Mengenal Ezra Lebih Jauh

1323 Words
Abrar keluar menghampiri Syifa dan Ezra. “Kalian makanlah. Saya akan membawa Hanan pulang,” ujar Abrar. Syifa dan Ezra saling pandang, lalu memandang Abrar. “Saya akan menjaga anak-anak hari ini,” ujar Abrar dengan tenang. “Telepon kalau sudah di rumah, Kak,” pinta Ezra. Abrar mengangguk lalu kembali ke dalam rumah sakit. Ezra pun mengajak Syifa ke suatu tempat, di mana para mahasiswa berkumpul untuk sekadar menghabiskan waktu bersama teman ataupun mengerjakan tugas. Sesampainya di sana, Syifa tampak bingung. Ia berdiri memandangi sebuah kafe yang sangat ramai dengan pengunjung dan mobil-mobil yang berjejer di halaman parkir. Kafe yang letaknya tak jauh dari sebuah perguruan tinggi swasta yang terkenal elite. “Kenapa hanya mematung di situ, Bu Guru?” tanya Ezra setelah melepas helmnya. “Kenapa kita sini?” Pertanyaan Ezra dijawab kembali dengan tanya oleh Syifa. “Mau makan.” “Kita cari tempat lain saja, yuk,” ajak Syifa. Ia merasa tidak nyaman makan di tempat seperti itu. Terlebih lagi, ia tidak punya cukup uang untuk membayar makanan yang sudah pasti sangat mahal baginya. “Memangnya kenapa kalau di sini?” “Tempatnya ... terlalu mewah. Pasti harganya mahal. Maaf, saya tidak punya uang makan di tempat seperti ini,” aku Syifa dengan jujur. Ezra tertawa kecil mendengarnya. Wanita di hadapannya benar-benar tampak lugu. “Saya yang bayar. Saya traktir Bu Guru,” kata Ezra. “Saya tetap tidak mau. Kalau kamu mau makan di sini, saya pulang sendiri saja.” Ezra menghela napas mendengar ucapan Syifa. Mau tak mau, ia pun menuruti keinginan gadis itu. Mereka kembali mengenakan helm dan menyusuri jalan dengan motor Ezra. Tak lama, lelaki itu menepikan kendaraannya di dekat sebuah stan makanan khas Turki yang cukup ramai oleh pembeli. “Makan ini mau?” Ezra menunjuk stan tersebut. Tak perlu berpikir lama, Syifa segera mengangguk meski harus menunggu antrean. Perutnya sudah sangat lapar hingga ia tak mau lagi mencari tempat lain yang akan menghabiskan waktu di jalan. “Mau yang mana? Lihat saja menunya di sana,” tanya Ezra. “Yang mana saja saya mau,” jawab Syifa. Ezra segera turun dari motornya dan menghampiri penjual makanan Turki tersebut, sementara Syifa berdiri menunggu di samping motor. Ia terkejut melihat Ezra yang tidak turut dalam antrean dan malah membuat sendiri makanan yang akan mereka makan. Sesekali tampak Ezra mengobrol sambil tertawa dengan penjualnya. “Apa ia berteman dengan penjualnya?” gumam Syifa penuh tanya. Setelah lima menit menunggu, Ezra memanggil Syifa dengan isyarat tangannya untuk duduk di kursi yang baru saja ia siapkan. “Ini makanannya. Ezra menyodorkan sepiring kebab berukuran besar pada Syifa dan meletakkan piring lainnya di salah satu kursi. “Aku beli minum dulu, ya.” Syifa mengangguk. Ezra segera pergi ke stan minuman yang tak jauh dari tempat mereka, lalu kembali dengan membawa dua botol air. “Mejanya penuh. Kita makan begini saja tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Ezra yang kini sudah duduk dan memegang piring makanannya. Syifa mengangguk, tetapi wajahnya masih menyiratkan banyak tanya. “Kamu kenal sama yang jual?” Syifa tak mampu lagi menyembunyikan rasa penasarannya. “Iya,” jawab Ezra santai sambil mengunyah makanannya. “Kenal dekat, ya?” Syifa masih tampak ingin tahu lebih jauh. “Lumayan.” Syifa mengangguk-angguk. Di dalam hatinya, ia masih ingin bertanya tentang Ezra yang bisa menyiapkan sendiri pesanannya. Namun, ia sungkan untuk bertanya lebih. Tak lama, penjual mengambil meja yang sudah kosong dan meletakkannya di depan Ezra dan Syifa. Lalu menaruh dua piring makanan jenis lain di meja tersebut. “Thanks, Bro!” ucap Ezra pada pedagang bertubuh bongsor tersebut. “Sip, Bos!” sahut lelaki itu, lalu kembali ke stan. “Bos?” Refleks Syifa bertanya dengan dahi mengernyit. “Ini punya kamu?” Ezra mengangguk, lalu meneguk air di dalam botolnya. “Pantas saja kamu bisa membuat sendiri dan tidak perlu mengantre. Ternyata bos pemilik.” Ezra tertawa kecil mendengarnya. “Bu Guru, saya hanya mahasiswa abadi yang bertahun-tahun tidak lulus kuliah,” aku Ezra. Mendengar itu, Syifa langsung teringat ucapan Abrar ketika di rumah sakit mengenai Ezra yang menjadi mahasiswa abadi. “Sepertinya kamu betah di lingkungan mahasiswa,” canda Syifa. Keduanya pun tertawa sambil menikmati hidangan. “Saya tidak seperti Kak Abrar yang pintar di sekolah, Bu Guru. Hanya juga tidak tertarik dengan pelajaran-pelajaran yang diterangkan dosen di kelas.” “Lalu, kenapa kamu mengambil kuliah?” Syifa penasaran dengan kisah lelaki di hadapannya. Ada banyak hal yang entah mengapa ingin ia ketahui tentang sosok Ezra. “Saya terpaksa karena harapan orang tua yang ingin saya sukses bekerja di perusahaan besar seperti Kak Abrar. Lihat saja, masih muda Kak Abrar sudah menjadi General Manajer di hotel bintang lima.” “Jadi, sebenarnya kamu berminat di bidang apa?” tanya Syifa. “Sejak kecil saya suka dunia dagang. Hingga saat saya berstatus sebagai mahasiswa dan bertemu banyak orang, organisasi, dan mata kuliah bisnis, saya semakin tertarik untuk memgembangkan minat, meski masih kecil-kecilan.” “Menurut saya kamu sudah hebat bisa mengembangkan minat kamu hingga seperti ini.” Ezra menggeleng. “Ini bukanlah apa-apa, Bu Guru. Terlebih di mata Kak Abrar dan orang tua, apa yang saya lakukan bukanlah hal yang bisa dibanggakan. Saya harus segera lulus kuliah dan bekerja di perusahaan swasta seperti yang mereka inginkan, barulah mereka akan bangga pada saya.” Ezra tampak sedih. Selama ini, ia memang selalu dianggap sebagai anak nakal yang tidak pernah menuruti orang tua dan hanya bersikap semaunya. “Kalau begitu, buktikan bahwa kamu bisa berhasil di bidang yang kamu minati.” Syifa mencoba memberi semangat. “Saya sedang berusaha. Tetapi saya tidak yakin dengan skripsi saya. Saya mungkin akan terus menjadi mahasiswa,” ucap Ezra pesimis. “Jangan begitu. Ayo, semangat! Jika kamu bisa membangun bisnis, kamu pasti bisa menyelesaikan skripsi kamu,” ujar Syifa dengan semangat yang menggebu-gebu, membuat Ezra memandangnya takjub. “Ke-kenapa kamu memandangi saya begitu?” tanya Syifa gugup. “Bisakah saya mendapat support dari Bu Guru setiap hari?” Mendengar pertanyaan itu, Syifa semakin gugup dan canggung. Ezra justru tertawa melihat keluguan dan sikap polos wanita di hadapannya. “Cobain ini, Bu Guru. Baklava.” Ezra mencoba mencairkan suasana dengan menawarkan makanan lain di meja, agar Syifa tak lagi canggung dengannya. “Baklava?” tanya Syifa penasaran. Ia memang baru pertama kali melihat makanan tersebut dan mendengar namanya. “Camilan manis untuk Bu Guru yang manis.” Kata-kata yang keluar dari mulut Ezra berhasil membuat pipi Syifa merona. Ezra yang mampu menangkap hal tersebut pun tersenyum lebar dan semakin tertarik dengan wanita lugu di hadapannya. “Saya sudah bercerita banyak tentang diri saya. Dan sekarang saya ingin mendengar cerita dari Bu Guru.” “Tidak ada hal menarik dalam hidup saya yang bisa diceritakan.” “Tidak mungkin. Mengapa semua tampak menarik di mata saya?” Lagi-lagi kalimat Ezra membuat Syifa tersipu. Kali ini pub, gadis itu merasakan debaran yang belum pernah ia rasakan. “Omnya Hanan pintar sekali berbicara,” kilah Syifa, menyembunyikan senyumnya dengan menunduk. “Saya berbicara apa adanya, Bu Guru.” “Ini enak sekali. Apa tadi namanya?” Syifa berusaha mengalihkan pembicaraan, meski benar ia sangat menyukai makanan yang baru pertama kali ia makan itu. “Baklava. Makanan ini termasuk menu baru di stan kami.” “Rasanya benar-benar enak. Apa kamu sendiri yang meracik resepnya?” Ezra mengangguk. “Awalnya saya hanya mencoba-coba, dan berkali-kali gagal. Belum lagi bahan-bahan yang tergolong mahal. Hampir membuat saya menyerah untuk menjual Baklava.” “Tapi akhirnya berhasil? Ini benar-benar enak. Manis dan gurihnya pas.” Ezra tersenyum mendengar pujian Syifa. “Terima kasih, Bu Guru.” “Kalau membuat kue yang sulit saja kamu bisa dan hasilnya seenak ini, pasti kamu juga bisa menyelesaikan skripsi.” Ezra lagi-lagi tersenyum mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita di hadapannya. “Siap, Bu Guru!” Ia menirukan gaya prajurit yang sedang memberi hormat hingga membuat Syifa tertawa kecil. “Bu Guru ....” “Iya?” “Boleh saya panggil Syifa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD