapa yang akan mengantarkan, memasak, dan membeli perlengkapan lainnya untuk bisnis yang baru saja dilaksanakan ini.
“Mas nggak bisa karena harus cari masa depan, kalau ditunda tunda jatuhnya mas jadi perjaka tua.”
Sasti memutar bola matanya malas, sedangkan Yani terkekeh kecil mendengarnya.
“Mas lho baru dua puluh tiga, masih muda juga.”
Joko menggeleng dengan tegas. “Pokoknya mas nggak mau. Kamu cari pegawai sendiri, tugas mas udah banyak disini. Temen-temen mas udah punya anak di Jawa, sedangkan disini pacar aja nggak punya.”
Sasti membuka mulutnya melihat Joko yang berjalan pergi meninggalkan mereka, ngambek?
“Hahaha, kocak banget Mas Joko.”
Yani tidak bisa menahan tawanya, interaksi antara 2 saudara ini memang bisa mengocok perut. Dia berjengkit kaget ketika sebuah tangan meremat cukup kuat lengannya, matanya menatap aneh Sasti yang juga menatapnya. “Apa?”
“Mari kita berjuang bersama temanku, mari kita cari pahala yang banyak dengan membantu temannya yang kesusahan.”
Yani menggeleng dengan tegas. “Nggak nggak, nggak bisa gue. Lagian lo juga kuliah Sasti, gimana kuliah lo?”
Sasti menghembuskan nafas kasar, tidak lama setelah itu dia menenggelamkan wajahnya di atas meja. “Tapi ini musuhnya uang.”
“Uang kamu udah banyak, jangan maruk.”
“Tapi rezeki kan nggak boleh ditolak.”
Yani menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Benar juga perkataan Sasti. “Udah deh sekarang kamu ke tenangin diri dulu. Lagian cepet-cepet diterima sebelum dipikir mateng, gini kan jadinya.”
“Makanya otaknya jangan uang mulu, ketemu uang senengnya bukan main.”
Sasti menutup telinganya dengan kedua tangan, bukan memberi solusi tetapi menambah depresi. Yani terus berkata hingga dia akan pamit pulang.
“Sebaiknya aku ke ibu sama ayah, lagipula ini malam Jum’at.”
Akhirya Sasti memutuskan untuk berziarah ke makam kedua orangtuanya. Banyak yang bertanya kenapa setiap minggu dia ke makam, Sasti hanya menjawabnya simpel. Dia rindu orangtuanya, dan berziarah di malam Jum’at juga merupakan sunnah.
Joko yang sedang merajuk tadi mengakibatkan dirinya berangkat sendiri ke pemakaman. Tidak masalah, jarak pemakaman dan resort miliknya tidak terlalu jauh. Menggunakan sepeda listrik menjadi favoritnya akhir-akhir ini.
Setelah menempatkannya di parkiran, dia beranjak menyapa penjaga yang sedang membersihkan rumput. “Istirahat Pak.”
Pria paruh baya yang disapanya tadi tersenyum hangat. “Iya Non, ini juga mau selesai. Mau ziarah ya?”
Sasti mengangguk dan memberikan nasi dan sebotol air mineral yang memang sengaja dibawanya dari resort untuk penjaga makam ini.
“Terimakasih Non, bapak iri sama orang tua Non. Pasti mereka bangga punya anak baik hati kayak Non.”
“Ah Bapak bisa aja, saya kesana dulu ya Pak,” pamit Sasti.
“Mari, mari.”
Sasti mendudukkan dirinya di tanah antara makam ayah dan ibunya. Matanya memejam mulai membacakan doa dengan hikmat, seolah memang benar ikatan mereka bertiga masih terjaga. Tangannya menabur bunga, setelah itu entah kenapa dia mendapat jawaban untuk bisinis yang akan ditambahnya ini. Seolah-olah kedua orangtuanya mendukungnya.
“Huft baiklah ayah ibu, jika ini pendapat kalian.”
Sasti menggenggam kedua tangannya dan mengangguk mantap. Dia akan berusaha dengan semampunya.
Bibirnya bersholawat kecil berjalan keluar area pemakaman.
Seketika matanya membola, hantu itu ada kembali di depan matanya. Posisinya sama persis di bawah pohon beringin, kali ini dia tidak ingin menyapanya. Dia masih trauma dengan yang namanya hantu.
Sasti berjalan cepat menghiraukan anak kecil yang dirasanya masih menatap ke arahnya. Bibirnya tidak berhenti membaca surah Yasin dengan kedua tangan saling meremat kuat. Dimana bapak penjaga tadi? Kenapa dia ditinggal sendirian seperti ini?
Nafasnya terputus-putus, tangannya menepuk kedua pipi untuk menyadarkan apa yang sudah terjadi. Dengan lemas Sasti duduk di bangku yang memang selalu kosong di pemakaman, kepalanya dengan perlahan melihat ke arah pohon beringin tadi.
Oh my god!
“Jadi tadi benar-benar hantu?” tanya Sasti kepada dirinya sendiri.
Anak tadi kembali hilang seolah hanya fatamorgana yang bayangannya ada tetapi tidak nyata. Punggungnya menyender lemas di sandaran bangku, matanya terpejam dengan sisa kewarasan yang ada.
“Kakak.”
Matanya terbuka perlahan melihat orang yang memanggilnya.
“Astaghfirullah!”